Jurnalis Independen: Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Mahasiswa Pegunungan tengah Papua Se-Indonesia (DPP-AMPTPI) realisasi 8 (delapan) hasil resolusi kongres III AMPTPI di Villa Bilabong Bogor pada 18 mei 2015 lalu.
Sekjen AMPTPI Januarius Lagowan menjelaskan ke – 8 hasil resolusi tersebut adalah, Pertama pihaknya mendukung penuh terbentuknya wadah koordinasi United Liberation Mobement of West Papua (ULMWP) dan di terima sebagai anggota MSG tahun 2015 dan mendorong ULMWP masuk ke Pasifik Island Forum (PIF) dan didaftarkan ke komisi C-24 PBB.
Kedua mendesak kepada PT Freport mc moran coper and Goldberg/PT freeport Indonesia untuk melakukan perundingan segitiga antara Pemerintah Indonesia, pemilik hak ulayat dan PT Freport Indonesia , sebelum kontrak karya III tahun 2021, “Jika ini tidak dilakukan maka kami sebagai pemilik hak ulayat akan melakukan penutupan operasi penambangan PT freeport dari tanahnya Amungsa Papua,” tegasnya, Jumat (5/6)
Ketiga adalah, pihaknya mendesak Pemerintah segera membuka akses bagi jurnalis asing, diplomatik, senator, akademisi dan Pemerhati HAM untuk masuk ke tanah Papua.
Keempat, menolak semua bentuk pemekaran kabupaten/kota dan provinsi di atas tanah Papua.
Kelima, Pemerintah Indonesia harus segera membentuk komisi pemantauan dan penyelidikan HAM (KPP Ham) atas kasusu Paniai berdarah, Yahukimo berdarah, dan penyelesaian Wamena berdarah serta Wasior berdarah dan peristiwa pelanggaran HAM di tanah Papua lainnya.
Keenam, Pemerintah Indonesia segera menarik pasukan organik dan non organik serta menghentikan pengembangan infrastruktur TNI maupun Polri di tanah papua dan secara khusus menolak tegas rencana pembangunan markas Brimob di Wamena Jayawijaya.
Ketujuh, pihaknya mendesak Gubernur Papua dan DPR Papua dan para Bupati/Walikota dan DPRD untuk melakukan sensus khusus orang asli Papau setiap tahun dengan mengeluarkan perdasus tentang pembatasan penduduk migran dan membuat kartu tanda penduduk orang asli Papua.
Kedelapan, pihaknya mendesak Gubernur Papua dan Papua Barat untuk menutup semua tempat penjualan miras beralkohol dan prostitusi komersial di tanah Papua.
Ditambahkan, mantan wakil Sekjen AMPTPI Dominikus Sorobut menegaskan terkait dengan tuntutan pembuatan KTP orang asli Papua, dimaksudkan untuk memproteksi orang asli Papua dalam hal pertambahan jumlah penduduk orang asli Papua.
“Jika ini benar-benar bisa dilaksanakan maka kita dapat dengan mudah mengetahui pertambahan jumlah penduduk masyarakat asli Papua,” katanya.
Terkait dengan tuntutan AMPTPI terhadap PT. Freeport Indonesia, Sorobut menambahkan, pembahasan eksplorasi PT Freeport Indonesia telah dilakukan dari kongres I, II dan Ketiga kali ini, karena menurutnya permasalahan eksplorasi PT. freeport Indonesia merupakan permasalahan yang serius.
Terlebih kontrak karya ke-III akan segera dilakukan yang direncanakan akan adanya pembukaan lahan baru untuk pertambangan. “Sebelum Kontrak Karya ke – III berlangsung, kami meminta masyarakat adat untuk dilibatkan.
Disini masyarakat adat sebagai subjek yang memiliki lahan tersebut, sehingga harus ada perundingan segitiga antara Pemerintah, PT. Freeport dan masyarakat adat,” tegasnya. Pihaknya juga berupaya turut menyelesaikan permasalahan masyarakat adat dengan PT. Freeport, dengan melakukan pendekatan-pendekatan terhadap instansi yang berkepentingan, selain itu diakuinya, juga akan dilakukan presure terbuka dengan salah satunya melakukan advokasi sama halnya dengan tokoh perempuan suku Amugme Mama Yosepa.
“Kami dengan mama Yosepa memiliki tuntutan yang sama, hanya beda pintu. Jika tuntutan kami tidak di indahkan maka kami akan membawa kasus ini ke International Justisistem Corp,” ujarnya.
Dirinya juga menyoroti akan beredar luasnya minuman beralkohol di Papua, yang menurutnya minuman beralkohol merupakan penyebab utama kematian orang asli Papua dan lagi keberadaan prostitusi di Papua, yang juga menjadi penghancur moral masyarakat Papua.
Karena itu pihaknya meminta kepada semua pihak, utamanya Pemerintah daerah dan pemangku kebijakan untuk segera mengeluarkan Perturan Daerah (Perda) larangan miras dan prostitusi. “Jika Perda sudah ada maka itu akan menjadi payung hukum kuat, dan atas itu juga nantinya kami setelah melakukan Rapat Kerja Nasional (Raker, red) pada bulan Agustus mendatang, kami akan membentuk satgas AMPTPI untuk melakukan swiping keberadaan miras dan prostitusi ini,” ujarnya lagi.Adisuryadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar