Oleh Ade Armando*
Perdebatan tentang boleh tidaknya menggunakan langgam Jawa dalam membacakan Al-Quran memberi petunjuk bahwa Islam di Indonesia masih akan diganggu dengan persoalan-persoalan remeh yang terjadi akibat kesempitan berpikir sebagian kelompok.
Namun di sisi lain, apa yang terjadi juga menunjukkan tumbuhnya peluang yang subur bagi prinsip keberagaman dalam beragama. Apa yang terjadi menunjukkan Indonesia saat ini memiliki pemerintah yang menolak penunggalan dan masyarakat yang juga tidak tinggal diam ketika keberagaman diancam.
Perdebatan ini dipicu oleh pembacaan Al-Quran di istana negara dengan langgam Jawa dalam perayaan Isra Miraj, pertengahan Mei lalu. Ini kemudian diikuti oleh pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bahwa pemerintah berencana menyelenggarakan festival pembacaan Al-Quran dengan beragam langgam Nusantara.
Peristiwa ini membangkitkan respons keras sebagian kelompok masyarakat yang memandang apa yang dilakukan pemerintah sebagai hal yang membahayakan dan haram hukumnya. Terutama di media sosial, beredar kritik, kecaman dan bahkan hujatan terhadap pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa dan Nusantara ini. Bagi para pengecam, Al-Quran hanya bisa dibaca dengan gaya Arab.
Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Persaudaraan Qori’-Qoriah dan Hafidz-Hafidzah (DPP IPQAH) bahkan meminta Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk mengganti Lukman Hakim sebagai menteri Agama.
Pada akhir Mei lalu diadakan pertemuan antara Menteri Agama dengan sejumlah organisasi Islam yang dikenal puritan seperti Front Pembela Islam (FPI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), serta Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI). Dalam pertemuan itu Lukman Hakim menyatakan minta maaf bila apa yang dilakukannya ternyata menyinggung perasaan sebagian ulama. Namun Lukman menolak untuk bertaubat ketika didesak para pemimpin organisasi tersebut.
Gaya kelompok-kelompok puritan itu memang bukan sesuatu yang baru. Namun kali ini, intimidasi mereka tak berlangsung tanpa perlawanan. Para pejabat Departemen Agama berulangkali menyatakan pembacaan Al-Quran berlanggam non-Arab adalah tindakan yang lazim dan dibenarkan di seluruh dunia Islam. Pembacaan Al-Quran berlanggam Jawa biasa dilakukan di pesantren-pesantren.
Ulama yang mendukung sikap pemerintah juga berargumen bahwa selama ayat Al-Quran dibacakan dengan cara yang tidak mengurangi kekhusyukan serta tidak menyalahi aturan tajwid dan mahraj, itu tak bermasalah.
Penjelasan itu misalnya dilontarkan ulama besar KH Quraish Shihab. Sebagaimana dikutip media online republika, dia berkata: “Kita biasa mendengar qari dari Mesir membaca dengan cara yang berbeda dengan nada dan langgam qari dari Saudi atau Sudan. Atas dasar itu, apalah salahnya jika qari dari Indonesia membacanya dengan langgam yang berbeda selama ketentuan tajwidnya telah terpenuhi? Bukankah Nabi Saw. menganjurkan agar Al-Quran dibaca dengan suara merdu dan langgam yang baik, tanpa menentukan langgam tertentu?
Nah, jika langgam Jawa dinilai baik dan menyentuh bagi orang Jawa atau Bugis bagi orang Bugis, dan lain-lain, maka bukankah itu lebih baik selama ketentuan bacaan telah terpenuhi?”
Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang juga adalah ketua Majalis Ulama Indonesia, berpendapat serupa. Sebagaimana dikutip di republika, Din menyatakan, secara normatif theologi tidak ada larangan baik sunnah maupun Al-Quran dengan pelantunan langgam di luar langgam Arab. “Yang penting harus sesuai tajwid dan mahrajnya,” ujarnya.
Memang munculnya penjelasan-penjelasan ini tak dengan sendirinya meredakan kritik. Suara mempertanyakan terdengar di khotbah-khotbah masjid, media sosial dan media online. Perdebatan menjadi meluas setelah menyertakan pandangan-pandangan ulama internasional.
Front Pembela Islam cabang Mesir menyebarkan tulisan berisi komentar Masyaikh Al-Azhar Mesir, Syeikh Thaha Hubaisyi (pengajar senior Ilmu Tasawuf di Al Azhar) yang menonton video pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa tersebut. Menurut Thaha, ia menemukan sejumlah kesalahan dalam pembacaan Al-Quran tersebut.
FPI Mesir juga menyatakan bahwa di Mesir, Al-Azhar pernah menentang dan melarang pembacaan Al-Quran dengan langgam seni/musik.
Ini pada gilirannya dibantah lagi oleh informasi tandingan yang menunjukkan bahwa ada banyak ulama Al-Azhar Mesir yang mendukung pembacaan Al-Quran dengan langgam Indonesia.
Media online muslimedianews, menyajikan pandangan tiga ulama Al-Azhar: Syaikh Jamal Faruq ad-Daqqag (Dekan Fakultas Da’wah Al Azhar), Syaikh Ahmad Hajin (Pengajar Ilmu Hadits Al Azhar), Syaikh Toha Hubaisyi (anggota pentashih Al-Quran Mesir dan pengajar senior ilmu Tasawuf).
Kepada ketiga ulama itu, wartawan muslimedianews memperdengarkan bacaan berlanggam Jawa tersebut. Ternyata ketiga ulama tersebut bukan saja memandang positif tapi bahkan memujinya. Jamal Faruq bahkan memuji sang qori dengan mengatakan “sang qori memperhatikan betul kaidah tajwid dengan pengahayatan saat membacanya”.
Di berbagai media sosial, seperti Youtube, banyak pihak yang meng-upload atau menunjukkan link video pelantunan Al-Quran dengan beragam gaya: Jawa, Sunda, Cina atau bahkan dengan msik kontemporer.
Bagi kalangan yang lebih suka memandang Islam secara subtantif, perdebatan tentang melagukan Al-Quran dengan langgam Jawa ini tentu terasa memalukan.
Namun apa yang terjadi sebenarnya memberi pelajaran penting bagi masyarakat Indonesia tentang sikap beragama.
Hal pokok yang harus diingat oleh masyarakat adalah tidak ada yang tunggal dalam sikap dan penafsiran agama. Mereka yang menganggap hanya ada dalam satu jalan dalam beragama dan menolak pluralisme sebenarnya berbicara atas landasan yang lemah.
Kelompok-kelompok seperti FPI, DDII atau MMI tentu saja berhak untuk menganggap bahwa Al-Quran harus dibaca dengan gaya Arab. Tapi itu cuma satu cara pandang di antara rangkaian cara pandang yang ada.
Organisasi-organisasi itu bisa saja menunjukkan rujukan-rujukan yang mereka pandang otoritatif. Namun kelompok-kelompok lain juga bisa menunjukkan rujukan otoritatif lainnya.
Yang menyuarakan pembenaran terhadap langgam Jawa ini bukanlah cendekiawan yang dianggap memiliki latar belakang sekuler. Yang berbeda pendapat dengan FPI dan kawan-kawan adalah ulama sekaliber Quraish Shihab, Din Syamusddin dan para ulama Al Azhar.
Selama ini FPI dan sejawatnya bisa semena-mena menyuarakan pandangannya karena suara yang menentangnya terbatas. Selama ini organisasi-organisasi tersebut dengan semena-mena mengancam dan mengintimidasi mereka yang menentangnya karena dibiarkan merasa diri mereka sebagai perwakilan paling sah dari kekuasaan Allah di Indonesia.
Kini, mereka harus berhadapan dengan pemerintah yang justru mendukung prinsip yang ditentang FPI dan kawan-kawan: keberagaman.
Mereka merasa berhak untuk meminta Menteri Agama untuk bertobat karena menyelenggarakan acara pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa. Sialnya, Menteri Agama yang dihadapinya kali ini bukan orang yang gampang digertak. Dia menolak untuk bertobat.
Bagi pemerintah, ini adalah sebuah pelajaran penting yang seharusnya memperkuat komitmen pemerintah untuk membangun perubahan sikap mental masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
Indonesia adalah negara yang dibangun di atas keberagaman. Islam sendiri beragam. Membayangkan cuma ada satu Islam Tunggal di Indonesia adalah kesalahan.
*Pemimpin Redaksi Madina Online dan Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar