Jurnalis Independen: Tak lama
setelah Pemilu 2004 yang menghasilkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai
Presiden RI, Anas Urbaningrum masuk Partai Demokrat, partainya SBY. Sekaligus
Anas melepas keanggotaannya di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Serta merta para
analis politik mencurigai langkah Anas dan kolaborasinya dengan SBY.
Ketika Anas menerima tawaran
Presiden SBY, tawaran itu langsung diterima dan publik pun curiga tujuannya
adalah untuk “mencari perlindungan politik”. Dengan asumsi, jika muncul persoalan
hukum bagi diri Anas, bekas Ketua Umum HMI ini sudah mempunyai pelindung
politik yang cukup kuat.
Kecurigaan itu muncul, sebab pada
saat itu, nama Anas mulai disebut-sebut sebagai anggota KPU yang bermasalah.
Memang saat itu, sejumlah anggota KPU mulai disebut beberapa media ikut
terlibat dalam skandal korupsi di lembaga itu.
Di pihak lain, ada pula rumor
beredar bahwa Anas sebetulnya politisi yang sengaja diselundupkan oleh Partai
Demokrat (baca SBY) ke KPU. Misinya dalam rangka menjaga kepentingan SBY dan
Partai Demokrat di KPU. Soal benar tidaknya rumor itu, merupakan ceritera
tersendiri. Tapi masalah politik ini tetap saja tidak bisa hilang dengan mudah
dari memori politik.
Ceritera hubungan antara
Anas-SBY-Demokrat, nasibnya juga kurang lebih begitu. Sampai kapanpun, tak akan
hilang begitu saja. Bahkan kisah hubungan SBY-Anas sekarang ini mulai berubah
seperti sebuah kisah romansa dua sejoli. Sebuah "love story" berakhir
dengan pernikahan namun kemudian terjadi perceraian.
Bulan madu baru saja berakhir,
tiba-tiba keduanya mengumumkan adanya ketidak cocokan. Ujung-ujungnya bercerai.
Kedua pihak sebetulnya tidak ingin bercerai. Tapi karena ketersinggungan
pribadi, maka perceraian pun terjadi secara terpaksa.
Akibat perceraian yang terpaksa
dan tak ada pihak yang bersedia merujukkan, muncullah perasaan benci tapi cinta
atau sebaliknya. Perceraian membuat hubungan Anas dan SBY disharnoni.
Ketidakharmonisan mereka tercermin dari cara-cara Anas membuat pernyataan
tentang Partai Demokrat. Tak ada lagi kata yang manis tentang Partai Demokrat
yang dulu dipimpin Anas.
Demikian bencinya Anas terhadap
Demokrat dan SBY, sampai-sampai Anas membentuk sebuah ormas yang menurut juru
bicaranya, ditujukan untuk membuat SBY pusing. Bahkan menurut loyalis Anas, ia
berharap Partai Demokrat akan mengalami kekalahan di Pemilu 2014.
Anas tidak pernah menyerang
secara langsung kepada pribadi SBY. Tetapi siapapun yang membaca apa yang ada
di balik pernyataan yang tidak diucapkan, terdapat amarah yang dipendam atau
rasa ketidak sukaannya terhadap SBY yang demikian besar.
Tak lama setelah mengundurkan
diri dari posisi Ketua Umum PD dan pengunduran dirinya itu dimaklumi terkait
dengan sengketa politiknya bersama SBY, Anas mengumumkan rencananya membentuk
ormas Persatuan Indonesia (PI).
Pada Minggu 15 September 2013,
Anas mendeklarasikan peresmian berdirinya ormas PI. Salah satu agenda dari PI
sebagaimana diungkapkan Ma'mun Murod Al-Barbasy, Juru Bicaranya, diharapkan PI
bisa membuat SBY pusing. PI nampaknya dimaksudkan untuk menggembosi Partai
Demokrat.
Pertanyaannya, wajar atau
patutkah cara berpikir atau berpolitik seperti itu? Agenda ormas PI seperti itu
sah-sah saja. Terutama bila dikaitkan dengan sistem demokrasi yang kita anut
saat ini. Hanya saja agenda itu menjadi sesuatu yang kontra produktif dan
pantas disebut tidak sportif, bila cara itu ditinjau dari paradigma yang selalu
mengedepankan berpikir secara positif. Apalagi yang mengutamakan harmonisasi
ketimbang disharmoni. Cara seperti itu lebih memperlihatkan, betapa politisi
Indonesia saat ini kurang memiliki sikap kenegarawanan.
Tak bisa dibayangkan, apa yang
akan terjadi pada dunia politik di Indonesia di waktu-waktu mendatang, bila
cara berpikir seperti menular ke generasi pengganti. Cara berpolitik seperti
itu juga berbahaya bila hasil Pemilu 2014, tidak memuaskan semua pihak.
Lalu pihak yang tidak puas
membentuk sebuah konsep Pemilu bahkan dan hasil tandingan. Hal itu sama saja
dengan membuat Presiden dan Negara Tandingan. Pada akhirnya yang terjadi, hasil
Pemilu 2014 akan menghasilkan sebuah konflik dan bukan sebuah kepsepakatan.
Belajar dari pengalaman berbagai
perpecahan dalam sebuah kongsi politik, semuanya menunjukkan tidak ada pihak
yang diuntungkan jika setiap perpecahan diakhiri dengan sebuah organisasi baru
atau partai tandingan.
Kasus Golkar merupakan
pembelajaran pertama. Partai yang berkuasa di Indonesia selama 32 tahun ini,
terpecah di 1999. Menjelang Pemilu Reformasi, mantan KSAD, Jenderal Eddie
Sudrajat membentuk Partai Keadilan dan Persatuan setelah kalah bersaing dalam
perebutan Ketua Umum Golkar dengan Akbar Tanjung.
Sudrajat (alm) terlalu yakin
partai barunya akan menang. Sebab ia didukung banyak jenderal maupun militer
aktif. Dengan perhitungan, Golkar besar karena peran militer. PKP akhirnya
kalah dari Golkar dan penyebabnya antara lain, karena PKP tidak bisa
menunjukkan apa yang menjadi perbedaannya yang hakiki dengan Golkar.
Sesudah itu muncul perpecahan di
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ustad Sejuta Umat Zainudin MZ membentuk
Partai Bintang Reformasi setelah gagal bersaing dengan Ketua Umum PPP Hamzah
Haz.
Di PDIP juga demikian, tidak puas
dengan kondisi internal, Laksamana Sukardi dan kawan-kawan membentuk Partai
Demokrasi Pembaruan (PDP). Hasilnya, PDP hanya menjadi "Partai Nol Koma
Sekian Persen" atau yang sering dipelesetkan ‘nokia’.
Pada peresmian berdirinya PI di
rumah Anas yang saat ini diubah menjadi Rumah Perjuangan, konon hadir dua tokoh
nasional yang memiliki reputasi yang cukup baik. Akbar Tanjung dan Din
Syamsuddin.
Kehadiran mereka tentu memberi
bobot tersendiri pada eksistensi Anas dalam dunia politik. Hanya saja, kalau
dibedah secara cermat, Akbar dan Din, memenuhi udangan Anas, sebab pada
hakekatnya, kedua tokoh ini juga memerlukan panggung.
Bila dibuat sebuah peta politik
yang lebih detil, Akbar dan Din mendukung Anas dalam mendirikan PI dan rumahnya
sebagai Rumah Perjuangan - dukungan mereka masih harus dikaji lagi. Sebab
dukungan dan kehadiran mereka tidak bisa serta merta diartikan mereka telah
memberi konsesi penuh kepada Anas. Dukungan mereka bukan tanpa kalkulasi.
Sebab sejatinya semua politisi
Indonesia dewasa ini sedang mencari dan memerlukan panggung. Dukung mendukung
hanya sebuah retorika politik yang diucapkan oleh lidah tak bertulang. [*]
Kecurigaan itu muncul, sebab pada saat itu, nama Anas mulai disebut-sebut sebagai anggota KPU yang bermasalah. Memang saat itu, sejumlah anggota KPU mulai disebut beberapa media ikut terlibat dalam skandal korupsi di lembaga itu.
Di pihak lain, ada pula rumor beredar bahwa Anas sebetulnya politisi yang sengaja diselundupkan oleh Partai Demokrat (baca SBY) ke KPU. Misinya dalam rangka menjaga kepentingan SBY dan Partai Demokrat di KPU. Soal benar tidaknya rumor itu, merupakan ceritera tersendiri. Tapi masalah politik ini tetap saja tidak bisa hilang dengan mudah dari memori politik.
Ceritera hubungan antara Anas-SBY-Demokrat, nasibnya juga kurang lebih begitu. Sampai kapanpun, tak akan hilang begitu saja. Bahkan kisah hubungan SBY-Anas sekarang ini mulai berubah seperti sebuah kisah romansa dua sejoli. Sebuah "love story" berakhir dengan pernikahan namun kemudian terjadi perceraian.
Bulan madu baru saja berakhir, tiba-tiba keduanya mengumumkan adanya ketidak cocokan. Ujung-ujungnya bercerai. Kedua pihak sebetulnya tidak ingin bercerai. Tapi karena ketersinggungan pribadi, maka perceraian pun terjadi secara terpaksa.
Akibat perceraian yang terpaksa dan tak ada pihak yang bersedia merujukkan, muncullah perasaan benci tapi cinta atau sebaliknya. Perceraian membuat hubungan Anas dan SBY disharnoni. Ketidakharmonisan mereka tercermin dari cara-cara Anas membuat pernyataan tentang Partai Demokrat. Tak ada lagi kata yang manis tentang Partai Demokrat yang dulu dipimpin Anas.
Demikian bencinya Anas terhadap Demokrat dan SBY, sampai-sampai Anas membentuk sebuah ormas yang menurut juru bicaranya, ditujukan untuk membuat SBY pusing. Bahkan menurut loyalis Anas, ia berharap Partai Demokrat akan mengalami kekalahan di Pemilu 2014.
Anas tidak pernah menyerang secara langsung kepada pribadi SBY. Tetapi siapapun yang membaca apa yang ada di balik pernyataan yang tidak diucapkan, terdapat amarah yang dipendam atau rasa ketidak sukaannya terhadap SBY yang demikian besar.
Tak lama setelah mengundurkan diri dari posisi Ketua Umum PD dan pengunduran dirinya itu dimaklumi terkait dengan sengketa politiknya bersama SBY, Anas mengumumkan rencananya membentuk ormas Persatuan Indonesia (PI).
Pada Minggu 15 September 2013, Anas mendeklarasikan peresmian berdirinya ormas PI. Salah satu agenda dari PI sebagaimana diungkapkan Ma'mun Murod Al-Barbasy, Juru Bicaranya, diharapkan PI bisa membuat SBY pusing. PI nampaknya dimaksudkan untuk menggembosi Partai Demokrat.
Pertanyaannya, wajar atau patutkah cara berpikir atau berpolitik seperti itu? Agenda ormas PI seperti itu sah-sah saja. Terutama bila dikaitkan dengan sistem demokrasi yang kita anut saat ini. Hanya saja agenda itu menjadi sesuatu yang kontra produktif dan pantas disebut tidak sportif, bila cara itu ditinjau dari paradigma yang selalu mengedepankan berpikir secara positif. Apalagi yang mengutamakan harmonisasi ketimbang disharmoni. Cara seperti itu lebih memperlihatkan, betapa politisi Indonesia saat ini kurang memiliki sikap kenegarawanan.
Tak bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi pada dunia politik di Indonesia di waktu-waktu mendatang, bila cara berpikir seperti menular ke generasi pengganti. Cara berpolitik seperti itu juga berbahaya bila hasil Pemilu 2014, tidak memuaskan semua pihak.
Lalu pihak yang tidak puas membentuk sebuah konsep Pemilu bahkan dan hasil tandingan. Hal itu sama saja dengan membuat Presiden dan Negara Tandingan. Pada akhirnya yang terjadi, hasil Pemilu 2014 akan menghasilkan sebuah konflik dan bukan sebuah kepsepakatan.
Belajar dari pengalaman berbagai perpecahan dalam sebuah kongsi politik, semuanya menunjukkan tidak ada pihak yang diuntungkan jika setiap perpecahan diakhiri dengan sebuah organisasi baru atau partai tandingan.
Kasus Golkar merupakan pembelajaran pertama. Partai yang berkuasa di Indonesia selama 32 tahun ini, terpecah di 1999. Menjelang Pemilu Reformasi, mantan KSAD, Jenderal Eddie Sudrajat membentuk Partai Keadilan dan Persatuan setelah kalah bersaing dalam perebutan Ketua Umum Golkar dengan Akbar Tanjung.
Sudrajat (alm) terlalu yakin partai barunya akan menang. Sebab ia didukung banyak jenderal maupun militer aktif. Dengan perhitungan, Golkar besar karena peran militer. PKP akhirnya kalah dari Golkar dan penyebabnya antara lain, karena PKP tidak bisa menunjukkan apa yang menjadi perbedaannya yang hakiki dengan Golkar.
Sesudah itu muncul perpecahan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ustad Sejuta Umat Zainudin MZ membentuk Partai Bintang Reformasi setelah gagal bersaing dengan Ketua Umum PPP Hamzah Haz.
Di PDIP juga demikian, tidak puas dengan kondisi internal, Laksamana Sukardi dan kawan-kawan membentuk Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). Hasilnya, PDP hanya menjadi "Partai Nol Koma Sekian Persen" atau yang sering dipelesetkan ‘nokia’.
Pada peresmian berdirinya PI di rumah Anas yang saat ini diubah menjadi Rumah Perjuangan, konon hadir dua tokoh nasional yang memiliki reputasi yang cukup baik. Akbar Tanjung dan Din Syamsuddin.
Kehadiran mereka tentu memberi bobot tersendiri pada eksistensi Anas dalam dunia politik. Hanya saja, kalau dibedah secara cermat, Akbar dan Din, memenuhi udangan Anas, sebab pada hakekatnya, kedua tokoh ini juga memerlukan panggung.
Bila dibuat sebuah peta politik yang lebih detil, Akbar dan Din mendukung Anas dalam mendirikan PI dan rumahnya sebagai Rumah Perjuangan - dukungan mereka masih harus dikaji lagi. Sebab dukungan dan kehadiran mereka tidak bisa serta merta diartikan mereka telah memberi konsesi penuh kepada Anas. Dukungan mereka bukan tanpa kalkulasi.
Sebab sejatinya semua politisi Indonesia dewasa ini sedang mencari dan memerlukan panggung. Dukung mendukung hanya sebuah retorika politik yang diucapkan oleh lidah tak bertulang. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar