Oleh Ade Armando*
Apa yang dilakukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sungguh memprihatinkan. Organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia ini tiba-tiba saja mengangkat isu perlindungan terhadap kaum pribumi melawan kepentingan asing dan aseng (baca: Tionghoa). Kalau kaum terdidik muslim bicara dengan nada rasis seperti ini, tentu menakutkan.
Suara rasis ini mulai terdengar tatkala muncul aksi-aksi protes terhadap Jokowi menjelang dan sesudah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015. Sejarah mencatat aksi demo anti Jokowi yang semula dikampanyekan akan bergelora itu hadir dengan tampilan sederhana. Banyak Badan Eksekutif Mahasiswa menolak terlibat. Salah satu alasan utamanya, tentu saja, tak ada persoalan besar di Indonesia yang memberi alasan bagi berlangsungnya sebuah aksi massa besar. Namun di tengah sepinya gerakan 20 Mei itu, isu pribumi versus nonpribumi mencuat secara terpisah.
KAMMI yang memang menjadi salah satu motor utama gerakan tersebut melalui pernyataan terbuka mendesak pemerintahan Jokowi untuk ‘melindungi Rakyat Pribumi Indonesia dari Dominasi dan Ketamakan Asing-Aseng’.
KAMMILebih jauh lagi KAMMI mengajak Rakyat Indonesia untuk bersama-sama melakukan Revolusi bila Pemerintahan Jokowi-JK terbukti semakin berpihak pada Asing-Aseng.
Pernyataan KAMMI mencerminkan kedangkalan pengetahuan tentang persoalan ekonomi Indonesia. Tentu saja Indonesia didera persoalan kesenjangan ekonomi yang parah: pertumbuhan ekonomi Indonesia memang mengesankan, namun jurang antara kaum kaya dan kaum miskin di negara ini juga melebar. Langkah-langkah untuk membangkitkan ekonomi rakyat memang wajib dilakukan. Tapi persoalan kemiskinan ini tak bisa dijawab dengan kebijakan pro pribumi, karena isunya memang bukan pribumi versus non pribumi.
Masalah Indonesia bukan masalah ras, melainkan masalah kelas.
Sebelum Jokowi, hampir semua pemerintahan mengeluarkan kebijakan yang mengandung bias keberpihakan pada kalangan elit. Kebijakan yang dilahirkan pemerintah terus ditekan, dipengaruhi, dilobby agar berpihak pada kepentingan pemodal besar. Akibatnya rakyat memang cuma jadi pelengkap penderita.
Namun kalangan elit yang diuntungkan ini bukan hanya pengusaha Tionghoa melainkan juga pengusaha non-Tionghoa.
Tentu saja orang akan mengatakan bahwa dalam sejarah, pedagang Tionghoa pernah diuntungkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Demikian pula, di era Orde Baru, Soeharto pernah sangat dekat dengan banyak pengusaha Tionghoa yang kemudian berkembang menjadi para konglomerat di Indonesia.
Namun di sisi lain, orang juga perlu mengingat bahwa di masa Orde Lama pernah ada kebijakan pro pedagang pribumi. Soeharto pun memberi banyak kemudahan bagi pengusaha non-Tionghoa di masa ia berkuasa. Di era Habibie juga ada langkah-langkah khusus untuk membantu wiraswastawan muslim.
Jadi kalau sekarang nampak ada ketertinggalan kaum miskin, itu tak ada hubungannya dengan ras. Adalah benar bahwa para pengusaha Tionghoa kompak menjalin hubungan dengan sesama pengusaha Tionghoa dalam jaringan yang tak bisa dtembus pengusaha non-Tionghoa, namun itu nampaknya sekadar mekanisme penyelamatan diri kelompok Tionghoa menghadapi isolasi yang dialaminya.
Kalaulah pemerintah Jokowi diharapkan mendorong penguatan ekonomi rakyat kecil, yang harus didesak adalah kebijakan pro rakyat kecil, seperti kemudahan kredit bank bagi pengusaha kecil, peringanan pajak, pembangunan infrastruktur, pelatihan, pajak progresif serta berbagai tunjangan dan subsidi.
Bila sekarang KAMMI menuntut agar pemerintah melindungi pribumi, apa yang lantas harus dilakukan oleh pemerintah? Seperti dikatakan, pemerintah di masa lalu pernah menganakemaskan pengusaha non-Tionghoa. Yang terjadi, banyak dari kaum yang diistimewakan itu juga tumbuh menjadi pengusaha-pengusaha besar tanpa peduli pada rakyat.
Banyak pihak mengatakan pengusaha Tionghoa menjadi besar dengan menyuap dan membeli pejabat-pejabat Indonesia. Tapi, tidakkah itu adalah praktek yang dilakukan oleh para pebisnis dari manapun (bisa jadi Jawa, Minang atau AS) yang tahu bahwa untuk bisa survive di Indonesia, mereka harus melakukan praktek kotor itu?
Tambahan lagi, apa yang sebenarnya disebut sebagai ‘pribumi’ dan apa yang disebut sebagai ‘aseng’? Tidakkah orang-orang Tionghoa adalah warga negara Indonesia yang sejak lahir hidup di Indonesia. Kalaulah banyak orang Tionghoa yang memilih hidup eksklusif, tidakkah itu juga disebabkan karena sikap masyarakat yang cenderung membedakan orang Tionghoa sebagai bukan pribumi.
Banyak orang tidak tahu bahwa selama ini banyak kebijakan di Indonesia yang sudah berpihak pada kaum non-Tionghoa berhadapan dengan orang Tionghoa. Salah satunya adalah kebijakan pendidikan.
Anak-anak Tionghoa sulit untuk bisa masuk ke sekolah negeri dan juga perguruan tinggi negeri karena memang ada keputusan politik untuk membatasi porsi anak-anak Tionghoa. Karena itulah umumnya komunitas Tionghoa bersekolah dan berkuliah di perguruan tinggi swasta. Kalau pintu dibuka lebar, bisa-bisa UI atau ITB dipenuhi oleh mahasiswa Tionghoa.
Karena itulah sikap KAMMI terkesan sangat dangkal dan menakutkan. KAMMI adalah sebuah organisasi besar yang seharusnya tampil sebagai kumpulan mahasiswa-mahasiswa muslim pintar yang krisis dan cerdas mengajukan pandangan-pandangan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Apalagi KAMMI menyandang nama Islam. Suara KAMMI semacam ini, tanpa mungkin mereka sadari, hanya akan memperkuat kesan Islam yang tertinggal, bodoh, radikal, eksklusif dan mengancam.
Dalam pernyataannya, KAMMI mengatakan bahwa yang mereka maksudkan dengan ‘pribumi’ adalah ‘rakyat Indonesia’ Ini tentu saja mengada-ada. Bila demikian adanya, mengapa KAMMI tidak menyatakan saja, pemerintah Jokowi harus membela kepentingan rakyat kecil berhadapan dengan pemodal besar? Mengapa tiba-tiba saja ada kata ‘aseng’?
Karena itu, sulit untuk menghilangkan kesan bahwa KAMMI saat ini memang sedang meniupkan semangat rasisme: menempatkan orang-orang Tionghoa sebagai musuh!
Itu memprihatinkan. Itu menakutkan!
*Pemimpin Redaksi Madina Online dan Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar