Tim 'Strategic Legal Planner' Dahlan Iskan membeberkan tiga fakta hukum yang menunjukkan mantan Menteri BUMN itu tidak layak dijadikan tersangka tindak pidana korupsi, apalagi terdakwa/terpidana, dalam kasus mangkraknya pembangunan gardu induk PLN.
"Fakta pertama adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK-RI) Tahun 2014 No. 06.B/LHP/XVII/05/2014 yang secara jelas menyatakan tidak ada unsur kerugian negara dalam proyek pembangunan gardu induk PLN," kata anggota tim SLP Dahlan Iskan, M. Erick Antariksa, di Surabaya, Sabtu (20/6/2015).
Fakta kedua merujuk pada pernyataan pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di media massa bahwa Dahlan Iskan disangka melakukan tindak pidana korupsi karena telah menandatangani Surat Pernyataan PLN kepada Menteri Keuangan.
"Padahal, jaksa melaporkan isi surat bahwa pembebasan tanah untuk proyek pembangunan gardu induk ini telah tuntas, adalah tidak benar," katanya, didampingi anggota tim lainnya, Riri Purbasari Antariksa.
Mengenai surat ini, Dahlan tidak bisa dipersalahkan, apalagi dipidana. Laporan mengenai tuntasnya proses pembebasan tanah itu dibuat oleh seorang General Manager (GM) di PLN saat itu.
Selain GM adalah seorang pejabat yang memiliki kewenangan untuk membuat laporan mengenai hal itu, GM tersebut juga seorang PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), yang dilantik dan diberi wewenang langsung oleh "pemilik" uang pembangunan gardu induk, yaitu Kementerian ESDM.
Surat pernyataan tersebut pun disusun oleh para pejabat berwenang PLN dan sudah dibubuhi paraf yang menandakan bahwa isi dari surat tersebut sudah diketahui dan sudah dicek oleh para pejabat PLN sesuai tanggung jawab serta kompetensinya masing-masing.
"Dengan telah dipenuhinya syarat-syarat tertib administrasi dalam penyusunan surat tersebut, maka menjadi sebuah kewajiban bagi Dahlan yang saat itu menjabat sebagai Dirut PLN untuk menandatangani surat tersebut," katanya.
Apalagi, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan terbaru, Permenkeu Nomor 157/PMK.02/2013, tuntasnya pembebasan lahan oleh PLN, bukan lagi menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan anggaran "multi year".
Fakta ketiga juga merujuk pernyataan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada media massa bahwa Dahlan Iskan disangka melakukan tindak pidana korupsi karena menetapkan sistem pembayaran "On Site".
Padahal, bukan Dahlan Iskan yang menetapkan atau memutuskan sistem pembayaran apa yang akan diterapkan. Semua itu bukanlah kewenangan Dahlan Iskan selaku Dirut PLN, Dahlan Iskan hanya mengajukan usulan.
"Yang menjadi pertanyaan, apakah layak seorang yang mengajukan usul dijadikan tersangka? Padahal kewenangan untuk memutuskan sistem pembayaran tidak dimiliki Dahlan Iskan," katanya.
Berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010, yang disempurnakan dengan Perpres Nomor 70 Tahun 2012, tentang pengadaan barang, Dirut PLN tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai sistem pembayaran.
"Berdasarkan ketiga fakta tersebut di atas, kami sangat menyayangkan keluarnya penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka dalam kasus korupsi gardu induk," katanya.
Namun, pihaknya juga menyadari bahwa berbagai keterangan Dahlan Iskan dalam pemeriksaan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada tanggal 4 dan 5 Juni 2015, yang siap "pasang badan" pasti sedikit banyak telah "menyesatkan" tim jaksa, sehingga Dahlan Iskan pun ditetapkan sebagai tersangka.
"Sudah menjadi sifat dan karakter Dahlan sebagai pemimpin, untuk selalu berusaha 'pasang badan' siap berkorban demi anak buahnya, namun hal itu tetap harus didasarkan fakta hukum dan jaksa harus berpedoman pada fakta hukum," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya berharap pihak kejaksaan melihat tiga fakta yang ada bahwa tidak ada satupun tindak pidana korupsi yang dilakukan Dahlan Iskan.
"Karenanya, kami memohon proses penyidikan kejaksaan terhadap Dahlan Iskan dihentikan demi hukum dan status tersangka yang membelenggu beliau pun dilepaskan," katanya.
Dahlan Juga korupsi Mobil Listrik
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan kerap menyampaikan alasan lupa dalam pemeriksaan kasus dugaan korupsi pengadaan 16 mobil listrik senilai Rp 32 miliar yang melibatkan 3 BUMN, yakni PT Pertamina, PT BRI, dan PT PGN. Sikap Dahlan ini dipertanyakan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo.
"Kabarnya pemeriksaan kemarin itu dia mengatakan enggak tahu, lupa, segala macam, nanti kita akan coba lagi. Masa semuanya lupa," ucap Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (19/6/2015).
Padahal menurut dia, Dahlan Iskan saat itu berperan memberi gagasan, inisiatif dan indikasinya yang menyuruh mengenai pengadaan mobil listrik itu. Karena itu, proses pemeriksaan masih terus dilakukan.
Sementara, Direktur Utama PT Sarimas Ahmadi Pratama, Dasep Ahmadi (DA), dan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia, Agus Suherman (AS) sudah berstatus tersangka.
"Mobil listrik diproses terus, ada beberapa orang tersangka yang sudah ditetapkan Satgassus. Pak Dahlan Iskan masih sebagai saksi, Pak DI kan sebagai Menteri BUMN yang punya gagasan, punya inisiatif, dan indikasinya yang menyuruh pengadaan mobil listrik itu, dengan melibatkan 3 BUMN BRI, PGN, dan Pertamina," tukas Jaksa Agung Prasetyo.
Untuk diketahui, Dasep Ahmadi merupakan tersangka dari pihak swasta yang mengerjakan proyek pengadaan 16 mobil listrik di 3 BUMN. Sedangkan Agus Suherman menjadi tersangka atas jabatannya di Kementerian BUMN.
Saat itu Agus sebagai anak buah Dahlan diperintahkan mencari sponsor untuk menggarap proyek yang rencananya akan digunakan pada acara KTT APEC 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar