Kamis, 19 Januari 2012

Ada "Pejabat" Dibalik Hiruk Pikuk Miras Juga Narkoba



Astaghfirullah! Empat ABG Mabuk Gilir Siswi SMP Di Mushola DesaJurnalis Independen: Terutama di kota-kota besar, hampir bisa dipastikan keterlibatan oknum pejabat, baik TNI-POLRI maupun pemerintahan, underbow partai dan ormas setempat terlibat dalam pengamanan lokalisasi, tempat-tempat hiburan malam, Hotel, Karaoke, Pub, Cafe dan sejenis lainnya. Padahal di lokasi seperti itu beredar berbagai merk minuman keras (miras) dan narkoba secara legal maupun ilegal.



Kisah ini adalah sebagai contoh "seujung kuku" bila dibandingkan dengan keadaan sebenarnya. Empat remaja belasan tahun terpaksa berurusan dengan Satuan Reserse Kriminal, Polres Malang, Minggu (18/9/2011). Dari hasil penyidikan dan pemeriksaan Polisi, keempat remaja tanggung itu baru saja berbuat amoral. Mereka, tega menggagahi Puri (bukan nama sebenarnya) secara bergiliran. Ironisnya, para pelaku menggunakan sebuah Mushola waqaf milik warga Dusun Glendangan, Desa Ngingit, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang untuk berbuat mesum. “Keempat pelaku sudah kami amankan. (Foto/ ruang hati | Sep 18, 2011).

  • Sikap Komnas HAM khususnya Johnny Nelson Simanjuntak dan Kemendagri adalah contoh kongkrit bagaimana miras dapat membuat mereka mabuk.
  • Meski dalam keadaan tidak mengkonsumsi miras secara langsung, mereka dibuat sedemikian mabuk sehingga argumen mereka mencabut perda miras menjauhi akal sehat.
  • Mereka dibuat mabuk oleh dampak fulus yang dihasilkan industri haram miras, yang dalam setahun mencapai Rp 5 triliun (legal), belum termasuk bisnis miras ilegal.
  • Saking mabuknya, Kemendagri sama sekali tidak memperhatikan realitas yang ada. Bahwa dampak peraturan miras yang tidak tegas (Keppres) berakibat pada banyaknya korban berjatuhan. Bahkan meski perda sudah diterbitkan, dampak miras masih cukup mengkhawatirkan.
  • Kasus di Sidoarjo, tertembaknya seorang Ustadz oleh polisi Briptu Eko Ristanto saat itu penembak masih dalam pengaruh miras.
***
Miras atau Minuman keras adalah kata lain untuk khamar, zat yang memabukkan dan tergolong induk kejahatan (ummul khabaits). Disebut sebagai induk kejahatan, karena pemabok yang sudah dikuasai khamar tidak punya rasa malu dan tidak punya rasa takut untuk melakukan kejahatan besar lainnya, seperti berzina, memperkosa, merampok, bahkan membunuh.

Artinya, dampak miras sudah sedemikian mudah dipahami masyarakat luas. Bahkan meski pemerintah Indonesia sudah memiliki Keppres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, dampak miras tetap saja merajalela, karena Keppres tersebut bukan MELARANG MIRAS atau menempatkan MIRAS sebagai barang HARAM, namun hanya mengatur peredarannya, hanya membatasi peredarannya.

Sehingga, dalam prakteknya Keppres No. 3 Tahun 1997 yang diterbitkan pada tanggal 31 januari 1997 dan ditandatangani oleh Presiden (saat itu) Soeharto, mudah dilanggar. Akibatnya, anak-anak pra remaja hingga remaja dengan mudah bisa memperoleh miras, mengkonsumsi dan menjadi korban.

Dilandasi oleh keprihatinan seperti itu, maka lahirlah sejumlah peraturan daerah (perda) tentang miras, yang tujuannya untuk mencegah semakin parahnya dampak miras di kalangan generasi muda. Jadi, kelahiran perda-perda itu bukan untuk melanggar peraturan yang lebih tinggi (Keppres) tadi. Tapi, justru untuk mempertegas, lebih fokus, dengan tujuan konstruktif.

Lha, sekarang kalau Kemendagri beralasan dicabutnya perda miras di sejumlah daerah karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi (Keppres), itu namanya antilogika dan amoral. Apalagi, Mendagri Gamawan fauzi dalam salah satu argumennya mengatakan bahwa pencabutan perda miras tadi karena mendapat desakan dari Komnas HAM.

Namun Johnny Nelson Simanjuntak (Komisioner Komnas HAM), berkilah, pihaknya tak pernah secara eksplisit menyebutkan agar Perda Larangan Miras ditinjau ulang, tetapi hanya mengkritisi perda-perda syariah dan meminta Kementerian Dalam Negeri untuk meninjau kembali perda-perda tersebut. Namun melalui suratnya kepada pemerintah daerah Kementerian Dalam Negeri beralasan evaluasi peraturan daerah tentang pelarangan minuman keras dilakukan karena didesak oleh Komnas HAM, karena perda-perda itu melanggar HAM.

Sikap Komnas HAM khususnya Johnny Nelson Simanjuntak dan Kemendagri adalah contoh kongkrit bagaimana miras dapat membuat mereka mabuk. Meski dalam keadaan tidak mengkonsumsi miras secara langsung, mereka dibuat sedemikian mabuk sehingga argumen mereka mencabut perda miras menjauhi akal sehat. Mereka dibuat mabuk oleh dampak fulus yang dihasilkan industri haram miras, yang dalam setahun mencapai Rp 5 triliun (legal), belum termasuk bisnis miras ilegal.

Saking mabuknya, Kemendagri sama sekali tidak memperhatikan realitas yang ada. Bahwa dampak peraturan miras yang tidak tegas (Keppres) berakibat pada banyaknya korban berjatuhan. Bahkan meski perda sudah diterbitkan, dampak miras masih cukup mengkhawatirkan.

Menurut Reydonnyzar Moenek, sepanjang tahun 2011 Kementerian Dalam Negeri telah mencabut 351 Perda yang dianggapnya bermasalah, karena dinilai bertentangan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.

Ketika perda-perda yang dianggap bermasalah itu dicabut satu per satu, sejumlah masalah berkaitan dengan miras justru sedang berlangsung.
Misalnya, pada tanggal 08 April 2011, Sudadyo (46 tahun), warga Desa Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta meninggal akibat mengonsumsi miras jenis ciu bersama seorang rekannya. Sudadyo tewas, sedangkan rekannya meski tidak tewas namun harus dirawat intensif di RSUD Wonosari. Beberapa hari kemudian, masih di tempat yang sama, Winda Hadi Saputra (21 tahun), meninggal dunia pada 12 April 2011 sore, setelah mengonsumsi miras jenis ciu bersama dua rekannya.

Dampak langsung miras adalah kematian. Pada contoh kasus berikut, kematian datang setelah pesta miras yang menghasilkan pertikaian, hingga menyebabkan salah satunya mati dibunuh. Hal ini terjadi pada 15 Mei 2011 di Jl. F Kebon Baru Tebet, Jakarta Selatan. Malam itu Lukman (43 tahun) pesta miras bersama sejumlah temannya termasuk Novel (51 tahun). Terjadi keributan antara Lukman dengan Novel. Keduanya dalam keadaan mabuk. Novel serta-merta mengambil badik dan menusuk ke dada Lukman (warga Cipinang Muara Jakarta Timur) hingga tewas.

Mudahnya memperoleh miras akibat peraturan yang banci, membuat tunas bangsa yang masih belia, masih berstatus pelajar SMP, bisa begitu mudah memperoleh miras, dengan harga terjangkau, dan menggelar pesta miras di kawasan pemukiman padat penduduk, siang hari. Contoh kasus ini benar-benar terjadi di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Menurut pemberitaan Metro TV edisi Jumat, 9 September 2011 15:14 WIB, enam pelajar SMP yang sedang pesta miras di gang sempit berhasil diciduk aparat berkat laporan warga. Tiga diantaranya berhasil melarikan diri, sedangkan tiga lainnya berhasil digiring ke Mapolsek Metro Jatinegara, Jakarta Timur.

Contoh kasus di atas jelas menunjukkan dari kelas sosial mana pelaku pesta miras itu berlangsung. Mereka dapat diduga dari kelas sosial menengah ke bawah. Fakta ini seharusnya membuat pemerintah prihatin, dan keprihatinan itu diwujudkan dengan membuat peraturan yang lebih tegas tentang miras.

Salah satu perda yang dicabut oleh Gamawan Fauzi adalah Perda Kota Tangerang Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pelarangan, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Padahal, meski sudah ada perda nomor 7 tahun 2005, pelanggaran masih saja terjadi dan mengakibatkan korban jiwa. Misalnya sebagaimana terjadi pada 25 September 2011 dini hari, saat berlangsung pesta miras di sela-sela pentas dangdut.

Dua dari tujuh pelaku pesta miras oplosan itu tewas setelah diangkut ke rumah sakit. Keduanya adalah Jaruddin alias Ambon (29 tahun) dan Rudi alias Aloy (30 tahun), warga RT 04 RW 04, kelurahan Cibodas Besar, Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang.

Seharusnya pemerintah memperkuat perda kota Tangerang nomor 7 tahun 2005, dan mengawasi pelaksanaannya, sehingga korban miras tidak semakin berjatuhan. Tapi yang dilakukan Gamawan justru mengeluarkan jurus mabok.

Pesta miras yang berujung percekcokan dan pembunuhan selain pernah terjadi di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, juga pernah terjadi di Surabaya, pada 11 Oktober 2011 lalu. Abdul Gani bersama Jamal dan lima orang rekan mereka lainnya menggelar peta miras di daerah Pulo Wonokromo, Surabaya. Tanpa diketahui penyebabnya, terjadi percekcokan antara Abdul Gani dengan Jamal. Percekcokan meningkat menjadi perkelahian. Ujungnya, Jamal membacok Abdul Gani di bagian perut hingga usus Abdul Gani terburai, dan tewas. (Indosiar, patroli, edisi Rabu, 12 Oktober 2011).

Berdasarkan Keppres No. 3 Tahun 1997, café merupakan salah satu tempat yang dibenarkan terjadinya peredaran dan konsumsi miras. Dengan asumsi, peredaran dan konsumsi miras tidak berdampak langsung terjadinya tindak kejahatan lanjutan. Benarkah demikian?

Di Sidoarjo, ada tempat hiburan bernama café Ponti. Di tempat ini peredaran dan konsumsi miras dibenarkan secara hukum. Salah satu pengunjung café Ponti ini adalah Briptu Eko Ristanto, anggota Polres Sidoarjo. Kamis malam Jum’at Briptu Eko Ristanto menggelar pesta miras dengan sesama anggota polisi di café Ponti. Pulang dari pesta miras, sebagian dari mereka mengendarai Xenia, dan lainnya mengendarai sepeda motor (Briptu Widianto anggota Reskrim Polres Sidoarjo).

Di tengah perjalanan, sepeda motor yang dikendarai Briptu Widianto bersenggolan dengan mobil yang dikendarai ustadz Riyadhus Sholikin. Pasca senggolan, mobil yang dikendarai ustadz Riyadhus Sholikin tetap melaju, sehingga dikejar oleh rekan Briptu Widianto yang berada di dalam mobil Xenia. Singkat cerita, pengejaran itu berujung pada tertembaknya sang ustadz oleh Briptu Eko Ristanto yang saat itu masih dalam pengaruh miras.

Begitulah faktanya. Meski pesta miras berlangsung di tempat yang dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku, namun dampaknya (pembunuhan) bisa terjadi di luar dari tempat yang dibenarkan tadi.
Mudahnya memperoleh miras tidak hanya dirasakan oleh kalangan belia dari kelas sosial menengah ke bawah, tetapi juga dapat dirasakan oleh para belia dari kalangan menengah ke atas, seperti terjadi pada Achmad Al Ghazali alias Al putra pasangan selebriti Achmad Dhani dan Maia Estianty.

Pada 30 Oktober 2011, Al dan kawan-kawan merayakan pesta Halloween di kediaman Maia di kawasan pejaten, Pasar Minggu. Maia Estianty adalah ibu kandung Al yang sudah bercerai dari Achmad Dhani.

Pada pesta Halloween itu, Al yang masih berusia (saat itu) 14 tahun, terlihat asyik menghisap rokok dan mengkonsumsi miras. Betapa mudahnya anak belasan tahun seperti Al menggelar pesta miras bersama teman sebayanya, dari mana ia bisa mempeorleh barang haram itu?

Kalau saja foto-foto pesta Halloween plus miras yang digelar Al dan kawan-kawan tidak dipublikasikan di ruang publik, pastilah masyarakat luas, dan masyarakat terdekat (tetangga Maia), tidak mengetahui berlangsungnya pesta Halloween dan miras yang digelar anak selebritis yang juga sudah tumbuh menjadi selebritis belia.

Kondisi seperti itu seharusnya membuat pemerintah prihatin. Artinya, Keppres dan Perda saja ternyata tidak cukup untuk mencegah timbulnya dampak miras. Maka, yang dibutuhkan adalah peraturan yang lebih tinggi, yang tegas, dan dikawal dengan baik, demi menghindarkan rakyat dan generasi muda kita dari kehancuran moral dan fisik akibat mengkonsumsi miras.

Terkuaknya pesta Halloween plus miras di kalangan selebriti belia, boleh jadi bagai mengikuti fenomena gunung es. Maksudnya, dikhawatirkan kasus pesta ala Al itu sebenarnya banyak terjadi, namun karena berlangsung di ruang tertutup yang mewah dan berada dalam lingkungan sosial yang individualistis, sehingga nyaris tak terdeteksi. Lebih dikhawatirkan lagi, hal serupa jauh lebih dahsyat terjadi di kalangan selebritis dewasa: bukan sekadar miras, tapi kemungkinan pesta narkoba dan pesta seks.

Berbagai Kasus Lain
Bagi yang terbiasa mencermati kasus kriminal, ada satu petunjuk yang sering kali tepat untuk menangkap pelaku kriminal. Pelaku perampokan, pencurian dan sebagainya, biasanya menghabiskan uang hasil kejahatannya di tempat-tempat pelacuran atau di tempat-tempat yang menyediakan miras.

Hal ini barangkali yang juga diterapkan aparat Polda Lampung. Pada tanggal 12 Desember 2011, sekitar pukul 09:00 WIB, terjadi perampokan di toko bangunan CV Laris Jaya milik Kuntoro Wiyanto (40 tahun), yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo, Bandar Lampung. Perampok berjumlah enam orang, dan berhasil menggondol uang tunai sebesar Rp 250 juta yang hendak disetorkan Kuntoro ke bank.

Sekitar dua pekan kemudian, tanggal 28 Desember 2011, pada pukul 01:00 dini hari, salah seorang dari pelaku perampokan itu tertangkap saat sedang pesta miras di warung dekat rumahnya. Bermodalkan penangkapan itu, aparat kepolisian kemudian mengejar lima pelaku lainnya.

Pesta miras tidak selalu identik dengan kejahatan dan preman, tetapi juga bisa terjadi di kalangan aparatur negara atau pegawai negeri sipil (PNS). Hal ini sebagaimana terjadi di Bone, Sulawesi Selatan. Pada hari Kamis tanggal 29 Desember 2011, Satuan Polisi Pamong Praja Setda Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, beserta jajaran Polres Bone, Brimob dan Satuan Korem 141 Toddopuli menggelar razia gabungan ke sejumlah lokasi di Kota Bone.

Dari razia itu, berhasil ditangkap 14 orang yang sedang mengkonsumsi miras. Salah satunya, Bur bin Halim (32 tahun), adalah pegawai negeri sipil yang tinggal di BTN Pepabri. Sudah beberapa kali Bur bin Halim tertangkap tangan dalam kasus serupa. Tampaknya ia tak juga jera. Mungkin karena tidak ada tindakan tegas dari instansi tempat Bur Bekerja.

Di Tenggarong, kalimantan Timur pada hari Kamis tanggal 29 Desember 2011, sekitar pukul 20:30 wita, Sat Sabhara Polres Kutai Kartanegara menangkap tiga mahasiswa dari salah satu Universitas di Tenggarong saat sedang menggelar pesta miras di parkiran Lapangan Tenis, dekat Stadion Rondong Demang, Tenggarong. Dari tangan mereka berhasil disita barang bukti berupa dua botol miras merk anggur merah cap orang tua.

***
Begitulah keadaannya, ketika perda miras dicabut oleh Gamawan Fauzi, pesta miras sedang marak di mana-mana. Seolah-olah Gamawan Fauzi ingin berkata, “pesta miras merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar oleh perda-perda yang bertentangan dengan Keppres.” Begitulah barangkali logika orang mabuk.

Tidak ada komentar: