Minggu, 28 Juni 2015

Dibalik Revisi UU KPK, Motif Politis, Jebakan dan Cuci Tangan Kasus Korupsi Anggota Dewan

Jurnalis Independen: Motif politis, jebakan, pemandulan hindari penangkapan tangan dan penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membuat DPR bersikukuh melakukan merevisi UU KPK. Pekok dan Anehnya justru dengan dalih memperkuat lembaga anti rasuah tersebut.



Lantaran itu, banyak tokoh publik memberiukan komentar atas niat busuk DPR yang dikuasai manusia bejat, korup dan bermasalah baik secara moral maupun hukum. Dalam kasus UU KPK yang kini telah masuk Prolegnas, Peneliti Indonesia Legal Roudtabel (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyebut argumentasi tersebut sebagai jebakan DPR.

Erwin menilai alasan penguatan lembaga itu hanya akal-akalan semata untuk mencapai tujuan sebenarnya para legislator. DPR berusaha menenggelamkan kewenangan dan keberadaan KPK.

"Publik jangan terjebak pada jebakan yang dilakukan oleh DPR. Padahal substansi yang diubah justru menenggelamkan atau memundurkan KPK ke depannya," katanya, Jumat (26/6).

Menurutnya, UU KPK saat ini tidak memerlukan revisi. Hanya saja DPR tetap 'ngotot' berusaha membatasi kewenangan KPK. Dari ini publik sudah bisa melihat sendiri perangai anggota dewan menuju pada pelemahan lembaga yang didirikan pada tahun 2003 ini.

Ia mengatakan DPR juga sebelumnya pernah melakukan jebakan-jebakan yang mengatasnamakan penguatan badan atau lembaga. Dicontohkan pada saat merevisi UU MD3 pada pertengahan 2014. Pada saat itu, jelasnya, DPR berargumentasi ingin memperkuat Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN).

Namun pada kenyataan kemudian badan ini justru dilumpuhkan oleh lembaga legislatif sendiri. Selain itu juga bisa dilihat pada UU Pilkada yang dinilai juga hanya menguntungkan DPR saja. Pun patut dikhawatirkan upaya DPR ini justru akan berimplikasi pada pengurangan dukungan pada gerakan-gerakan anti korupsi.

"Kita tentu khawatir revisi UU KPK ini akan berimplikasi menurunnya gerakan anti korupsi karena semakin terbatas kewenangannya," ungkapnya.

Motif Politis, DPR Paksa Revisi UU KPK
Ada pertanyaan mengapa DPR terkesan terburu-buru untuk merevisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Pengamat hukum pidana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Ahmad Bahiej menilai kemungkinan adanya pertimbangan politis yang menjadi latar belakang DPR 'ngotot' revisi UU KPK.

Ahmad mengatakan UU KPK hingga saat ini tidak bermasalah yang memgharuskannya diubah. Oleh karena itu ada unsur politik yang bermain agar revisi ini berjalan dan segera merubah wewenang KPK yang istimewa.

"Belum ada masalah di UU KPK yang kemudian harus direvisi. Kecuali ada kemungkinan pertimbangan politis yang membuat DPR terburu-buru ingin merevisinya," jelas Ahmad Bahiej, Kamis (25/6) malam.

Menurutnya, anggota DPR diduga merasa terancam dengan keberadaan KPK. Hingga akhirnya mencari jalan untuk melemahkan lembaga yang dibentuk pada 2003 ini. Revisi UU KPK pun akhirnya masuk dalam daftar Prolegnas 2015.

Ia menambahkan selama ini DPR dan pemerintah berdalih ingin memperbaiki kelembagaan KPK. Padahal hingga kini KPK juga masih bisa berjalan dan bekerja sesuai tanggung jawab dan kewenangannya.

Sementara, kata dia, DPR merasa kewenangan KPK terlalu berlebihan seperti pada hak penyadapan. Sebagai lembaga yang dibentuk secara khusus, maka sudah sepantasnya lembaga yang saat ini dipimpin Taufiqurrahman Ruki ini memiliki hak istimewa. Tentu saja harus berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Usulan revisi UU KPK sebenarnya sudah muncul sejak lama. Kini berhasil disetujui masuk Prolegnas dan mendapat dukungan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasona Laoly.

Tidak ada komentar: