Senin, 30 September 2013

Tiap Hari Usia 13 Tahun Dipaksa Melayani Birahi 10 Tentara Jepang

Sejarah Nasional Indonesia Membungkam Kisah Jugun Ianfu

Jurnalis Independen: Masa penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan masa kelam bagi perempuan Indonesia. Masa remaja mereka direnggut secara paksa. Mereka dijadikan Jugun Ianfu (budak seks) tentara kerajaan Jepang untuk memenuhi kebutuhan seks para serdadunya.


Melakukan invansi dan perang ke negara lain membuat kelelahan mental tentara Jepang. Kondisi ini mengakibatkan tentara Jepang melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan masal yang mengakibatkan mewabahnya penyakit kelamin yang menjangkiti tentara Jepang.

Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Situasi ini memunculkan gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal, menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang.

Mereka direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.

Jugun ianfu berasal dari Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, Malaysia, dan Indonesia. Sebagian kecil di antaranya dari Belanda dan Jepang sendiri. Mereka dibawa ke wilayah medan pertempuran untuk melayani kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang baik di garis depan pertempuran maupun di wilayah garis belakang pertempuran.

Sebagian besar perempuan-perempuan yang berasal dari pulau Jawa yang dijadikan Jugun Ianfu seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri Sukanti, Wainem, hanyalah sebagian kecil Jugun Ianfu Indonesia yang bisa diidentifikasi. Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia yang hidup maupun sudah meninggal dunia yang belum terlacak keberadaannya.

Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian diaborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.

Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945 telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.


Gambaran kondisi Jugun Ianfu di jaman perang.
Diperkirakan jumlah wanita yang menjadi budak seks ini termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik, pada saat perang berkisar antara 20.000 dan 30.000.

Kekerasan seksual yang terjadi dalam perang dunia kedua tersebut cukup mengejutkan. Para tentara Jepang bahkan mengkoordinir sistem kerja paksa seksual terhadap ribuan wanita penghibur di Asia. Bahkan, banyak dara belia yang mengalami kekerasan seksual di gudang pabrik, gerbong kereta, maupun di rumah. Tak terkecuali perempuan-perempuan pribumi.

Hingga saat ini, usai 65 tahun kemerdekaan, sudah ada 1.156 wanita yang menjadi Jugun Ianfu dimana kisah-kisah mereka dibungkam oleh sejarah masa lalu. Selama ini pula kisah-kisah gelap perjuangan wanita penghibur tersebut memang tidak pernah diceritakan dalam buku teks pendidikan sejarah Indonesia. Dan, inilah kisah mereka.

Sandiwara Gadungan
Tiada yang menyangka, penderitaan lahir dan batin harus ditanggung oleh perempuan renta ini. Dulu, ia bercita-cita menjadi pemain sandiwara, tapi kemudian pupus oleh tipu daya Jepang. Ia pun harus rela dijadikan Jugun Ianfu, pemuas nafsu birahi serdadu Jepang. Benar-benar menyakitkan!


Ianjo pertama di dunia.
Sosoknya begitu bersahaja. Usianya tak lagi muda. Ia tinggal di salah satu gang di sudut kota Yogya, tepatnya di daerah Pathuk (yang terkenal dengan bakpianya). Rumahnya mungil. Orang-orang sekitar memanggilnya Mbah Mardiyem.

Mardiyem berusia 78 tahun. Tak ada yang tahu jika dirinya dulu pernah menjadi budak seks tentara Jepang. Dan karena itu ia memiliki nama panggilan semasa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia, oleh tentara Jepang, dipanggil dengan ‘Momoye’. Panggilan itu merupakan panggilan bagi jugun ianfu yang dipekerjakan saat itu.

Tak banyak orang yang mengunjungi rumah Momeye. Ia telah banyak dilupakan. Dilupakan oleh negara dan dilupakan oleh teman-temannya. Bahkan, banyak dari teman-temannya yang sudah meninggal.

“Beginilah saya sekarang,” ungkapnya dalam bahasa Jawa sembari memperkenalkan diri. Meski demikian, sosoknya masih kelihatan cantik. Wajah dan kulit yang terlihat putih menjadi penanda sisa-sisa kecantikan masa lalunya.
Pendengarannya pun masih setajam dulu. Sepertinya tak banyak yang berubah dari perempuan tua ini, selain keriput yang makin melebar dan gerakannya yang terlihat lamban. Dan mulailah Mardiyem menuturkan pengalamannya.

Mardiyem lahir di Yogyakarta pada tahun 1929. Saat itu, Mardiyem kecil hanya mengecap pendidikan hingga kelas II sekolah rakyat (SR) di Yogyakarta. Dan ia memiliki bakat di bidang seni. Mardiyem sejatinya terlahir sebagai seniman handal. Ia mahir menyanyi keroncong dan sering tampil di pergelaran sandiwara di kampungnya.

Suatu hari di jaman penjajahan di tahun 1942, Mardiyem ditawari main sandiwara oleh seorang Jepang. Waktu itu umurnya baru 13 tahun, ayah dan ibunya sudah meninggal. Kakak yang saat itu tinggal dengannya pun mengizinkan untuk menerima tawaran itu.


Mardiyem atau dikenal Momeye.
Saat itu ada 48 perawan Yogyakarta yang diangkut dengan kapal Nichimaru milik Jepang menuju Telawang, Kalimantan Selatan. Di pulau seberang itu mereka dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama ditempatkan di restoran Jepang. Kelompok kedua dipekerjakan sebagai pemain sandiwara. Kelompok ketiga, termasuk Mardiyem, dibawa ke sebuah asrama tentara Jepang yang dipagari bambu tinggi. Orang menyebut tempat itu ian jo. Di area itu terdapat puluhan kamar berjejer teratur.

Cikada, pengurus asrama itu, segera menemui para gadis, termasuk Mardiyem. Para gadis itu diberi nama Jepang. Mardiyem pun menjadi Momoye, setelah terinspirasi cantiknya bunga kembang kertas yang dalam bahasa Jepang disebut Momoye. Setelah diperiksa dokter, para gadis diperintahkan menempati kamar masing-masing. Kamar itu sempit, luasnya tak lebih dari dua meter persegi. Mardiyem ditempatkan di kamar nomor 11. “Dindingnya masih tercium ada bau cat,” tuturnya.

Gadis remaja itu terhenyak. Ia merasa ditipu, karena ternyata pekerjaan menjadi pemain sandiwara muslihat belaka. Mulai saat itu ia resmi menjadi jugun ianfu, budak seks bagi tentara Jepang. Sejak itu pula Mardiyem tak akan pernah bisa melupakan pengalaman duka tersebut.

Pada hari pertama “kerja” tiba-tiba seorang pria Jepang nyelonong ke kamarnya. Lelaki berewok itu membawa karcis.

“Saya tendang. Saya lawan. Tapi, seberapa sih kekuatan anak umur 13 tahun?” ujar Mardiyem.

Benteng itu hancur lah sudah. Air matanya mengucur deras menahan pedih. Sakit! Dia tak pernah lupa pada derita perih saat kegadisannya direnggut.

Ternyata lelaki berewok itu baru permulaan, pembuka petaka. Siang itu pula enam laki-laki bergiliran mendatangi kamarnya. Kamar sempit itu segera menjadi neraka bagi Mardiyem. Kemaluan remaja yang belum mendapat haid itu mengalami perdarahan hebat. “Saat berjalan saja darahnya sampai netes. Kain saya basah jadinya,” ujarnya lirih seperti yang dikutip dalam sebuah situs berita.

Selama tiga tahun Mardiyem dikurung di kamar nomor 11. Siang-malam dia harus melayani birahi tentara Jepang. Waktunya habis dalam kamar “pemerkosaan” itu. Bahkan, untuk makan yang hanya dijatah satu kali sehari pun sering tak sempat.

Bukan hanya kekerasan seksual yang dialami Mardiyem selama tiga tahun itu. Pukulan, tamparan, dan tendangan menjadi makanan sehari-hari. Para tamu ataupun pengelola ian jo begitu ringan tangan setiap Mardiyem menolak melayani. Setiap hari Mardiyem harus menjadi Momoye dan dipaksa melayani sedikitnya 5 hingga 10 lelaki.

Ternyata para pengunjung ian jo harus membeli karcis untuk bisa memperkosa Mardiyem dan kawan-kawannya. Semakin malam, harga karcisnya kian mahal. Setiap jugun ianfu harus mengumpulkan karcis yang dibawa para tamu. Menurut pengelola ian jo, karcis-karcis itu akan ditukarkan dengan uang di kemudian hari. Tiga tahun berlalu, namun para gadis itu tidak menerima satu sen uang pun . Padahal, selama tiga tahun menjadi Momoye, Mardiyem mengumpulkan satu keranjang karcis.

Dua tahun berlalu. Suatu hari, Cikada, pengelola ian jo, memanggil Mardiyem ke kantornya. Mardiyem dibawa ke rumah sakit, karena gadis yang baru menginjak usia 15 tahun itu hamil. Petugas rumah sakit menggugurkan paksa kandungannya tanpa bius. Seorang perawat menekan perut gadis malang itu kencang-kencang. Mardiyem pun menjerit keras. Janin yang berusia 5 bulan itu keluar dari rahimnya. Akhirnya, janin yang berwujud manusia itu hanya sesaat merasakan dunia.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Mardiyem dan rekan-rekannya lepas dari cengkeraman tentara Jepang. Tak lama setelah mereka lari, pasukan Sekutu menghujani asrama itu dengan bom.

“Aku semakin sedih jadinya, kalo ingat masa-masa itu”, tutur Mardiyem.

Setiap malam tiba, penderitaan selama menjadi Momoye selalu terbayang. Air matanya pun menetes. Semua kenangan sedih itu terurai kembali.

Permintaan Maaf dari Jepang
Selama tiga tahun, (1943-1945), Momoye harus melayani tamu. Entah tentara atau sipil. Jika mereka tak puas, pukulan dan tendangan sepatu lars sering mendarat di tubuhnya.

Sejarah kelam perempuan Indonesia yang dialami ribuan anak perempuan itu, tak sedikitpun tertulis dalam buku sejarah. Jugun ianfu dianggap aib oleh negara.

Tak ada hal lain yang diinginkan perempuan tua ini, selain pengakuan dosa oleh penjajah Jepang. Dari sebuah NGO lokal terungkap, bahwa pada tahun 1993, tiga pengacara dari Negeri Matahari Terbit datang ke Indonesia melalui Menteri Sosial kala itu meminta mereka untuk mendata para eks jugun ianfu yang masih hidup.


Mardiyem dan Suharti, mantan jugun ianfu.
Hingga kini setidaknya terdata sekitar 1.156 eks jugun ianfu dari Lampung hingga NTB. Mardiyem kemudian dihadirkan sebagai saksi dari Indonesia dalam persidangan Pengadilan Internasional di Tokyo untuk Kejahatan Perang terhadap Perempuan dalam Kasus Perbudakan Seksual Militer Jepang pada masa Perang Dunia II di Desember 2000.

Selanjutnya, di tahun 2001, Pemerintah Indonesia, lewat Mensos, menerima 38 juta yen dari pemerintah Jepang. Uang itu lantas digunakan untuk membangun panti jompo. Meskipun demikian, penggunaan dana itu tidak melibatkan para korban. Kantor Departemen Sosial di Yogyakarta membenarkan adanya dana sebesar Rp 285 juta untuk pembangunan panti jompo bagi para eks jugun ianfu.


Rumah Bordil tempat penyekapan perempuan pribumi.
Mardiyem dan 12 kawannya menolak, karena selain tidak ingin tinggal di panti jompo, kala itu, permintaan maaf itu tidak kunjung datang. Sampai sekarang aliran dana itu ke mana, tidak ada kejelasan, padahal pengucuran dana Asian Women’s Fund (AWF) itu masih berlangsung hingga sekarang.

Bagi Mardiyem, penolakan masyarakat sudah membuatnya sakit hati. Hal itu diperburuk oleh pemerintah Indonesia yang juga tidak pernah peduli dengan perjuangannya.

“Waktu saya ke Tokyo, hanya ditemani orang LBH. Kalau orang Korea, yang menemani wali kota bahkan gubernur sampai anggota parlemennya. Ini bukti kalau pemerintah tidak peduli,” keluh Mardiyem dalam sebuah konperensi pers saat penerbitan bukunya.

Setelah beberapa tahun berupaya mencari keadilan, akhirnya permintaan maaf dari pemerintah Jepang pun tiba. Walau tak sepenuhnya bisa menghalau pedih itu, dengan sedikit haru, kini ia bisa bernafas lega. Sepertinya, kepedihan tak akan pernah lekang dari ingatannya. Kepedihan yang hanya akan sirna ketika ia mati.

Kini, tahun-tahun pilu itu sudah 65 tahun berlalu. Mardiyem sudah renta. Saat ini perempuan tua yang sangat tegar ini hanya menggantungkan hidup dari uang pensiun suaminya, Rp 500.000 sebulan. Sesekali dia menerima belas kasih orang lain. Menurutnya, pengorbanannya di masa lalu, tidak akan terbayarkan dengan kompensasi sebesar apapun.

“Saya hanya ingin hidup layak dan tenang,” ungkapnya menutup pembicaraan.

Pengakuan Emah Kastimah, Mantan Jugun Ianfu
“Saya Diculik Jepang Sejak Usia 17 Tahun dan Dipaksa Melayani 10 Orang Sehari”

Pada waktu Jepang menduduki Indonesia tahun 1942, Ema Kastimah berusia 17 tahun, kemudian serdadu Jepang masuk ke desa Ema. Lokasi asrama serdadu Jepang tidak jauh dari desa tempat tinggal Ema.

Secara paksa Ema diambil oleh serdadu Jepang. Orang tua Ema tidak berdaya karena takut diancam serdadu Jepang. Lalu Ema dimasukkan ke dalam mobil yang sopiri orang Indonesia. Didampingi serdadu Jepang Ema dimasukan ke asrama Jugun Ianfu di Jalan Simpang Cimahi, Bandung.

Wainem, salah satu perempuan pribumi yang pernah menjadi Jugun Ianfu di masa pendudukan Jepang.
Wainem, salah satu perempuan pribumi yang pernah menjadi Jugun Ianfu di masa pendudukan Jepang.
Saat itu di Asrama sudah ada 8 perempuan. Setelah setengah hari hari berada di Asrama Ema disuruh periksa kesehatan oleh dokter, dan selanjutnya dipaksa melayani kebutuhan seksual serdadu Jepang.

Sering kali Ema dipaksa untuk melayani 10 orang dalam satu hari. Sehingga sering kali Ema pingsan tidak sadarkan diri. Ketika melayani serdadu Jepang Ema diminta serdadu Jepang menggunakan kondom. Menurut Ema, ”biasanya serdadu Jepang sudah diberi kondom dari atasannya,” aku Ema.

Tugas Ema hanya khusus melayani militer Jepang. Kerjanya mulai dari jam 13.00-17.00 melayani seradu militer. Setelah itu mandi dan istirahat, lalu mulai lagi dari jam 19.00-21.00 untuk melayani militer Jepang yang berpakaian sipil.
Kebanyakan yang memakai Ema berpangkat perwira dan sikapnya baik. Namun begitu ada juga yang sikapnya kasar biasanya militer Jepang berpangkat rendah.

Setelah beberapa bulan, Ema dipindahkan ke Asrama Jugun Ianfu di Jalan Kalidam dan dipekerjakan lagi seperti di tempat sebelumnya. Jarak antara asrama Jugun Ianfu di Jalan Simpang dengan asrama Jugun Ianfu di Jalan Kalidam cukup dekat, bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Setiap serdadu yang datang ke Asrama untuk memakai jasa Jugun Ianfu, mereka harus membeli karcis. Menurut Ema karcisnya sebesar domino yang warnanya agak kecoklat-coklatan. Biasanya setiap kali selesai melayani serdadu Jepang, Ema diberi obat cair dari kantor asrama. Obat cair warnanya kemerah-merahan untuk mecuci kemaluan perempuan.

Ema diberi hari libur satu hari dalam seminggu, jatuh pada hari minggu . Kesempatan ini dipakai Ibu Ema untuk menengok orang tua selama satu jam. Setelah itu harus kembali lagi ke asrama di Kalidam.

Setelah dua tahun, orang tua Ibu Ema baru mengetahui kalau anaknya bekerja untuk jadi “nyai-nyai Jepang”. Mendengar kenyataan itu orang tua Ema hanya bisa pasrah dan menangis , lalu sakit-sakitan selama anaknya berada di asrama. Ema tidak bisa melarikan diri dari asrama tempat dia disekap karena asrama dijaga ketat dan diawasi oleh kempe-tai (polisi rahasia Jepang).

Setelah mendengar Jepang kalah dari teman-teman di asrama, asrama Jugun Ianfu ditutup. Semua perempuan yang disekap pulang ke rumah masing-masing. Ketika pulang ke rumah orang tua Ema sedang sakit karena terus memikirkan nasib anaknya ditangan militer Jepang.

Kini Ema hanya hidup dari belas kasihan orang-orang, dan tinggal bedekatan dengan saudara-saudaranya. Beberapa tahun kemudian Ema menikah, lalu suaminya meninggal dunia. Sejak keluarga almarhum suaminya mengetahui masa lalu Ema sebagai Jugun Ianfu, mereka menjauh seperti membuang Ema dari lingkaran keluarga. Dari perkawinannya itu Ema tidak memiliki keturunan. Kini usia Ema mencapai 82 tahun dan tinggal berdekatan dengan anak angkatnya.


Tidak ada komentar: