Kamis, 05 Januari 2012
Sejarah Gerakan Theosofi di Indonesia: Persentuhannya dengan Elit Modern Indonesia (2)
Jurnalis Independen: Gerakan Theosofi di Indonesia meninggalkan jejak sejarah yang panjang di negeri ini. Beberapa tokoh yang dikemudian hari menjadi elit nasional di negeri ini, tak lepas dari persentuhannya dengan aliran kebatinan Yahudi ini. Baik sebagai anggota resmi, ataupun sekadar berinteraksi dengan kelompok ini.
Pada masa lalu, untuk mengenang keberadaan Gerakan Theosofi, beberapa tempat di Jawa, menggunakan nama-nama dari tokoh Theosofi. Seperti Blavatsky Park di Batavia, Olcott Park di Bandung, dan Besant Square di Semarang. Nama-nama itu merujuk pada tokoh-tokoh Theosofi: Madame H.P Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan Annie Besant.
Sejawaran Universitas Indonesia, Harsja W Bachtiar menggambarkan tentang apa dan siapa Gerakan Theosofi itu. Dalam sebuah tulisan mengenai Moh. Amir, tokoh Jong Sumatrenan Bond (JSB) yang juga anggota Theosofi, Harsja menulis, "Theosophical Society (Perkumpulan Theosofi), yang dicipta oleh Madame H.P Blavatsky, seorang bangsawan Rusia, dan Henry Steel Olcott, seorang penganut kebatinan, di New York tahun 1875, dan yang kemudian dipimpin oleh Annie Besant, berusaha mencari kearifan Tuhan, ajaran-ajaran kebatinan seperti Karma dan Reinkarnasi, menyatukan sekalian agama, dan menyatukan agama dan ilmu pengetahuan,"tulisnya.
Harsja W Bachtiar kemudian menuliskan bahwa beberapa orang yang dikemudian hari menjadi elit nasional masuk menjadi anggota perkumpulan Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh Gerakan Theosofi. Mereka adalah Mohammad Hatta, Djamaluddin Adinegoro (tokoh pers Indonesia), Mohammad Jamin (tokoh Jong Sumatrenan Bond), dan Bahder Djohan (mantan menteri pendidikan dan kebudayaan pada kabinet Natsir dan Wilopo).
Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota Dienaren van Indie selain yang disebutkan oleh sejarawan Harsja W Bachtiar tersebut adalah, Siti Soemandari (tokoh perempuan Indonesia), Ki Sarmidi Mangoensarkoro (tokoh pendidikan Indonesia), Prof. Soepomo (salah seorang perumus UUD 45), dan Prof. Soekanto (tokoh kepolisian Indonesia).
Perkumpulan Dienaren van Indie yang dipimpin oleh tokoh Theosofi Ir. A.J.H van Leeuwen memberikan beasiswa pendidikan (studie fond) kepada tokoh-tokoh tersebut.
Untuk menyatakan keanggotaan mereka, pada nama belakang mereka harus dicantumkan huruf "DI" sebagai tanda dari perkumpulan ini.Anggota Dienaren van Indie yang paling mencolok kiprahnya diantaranya adalah Mohammad Tabrani, tokoh Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) yang menjadi penggagas Kongres Pemuda Indonesia pertama pada 1926.
Kongres ini diselenggarakan atas biaya kelompok Freemason dan diadakan di loge milik Freemason di Batavia. Loge ini juga sering dijadikan tempat berkumpul para anggota Theosofi, mengingat dua organisasi ini memiliki kesamaan tujuan, yaitu menjadikan paham humanisme sebagai doktrin tertinggi dalam kehidupan. Pada masa lalu, kebanyakan mereka yang menjadi anggota Theosofi, juga menjadi anggota Freemason.
Sosok yang paling menarik perhatian dari anggota perkumpulan Dienaren van Indie adalah Mohammad Hatta. Dalam buku "Gerakan Theosofi di Indonesia" penulis menyatakan, Hatta setidaknya pernah bersentuhan dengan organisasi ini atau setidaknya berusaha dijerat untuk masuk sebagai anggota Theosofi.
Hatta bersentuhan dengan Theosofi dalam arti beliau pernah menjadi anggota Dienaren van Indie dan mendapat beasiswa dari perkumpulan ini. Persentuhan Hatta dengan Theosofi melalui tokoh bernama Ir. P Forunier dan Ir. A.J.H van Leeuwen. Sedangkan mengenai usaha menjerat Hatta masuk sebagai anggota Theosofi bisa dilihat dari buku otobiografinya.
Dalam buku berjudul, "Mohammad Hatta untuk Negeri" ia menuliskan pengalamanya yang berusaha dibujuk masuk untuk menjadi anggota Theosofi.
Dalam buku biografinya, Mohammad Hatta menulis sub bab tersendiri, berjudul "Bujukan Theosofi". Hatta menulis, "Hubunganku dengan Ir. Fournier dan Ir. Van Leeuwen ada pula sejarahnya. Selama aku belajar pada PHS (Prins Hendrick School) di Batavia dan menjadi anggota pengurus JSB (Jong Sumatrenan Bond), mereka berdua itu selalu mendekat pemuda-pemuda yang menjadi pengurus Jong Java dan Jong Sumatranen Bond. Mereka yang berdua itu banyak sekali menganjurkan supaya pergerakan pemuda yang bersifat kedaerahan perlu bersatu menjadi Jong Indie.
Sebagai contoh dikemukakannya gerakan pemuda di India yang bernama Young India. Sekaligus mereka juga mengajak aku untuk menjadi anggota Theosofi. Sepanjang pengetahuanku, yang kena jerat mereka ialah Basuki dari Jong Java dan Amir dari Jong Sumatranen Bond. Mungkin juga Muhammad Yamin terkena. Aku menolak terus terang, dengan alasan aku taat kepada Islam."demikian tulis Hatta dalam memoarnya.
Meski Hatta sudah menolak ajakan masuk sebagai anggota Theosofi, ia terus dibujuk dan diyakinkan agar bisa bergabung dalam organisasi ini. Ia menulis, "Ir. Fournier mengatakan, agama Islam tidak menjadi halangan untuk menjadi orang Theosofi. Theosofi bukan agama katanya, melainkan ajaran dan Theosofi memperkuat pendirian Islam untuk mencapai persaudaraan bangsa-bangsa di dunia ini. Tetapi aku terus menolak. Rupanya telah mendapat persetujuan, antara Ir. Fournier, Ir. Van Leeuwen, Amir dan Basuki untuk mengadakan suatu organisasi pemuda baru dengan nama Dienaren van Indie, disingkatkan dengan "DI"", tulisnya lagi.
Demikianlah, Gerakan Theosofi mempunyai beragam cara untuk bisa merekrut orang-orang pribumi. Mereka membentuk kelompok-kelompok diskusi, organisasi-organisasi kepemudaan, lembaga riset ilmu pengetahuan dan seni budaya, serta memberikan beasiswa.
Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, pada perjalanan selanjutnya menjadi elit-elit nasional, yang merumuskan, membangun, dan menentukan arah perjalanan bangsa ini pada waktu itu. Ironisnya, elit-elit modern Indonesia pada masa lalu itu adalah mereka yang pernah bersentuhan bahkan bergabung menjadi anggota Gerakan Theosofi.
Rekam jejak mereka yang memarginalkan kepentingan umat Islam pun sangat kentara. Tak heran, jika sampai saat ini, negeri ini masih berada dalam sistem pemerintahan sekular, karena sejak ratusan tahun lalu, doktrin-doktrin yang menihilkan peran agama dalam sistem pemerintahan sudah dijalankan melalui organisasi-organisasi pengusung humanisme sekular, diantaranya adalah Theosofi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar