Oleh Mun’im Sirry
Ketika pertama kali melihat ada “Pengantar Redaksi” dalam buku Kontroversi Islam Awal, saya merasa tersanjung dan humbled bahwa buku kecil itu perlu diantar oleh tim redaksi Mizan ke haribaan pembaca.
Karena judulnya “Kritik atas Kritik terhadap Historiografi Muslim Awal”, saya berharap akan menjumpai kritik tajam yang menghunjam ke jantung argumen yang dikembangkan dalam buku itu sembari memperlihatkan kelemahan-kelemahannya.
Namun, “Pengantar Redaksi” hanya memilih lima contoh untuk dikritik yang, dalam batas tertentu, sebenarnya juga salah sasaran. Karena keterbatasan ruang, saya memilih untuk merespons contoh kasus pertama yang diangkat oleh “Pengantar Redaksi” (barangkali dijadikan nomer satu karena dianggap paling penting dan/atau diajukan konter-argumen paling solid).
Sebenarnya sejak minggu lalu ketika mendapatkan buku itu di toko buku Gramedia Pondok Indah Mall saya ingin memberikan respons. Namun, buku itu keburu diambil seorang kawan yang, katanya, sudah mencari ke sana ke mari dan belum menemukannya. Baru tadi siang saya mendapat kiriman Kontroversi Islam Awal dari Mizan dan itupun hanya 3 eksemplar karena Mizan juga kehabisan stock.
Alhamdulillah, sepertinya buku ini mulai menemui para pembacanyayang saya harapkan tidak berhenti hanya dengan membaca “Pengantar Redaksi.” Respons singkat saya inipun dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi saya atas kerja keras tim redaksi Mizan untuk menuliskan “Pengantar Redaksi.” Tentu saya tidak bersikap adil hanya merespons satu contoh kasus, tapi mudah-mudahan ada kesempatan lain untuk mendiskusikan “Kritik atas Kritik” secara lebih mendalam.
Mari saya jelaskan duduk perkaranya dahulu. Saya menyebut soal apakah kata “muhammad” itu proper name ketika mendiskusikan gagasan sekelompok sarjana di Jerman yang mendirikan sebuah paguyuban intelektual bernama Inarah. Kelompok ini saya golongkan ke dalam mazhab revisionis skeptik-radikal yang saya tunjukkan kelemahan-kelemahannya. Jangankan revisionis radikal, teori yang saya simpatik saja saya beberkan problem-problemnya.
Apakah saya tidak cukup kritis dalam mendiskusikan pandangan kelompok Inarah, termasuk soal kata “muhammad” itu, biarlah pembaca yang menilai. Pada halaman 100, saya tulis begini:
Tentu saja teori Inarah ini memunculkan banyak pertanyaan yang tak terjawab. Misalnya, bagaimana kata “Muhammad” bergeser dari kata sifat menjadi nama seorang. Atau, bagaimana kelompok Kristen non-Trinitarian asal Irak kemudian berubah menjadi dinasti Arab Umayah. Bahwa literatur-literatur non-Muslim tidak menyebut agama baru yang dibawa oleh orang-orang Arab dan justeru menuduhnya sebagai kelompok Kristen heretik, tidak berarti orang-orang Arab di Suriah tidak memeluk agama Islam.
Sebab, para penulis Kristen Suryani itu menyebut kelompok keagamaan yang tidak sealiran dengan paham resmi Gereja, termasuk agama Islam yang baru muncul, sebagai heretik. Baik sarjana-sarjana Inarah, Nevo maupun Crone memang menyuguhkan suatu interpretasi yang cukup kreatif tentang sejarah kemunculan Islam, tapi lebih bersifat imaginatif ketimbang persuasif.
Jadi, jangan dikesankan saya mendiskusikan pandangan kelompok Inarah dan menyetujuinya. Jika cara saya mengevaluasi gagasan mereka dan sarjana skeptis lain dinilai tidak cukup tajam, silakan tulis kritik yang lebih keras. “Pengantar Redaksi” mempersoalkan kenapa saya tidak mengimbangi dengan “penyajian serupa dari pandangan-pandangan para sarjana Muslim kontemporer yang tak kurang amat kritis pula.”
Saya tidak tahu siapa yang dimaksud “sarjana Muslim yang tak kurang amat kritis” ini. Saya juga tidak ingin terlibat dalam klaim-klaim penghakiman siapa saja sarjana “yang memiliki otoritas akademis.” Saya sendiri tidak merasa otoritatif untuk menghakimi siapa yang punya otoritas, tapi saya juga tidak perlu digurui soal ini.
Ada dua alasan kenapa kritik ini salah alamat. Pertama, saya selalu mengawali setiap diskusi (sebagaimana tergambar dalam judul buku) dengan menjelaskan pandangan tradisional yang diyakini secara umum oleh kaum Muslim, dan kemudian diikuti oleh penjelasan alternatif yang ditawarkan oleh sarjana-sarjana revisionis. Pandangan kaum Muslim soal nama Nabi Muhammad sudah sangat jelas.
“Pengantar Redaksi” menyebut karya Jawad Ali, Tarikh al-‘Arab fi al-Islam, untuk menunjukkan bahwa kata “yahmed” sudah dikenal sebelum Islam. (kayaknya, judulnya bukan fi al-Islam tapi qabl al-Islam, coba dicek lagi.)Saya bisa tambahkan rujukan: Sejarawan Muslim abad ketiga (cukup awal kan!) Ibn Sa’d (w.230/845) dalam al-Tabaqat al-kubra dan Ibn Duraid (w.321/933) dalam al-Isytiqaq sudah membuat daftar orang-orang yang sebelum Islam dinamai “Muhammad.”
Kedua, kenapa kelompok Inarah tidak menyinggung sumber-sumber Muslim ini? Pertanyaan ini lebih salah alamat lagi, karena mereka memang hendak merekonstruksi sejarah kemunculan Islam tanpa bersandar pada literatur Muslim yang dianggapnya bermasalah. Terlepas dari pendekatan Inarah terhadap sumber-sumber Muslim itu, daftar yang diajukan Ibn Sa’d tampaknya memang bermasalah secara historis karena diawali dengan judul begini: “Penjelasan tentang mereka yang dinamai ‘Muhammad’ pada masa Jahiliyah dengan harapan dapat mengklaim kenabian sebagaimana telah diprediksikan.”
Kemudian, “Pengantar Redaksi” menyebut nama sarjana Barat yang mengakui bahwa Muhammad itu memang nama Nabi, yakni Aloys Sprenger dalam Das Leben und die Lehre des Mohammad. Ini menarik. Saya tidak akan mengatakan “Pengantar Redaksi” tidak membaca karya sarjana Austria ini, tapi perlu dicatat bahwa Sprenger ini barangkali sarjana Barat pertama yang mengatakan bahwa Muhammad itu bukan nama asli Nabi.Silakan baca addendum pada bab kedua bukunya tersebut, “Hiess der Prophet Mohammad.”
Saya ringkaskan argumen Sprenger begini: Dalam al-Qur’an, Nabi itu disebut bernama Ahmad, dan beliau baru mengadopsi nama Muhammad ketika berhijrah dari Mekkah ke Madinah, yang sebelumnya disebut Yathrib. Sprenger menunjukkan, empat ayat di mana kata “Muhammad” disebutkan dalam al-Qur’an semuanya tergolong ayat-ayat Madaniyah. Dan akar kata h.m.d, yang dalam bahasa Arab klasik berarti “memuji”, dalam sebagian dialek Arab berarti merindukan. Masih menurut Sprenger, ketika di Madinah Nabi masih merindukan tanah kelahirannya di Mekkah dan karena itu beliau menyebut diri “Muhammad.”
Tanpa bermaksud menggurui, berikut saya diskusikan serba singkat perdebatan seputar nama “Muhammad” dalam kesarjanaan Barat. Gagasan Sprenger ini tentu saja memantik diskusi menarik. Tak kurang dari sarjana kesohor asal Perancis, Ernest Renan, mempersoalkannya. Dia merujuk pada prasasti Yunani di Palmyra yang menyebut kata (ditulis dalam bahasa Yunani, tentu saja) yang bisa diartikan “taym muhammad” atau “taym ahmad.” Jika ini benar, maka kata “muhammad” sudah umum digunakan sebagai proper nama di kalangan masyarakat Arab sebelum Islam.
Sprenger meneliti kata Yunani tersebut dan ternyata berarti “mu‘ammad”, bukan “muhammad.” Menarik dicatat, “mu‘ammad” berarti “yang dibaptis” (kemungkinan merujuk kepada Yesus). Pandangan Sprenger ini diamini oleh Hartwig Hirschfeld, tapi ditolak oleh Gustav Rosch. Silakan baca artikel Rosch, “Die Namen des arabischen Propheten Muhammed und Ahmed” (1892).
Kritik atas Sprenger paling tajam, saya kira, diajukan oleh Theodor Noldeke. Sarjana Jerman yang karyanya, Geschichte des Qorans, sangat berpengaruh dalam kesarjanaan Qur’an di Barat ini membangun argumennya berdasarkan sumber-sumber Muslim tradisional. Saya tidak punya bukunya di tangan untuk menjelaskan dasar argumennya secara detail, tapi dua hal yang saya ingat. Pertama, nama “muhammad” tertera dalam dua dokumen yang dihasilkan cukup awal, yakni piagam Madinah dan perjanjian Hudaibiyah.
Kedua, dan ini yang lebih kuat, kata “muhammad” selalu muncul dalam bentuk nakirah (indefinite) tanpa alif lam, bukan ma’rifah (definite). Jika kata “muhammad” adalah sebutan (epithet), maka ia akan ditulis dengan ma’rifah juga, al-muhammad. Ternyata, tidak. Kritik Noldeke atas Sprenger cukup panjang, namun tak cukup ruang di sini.
Yang menarik, dalam tulisan yang lain Noldeke mengindikasikan bahwa kata “muhammad” kemungkinan singkatan dari nama Tuhan Nabatean, yakni “muhammad-il” (artinya, Tuhan yang terpuji). Pandangan ini diamini oleh Hubert Grimme yang beragumen bahwa kata “muhammad” hanya mungkin diasosiasikan pada sifat Tuhan.
Argumen terakhir ini belakangan dikembangkan lebih jauh oleh kelompok Inarah. Walaupun tidak menyebut Grimme, beberapa sarjana yang tergabung dalam kelompok Inarah sebagaimana saya diskusikan dalam buku itu berargumen bahwa kata “muhammad” sebenarnya sifat dari Yesus. Begitulah mereka memaknai kalimat-kalimat yang tertera dalam Kubah Sakhrah (Dome of Rock) yang terkenal itu.
Namun, argumen Grimme ditolak oleh August Fisher yang memperlihatkan sejumlah contoh dari leksikografi Arab bahwa akar kata h.m.d tidak selalu dikaitkan dengan Tuhan, tapi seringkali digunakan untuk memuji seseorang. Fisher juga merujuk pada munculnya kata m.h.d.a dalam Book of Himyarites. Tapi, perlu diketahui, buku terakhir ditulis dalam bahasa Suryani menjelaskan tentang para syuhada Kristen dari Najran.
Begitulah sekelumit perdebatan tentang kata “muhammad” dalam kesarjanaan modern. Saya berharap, pembaca tidak berhenti hanya membaca “Pengantar Redaksi,” sungguhpun pengantar itu amat sangat mencerahkan. Apakah kata “muhammad” itu proper name atau epithet, kita tetap shallu ‘ala al-nabi muhammad wa ‘ala āli muhammad.
*Mun’im Sirry adalah Dosen di University of Notre Dame dan Penulis Buku Kontroversi Islam Awal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar