Jurnalis Independen: Beberapa teman buruh tani datang ke rumahku. Mereka berkeluh kesah, hidup makin sulit, upah Rp 60 ribu/ hari hanya bisa sambung hidup keluarga. Kubilang ke mereka, "Sing sabar, Gusti ALLOH mboten sare, bakal teko Ratu Adil sejahterake wong cilik."
Mapping aktivis 98 di berbagai daerah via BBM semalam, tentang Freeport, Jokowi setuju, JK suruh, atau permainan klik Menteri ESDM Sudirman Said hingga IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) bisa beres cepat? Ini rawan, terkait masa depan NKRI, dan Papua bisa bergolak lagi bila terus dimarjinalisasi.
Alasan pembenarannya Pasal 169 UU MInerba Nomor 4 Tahun 2009, pesanan imperialisme neoliberalisme. Secara prinsip, tambang Freeport kini, bisa dikelola profesional Indonesia sendiri. KK IUPK atau apapun, selama asing, Indonesia banyak ruginya.
Sudirman Said, putra Slatri Ketanggungan Brebes, terkenal lihai soal ESDM, dicover citra sok bersih. Tuduh kanan-kiri hingga ke mantan Presiden SBY, kata banyak kalangan, tutupi rencana busuk di balik peralihan Petral ke ISC Pertamina dan impor minyak mentah Sonangol, demi dukungan politik tak kena reshuffle Kabinet Kerja pascalebaran.
Soal Badan Intelijen Negara (BIN), infonya NU kecewa. Kok Sutiyoso bukan As'ad Ali, ketua partai pasti politisasi intelijen. Bahaya.
Selamat bekerja. Kaum buruh tani prajurit lah kunci Indonesia bertahan di segala guncangan. Kiranya Tuhan YME berkahi NKRI tercinta. Jaringan '98
Kecemasan itu terkait ucapan Kepala Badan Intelijen Negara Marciano Norman. Ia mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo yang menunjuk Letjen (purn) Sutiyoso sebagai calon penggantinya. Marciano yakin bahwa keputusan Jokowi itu diambil berdasarkan pertimbangan yang cermat dan matang.
"Saya rasa Sutiyoso sosok yang tepat saat sekarang ini yang dapat membawa BIN mampu mengatasi tantangan dinamis dan membantu memberikan dukungan seoptimal mungkin kepada pemerintah," kata Marciano di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/6/2015).
Marciano yakin bahwa nantinya program kerja Presiden di bidang intelijen akan tepat sasaran dan dapat dirasakan manfaatnya bagi rakyat. Marciano berharap Sutiyoso mampu menguatkan internal BIN, baik dari sisi sumber daya manusia maupun dari sisi fasilitas dan peralatan intelijen.
"Sehingga kita mampu berkoordinasi dan berkolabirasi dengan mitra counter part kita, baik BIN di kawasan atau di dunia, dalam menghadapi ancaman global," ucap Marciano.
Menurut dia, masih ada sejumlah ancaman dari kelompok-kelompok radikal di Indonesia. Ini akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Kepala BIN mendatang. Ia berharap Kepala BIN di masa datang mampu menjaga stabilitas keamanan dan menekan gerakan radikalisme, antara lain melalui kerja sama dengan negara lain.
DPR Hambat Sutiyoso?
Meski dicalonkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Badan Intelijen Negara, namun rekam jejak Sutiyoso itu masih dipertanyakan. Seperti yang diungkapkan oleh Mantan Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso.
Priyo mengatakan, pria yang akrab disapa Bang Yos itu harus dapat memberikan jawaban dengan baik mengenai tragedi 27 Juli 1996, jika ditanyakan dalam uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi I DPR.
“Itu harus dijawab dengan cakap. Menurut saya tidak akan sulit bagi Pak Sutiyoso untuk menjelaskan itu semua,” ujar Priyo seperti dilansir CNN Indonesia, Jumat, 12/6/2015. Diketahui, Komisi I DPR dapat melakukan uji kelayakan dan kepatutan, setelah surat pencalonan Sutiyoso nantinya dibacakan dalam rapat paripurna.
Nama Sutiyoso memang sulit untuk dipisahkan dari tragedi berdarah saat Kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro, Jakarta, diserang oleh oknum yang diduga berasal dari TNI.
Dalam laporan akhir Komnas HAM tentang pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono, bersama dengan Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso dan Alex Widya Siregar dan memutuskan untuk menyerbu kantor DPP PDIP oleh Kodam Jaya.
Mantan orang nomor satu Jakarta yang saat itu menjabat sebagai Panglima Daerah Militer Jaya dikabarkan memimpin langsung penyerangan yang saat ini dikenal sebagai tragedi kerusuhan dua puluh tujuh Juli (kuda tuli).
Terkait dengan tragedi kuda tuli, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Tubagus Hasanuddin mengatakan dirinya akan menyarankan kepada Sutiyoso agar tak lagi menggunakan pendekatan intelijen seperti pada tragedi kuda tuli.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon mengatakan ada ruang tersendiri untuk memproses hubungan antara Ketua Umum PKPI Sutiyoso dengan tragedi 27 Juli di Kantor DPP PDI Perjuangan pada 1996 lalu.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar