Sabtu, 20 Juni 2015

Kampanye Rasis KAMMI

Oleh Ade Armando*
Kampanye rasis yang dilancarkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)  menjelang akhir Mei lalu memang layak dikecam. Di satu sisi, itu bisa menumbuhkan kebencian terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia. Di sisi lain, itu bisa sebaliknya memperkokoh kekuatiran terhadap kelompok-kelompok muslim sebagai kaum yang berpikiran radikal, sempit dan mengancam Indonesia.

Sebagaimana sudah ditulis dalam Madinaonline, kampanye rasis itu dilancarkan KAMMI menyambut Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015. Baik secara online maupun offline, KAMMI melancarkan kampanye menuntut pemerintahan Jokowi-JK untuk melindungi kepentingan kaum pribumi melawan non-pribumi. Kalau itu tidak dilakukan, ancam KAMMI, akan terjadi revolusi.
Dalam posternya, KAMMI menulis: “Pribumi vs Non-Pribumi. Itulah perjuangan kami.”

Mereka Juga menulis: “Pribumi lebih berharga di Mata Allah. Pribumi Harus Lebih Kaya Materi.”
Kampanye rasis itu antara lain secara terbuka dilakukan di depan Istana Merdeka Jakarta pada 22 Mei. Sebagaimana diberitakan media online Panjimas, KAMMI menuding pemerintahan Jokowi mengabaikan kesejahteraan masyarakat pribumi dan lebih mementingkan kepentingan “kelompok asing dan aseng”.

“Jokowi dan JK harusnya beri perlindungan pada masyarakat pribumi dari para asing dan aseng yang mengaku sebagai rakyat, tapi hanya menjadi benalu yang menghisap sumber daya alam dan merugikan rakyat pribumi,” ujar Ketua Umum KAMMI, Andiyana sebagaimana dikutip panjimas.
Pernyataan dan ancaman KAMMI itu perlu mendapat perhatian serius karena KAMMI – yang didirikan pada Maret 1998 – saat ini memiliki jaringan yang kuat di banyak Perguruan Tinggi (negeri maupun Swasta) di seluruh Indonesia. Kader-kader KAMMI diketahui menduduki posisi penting di Badan Eksekutif Mahasiswa di banyak PT.

Pertanyaannya, ada apa sebenarnya sehingga BEM bersikap sesempit itu?
Setidaknya ada empat alasan yang mungkin melatarbelakangi kampanye rasis tersebut:
Pertama, orang-orang KAMMI benar-benar percaya bahwa persoalan kemiskinan Indonesia disebabkan karena pemerintah tidak melindungi pribumi.  Kalau ini yang terjadi, artinya KAMMI memang tidak diisi oleh mahasiswa yang gemar membaca diskusi. Dengan kata lain, sekadar bodoh.

Mereka mungkin merujuk pada kekuatan kelompok-kelompok bisnis Tionghoa yang jauh melampaui kaum ‘pribumi’. Daftar 50 orang terkaya di Indonesia memang didominasi (hampir 100 persen) oleh kaum Tionghoa. Mereka juga mungkin melihat bagaimana kaum Tionghoa memiliki posisi dominan di berbagai bidang non-politik: dari ilmu pengetahuan, teknologi, media massa sampai perdagangan.
Namun menganggap dominasi itu perlu ‘dikoreksi’ dan koreksi itu harus dilakukan dengan memberi proteksi pada ‘pribumi’ adalah sangat tidak masuk akal. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kaum Tionghoa mencapai keberhasilan itu dan menularkannya pada etnik-etnik lain.

Selain itu, bila saja kaum Tionghoa tidak lagi dipandang dan diperlakukan sebagai non-pribumi, kekuatan kaum Tionghoa itu justru menjadi asset penting bagi Indonesia. Bila kaum Tionghoa dipandang sebagai saudara, sebagai bagian penting dari bangsa Indonesia, penyatuan antara beragam etik dan ras akan terjadi dengan sendirinya. Implikasinya, kemajuan kaum Tionghoa akan menjadi kemajuan Indonesia.

KAMMI seharusnya sadar bahwa jika kaum Tionghoa diperlakukan dengan gaya diskriminatif, yang akan terjadi adalah pelebaran jarak. Dan bila memang ada kebijakan pemerintah yang memperlakukan kaum Tionghoa secara tidak adil, kaum Tionghoa justru akan merapatkan diri, akan menjadi semakin kompak dan memandang mereka yang berada di luar dirinya  sebagai musuh. Akibatnya, kekuatan ekonomi kaum Tionghoa di Indonesia akan semakin menguat dan mereka akan semakin menganggap Indonesia bukan sebagai tanah air mereka.

Kedangkalan berpikir KAMMI yang lain adalah menganggap bahwa semua kaum Tionghoa itu sama. Tentu saja, ada banyak pengusaha Tionghoa yang kaya raya. Namun mayoritas kaum Tionghoa adalah masyarakat biasa-biasa saja dan ada pula yang miskin dan hidup sengsara. Mendikotomikan pribumi sebagai kaum yang menderita dan kaum non-pribumi sebagai kaum kaya adalah kesalahan fatal yang seharusnya tidak dilakukan kaum terdidik. Apalagi harus diingat kaum Tionghoa yang berada di lapisan bawah ini mengalami perlakuan diskriminatif yang luar biasa dari negara (dari soal KTP sampai akses pendidikan negeri) dan juga  masyarakat (dicemooh, dibully karena keTionghoaan mereka).

Kedua, KAMMI memang percaya kaum Tionghoa adalah musuh. Catatan tambahannya: kaum Tionghoa baru menjadi bukan musuh, bila mereka memeluk Islam.

Ini bisa terjadi bila pemahaman orang-orang KAMMI sedemikian sempit sehingga bagi mereka, dunia adalah sebuah medan pertarungan antara muslim (antara lain diwakili KAMMI) versus non-muslim. Semangat ini dalam dekade terakhir memang terus ditiupkan oleh berbagai kelompok yang terus menerus ingin umat Islam Indonesia percaya bahwa negara ini berada di bawah ancaman konspirasi jahat Barat-Kafir-Liberal-Yahudi dan Kristen.

Isu Tionghoa menjadi mencuat karena umumnya masyarakat Tionghoa dalah nomuslim dan banyak dari mereka yang memang kaya raya dan pengusaha besar yang memiliki peran menentukan di Indonesia. Dengan demikian melawan kaum Tionghoa dipandang sebagai bagian dari perlawanan melawan konspirasi jahat tersebut.

Dalam konteks ini, tuduhan tentang Tionghoa sebagai ancaman memperoleh semacam pembenaran dengan naiknya Basuki Tjahja Purnama (Ahok) ke tampuk pimpinan Jakarta. Dalam frame yang dikembangkan kelompok-kelompok berpikiran sempit ini, sebenarnya sejak awal Jokowi datang ke Jakarta sekadar untuk mempermudah jalan Ahok ke posisi gubernur DKI. Lebih spektakuler lagi, skenarionya bebunyi:  lima tahun mendatang, Jokowi tidak akan maju lagi  sebagai presiden untuk digantikan Ahok!

Ketiga, KAMMI sedang berusaha memobilisasi dan menarik hati sebagian kalangan di Indonesia yang memang masih memiliki kecurigaan dan dan antipati terhadap kaum Tionghoa.  Ini dilakukan untuk kepentingan politik baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan melakukan ‘branding’ semacam ini (“KAMMI adalah satu-satunya kekuatan politik yang melindungi kaum pribumi”), KAMMI akan mudah menarik suara yang dibutuhkan dalam berbagai pilkada, pemilihan calon legislatif ataupun pemilihan presiden nanti. Tentu saja KAMMI sendiri bukan partai politik, namun KAMMI diketahui memiliki hubungan dekat dengan partai politik tertentu.

Rasisme, alat politik NAZI
Rasisme, cara politik NAZI
Cara politik rendahan semacam ini dulu pernah berhasil dilakukan Hitler dan NAZI di Jerman sebelum Perang Dunia II. Hitler dan NAZI berhasil memperoleh suara besar dalam pemilu antara lain dengan semangat rasis dengan mengambinghitamkan Yahudi sebagai sumber masalah yang menyebabkan ekonomi Jerman terpuruk. Mereka juga memanfaatkan semangat anti Yahudi yang ada di kalangan Kristen puritan. Propaganda ini berhasil Hitler dan NAZI dipercaya sebagai semacam ‘juru selamat’ Jerman..

Keempat, apa yang dilakukan KAMMI sekadar melanjutkan perang politik yang tak kunjung selesai sejak Pemilu 2014. Dalam hal ini KAMMI sedang menjalankan peran serdadu bayaran dari kepentingan politik yang lebih luas. Yang diserang bukanlah kaum Tionghoa melainkan legitimasi pemerintahan Jokowi. Isu ‘pribumi versus non-pribumi’ sekadar isu yang digoreng untuk meruntuhkan keabsahan pemerintahan Jokowi.

Sampai saat ini nampaknya masih ada – atau banyak – kelompok masyarakat yang gagal menerima kenyataan bahwa Jokowi sudah menjadi Presiden dan akan menjadi kepala negara setidaknya sampai 2019 nanti. Mereka ini terus menggerus kepemimpinan Jokowi dengan berbagai isu. Bagi mereka, syukur-syukur Jokowi bisa jatuh sebelum 2019. Tapi kalaupun tidak, Jokowi tidak boleh menang lagi dalam pemilu 2019.

KAMMI dikenal sebagai bagian dari barisan anti-Jokowi ini. Mereka diketahui menjadi salah satu motor utama gerakan 20 Mei 2015 untuk menurunkan Jokowi. Mereka sebelumnya sudah mengkonsolidasi BEM-BEM di banyak perguruan tinggi terkemuka. Namun kondisi menjelang 20 Mei menyebabkan tidak ada alasan cukup bagi gerakan massif menggugat sang Presiden, sehingga yang terjadi adalah sekadar unjuk rasa biasa tanpa dampak signifikan.

Sebelum Mei, KAMMI juga sudah melancarkan banyak aksi serangan terhadap Jokowi.  Ketika pemerintah menaikkan harga BBM awal Januari, KAMMI menyatakan pemerintah Jokowi sebagai ‘antek neolib yang menghkhianati rakyat’.  Pada Maret 2015, diberitakan ada aksi serentak KAMMI di 34 kota. KAMMI Solo misalnya menuntut agar Jokowi mundur dan kembali ke kota asalnya saja. Pada Mei, KAMMI melakukan kampanye melalui media sosial #UltimatumJokowi.

Ketika ada kisruh bocornya soal Ujian Nasional yang menyebabkan Jusuf Kalla meminta agar UN diulang, Humas KAMMI di situs resminya menulis: “Wapres Minta UN Diulang, KAMMI minta Pilpres Diulang!”.

Dengan demikian, serangan terhadap kaum Tionghoa ini bisa dilihat sebagai upaya delegitimasi Jokowi secara berkelanjutan. Isu rasis semacam ini sudah diangkat terutama oleh kelompok-kelompok Islam sejak kampenye Pemilu 2014. Saat itu sudah beredar berbagai informasi palsu bahwa Jokowi adalah sebenarnya keturunan Tionghoa atau bahwa jokowi sebenarnya hanyalah boneka pengusaha-pengusaha Tionghoa. Apa yang terjadi saat ini sekadar kelanjutan dari upaya tanpa henti itu.

Mungkin ada alasan lain. Mungkin keempat alasan diatas tidak hadir secara terpisah. Namun, manapun alasan yang benar, yang pasti kampanye pribumi vcersus nonpribumi yang dilancarkan KAMMI ini berpotensi merusak upaya membangun kesejahteraan Indonesia. Kampanye yang didasarkan pada kedangkalan berpikir ini hanya akan menumbuhkan kecurigaan, kebencian dan memperlebar jarak antar kelompok.

* Pemimpin Redaksi Madina Online dan Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: