Kamis, 19 September 2013

Mari Menuju Bangsa Yang Ideal: Keharmonisan Ulama dan Umara

Oleh : R. Andy Syah Alam

Jurnalis Independen: Bangsa ini adalah bangsa yang tak bisa lepas dari sejarah agama-agama. Kepribadian negeri ini terbentuk dari karakter agama yang pernah berkembang. Negeri ini adalah negeri yang sangat unik dan banyak mengandung nilai yang berkesinambungan yang saling berpengaruh dan berangkat dari satu kepercayaan dan keimanan kepada satu kepercayaan dan keimanan lainnya.


Pasca transformasi dari bangsa purba, Nusantara mulai membentuk jatidiri bersama kepercayaan dan keimanan Hindu dan Budha. Nusantara pernah besar bersama dua agama ini dan membentuk peradaban yang pengaruhnya sangat mendunia dan bahkan kebudayaan yg tercipta dari dua agama ini masih kita rasakan pengaruhnya sampai sekarang. Ketika Islam mulai memasuki Nusantara di abad ke 13, perubahan juga terjadi dalam skala besar. Berbondong2 masyarakat bangsa ini memeluk agama baru, negeri ini menjadi kawasan satu2nya yang dimasuki Islam tanpa perlawanan, tanpa angkat senjata dan atau peperangan dalam skala besar seperti Islam yg mendapatkan penentangan gigih dari penguasa2 di kawasan lain, Islam menyebar perlahan dari Sumatera, lalu ke tanah Jawa dan terus menyebar ke kawasan Timur seperti Sulawesi, Kalimantan dan Kepulauan Nusa Tenggara, hingga Nusantara memasuki era modern seperti sekarang ini, Islam masih memiliki pengaruh kuat yang cukup mengakar dan sangat menarik perhatian para pemerhati dari berbagai belahan dunia.

Negeri yang gemah ripah loh jinawi atau memiliki keunggulan sumber daya alam (natural advantage) serta identik dengan kultur kedamaian dan keakraban dan kokohnya tali persaudaraan sangat kuat tersebut, tidak pernah mengalami kesulitan mengadaptasi ajaran Islam. Hakikatnya Islam adalah agama samawi yang membawa pesan Allah untuk menjalin hubungan mesra antara Tuhan dan manusia. Islam mengajarkan ada keterkaitan kuat antara penyembahan pd Tuhan dan menjalin hubungan sosial yang etis, menjunjung kebersamaan hak dan kewajiban serta mengedepankan perbuatan baik pada sesama.

Islam hadir membawa ajaran universal, dalam bahasa aselinya disebut rahmatan lil ‘alamin, dalam konsep singkatnya, Islam hadir membawa ajaran mulia yang meninggikan derajat manusia sebagai pemimpin alam semesta, mengajarkan manusia untuk mengelola alam semesta dengan manajemen dan tujuan yang baik yang bertujuan menciptakan kesejahteraan untuk semua, dan berakhir membentuk manusia yang berakhlakul karimah, barakhlak mulia, bertakwa, takut pada Tuhannya dan welas asih pada sesamanya dan pada alam semesta. Konsep rahmatan lil ‘alamin bukan hal asing bagi masyarakat negeri ini, karena pada dasarnya negeri ini memiliki masyarakat yang menjunjung tinggi penghormatan pada tetua/orang tua, mengedepankan musyawarah dan menciptakan kepentingan bersama.

Jadi Islam dan masyarakat Nusantara hakekatnya sudah memiliki kesamaan visi dan kesamaan misi. Dan hal ini sudah dapat dibuktikan dlam perjalanan bangsa ini selama berabad2 lamanya.

Islam hadir menjadi mercusuar dan patokan hidup, masyarakat kita hanya tinggal menyetel keimanannya dan tidak perlu membutuhkan waktu lama menjadikan Islam bagian dari perikehidupan bangsa. ‘Ulama sebagai sentral figur gerakan religius, pemuka2 adat sebagai sentral figur transformasi politik selalu dibuktikan sejarah selalu berdampingan seiring tanpa kesulitan yang serius dalam kurun berabad2 lamanya. Kerajaan2 Islam sempat hadir dan membentuk pola hidup dan budaya dan jatidiri bangsa ini. Hubungan antar Kerajaan2 Islam sangat jarang ditemukan perbenturan kepentingan politik dan kekuasaan, semua berjalan dalam kedamaian dan kebersamaan dan kesejahteraan yang bertaraf tinggi. Masyarakat non muslim pun tetap eksis diperlakukan sama tanpa beda dgn masyarakat muslim lainnya.

Namun, bangsa ini tak bisa lepas dari hubungan interaksi dengan masyarakat internasional yang tak semua bangsa2 di dunia ini memiliki corak hidup dan kebudayaan yg sama dengan bangsa kita. Interaksi ekonomi, pendidikan dan kebudayaan membawa bangsa2 Eropa mengenal jauh negeri ini hingga menjajah negeri ini, dan sejarah mencatat, bangsa Eropa mampu mengubah segala-galanya yang pernah tertanam di negeri ini. Penjajahan telah banyak membuat luka di negeri ini.Penjajahan telah membawa sikap2 oportunis bangsa Eropa membius anak-anak bangsai, bangsa terpecah, bangsa terluka dan bangsa ini mengalami akumulasi perubahan etika dan sikap hidup yang fundamental. Penjajahan tak pernah membawa dan meninggalkan nilai2 kebaikan, demikianlah bangsa ini tercemar oleh budaya penjajahan. Anak2 bangsa berubah menjadi anak bangsa yang berwatak minder, terhina di negeri sendiri, oportunis dan sangat menikmati betapa menjajah orang lain itu sangat nikmat, bahwa memperkaya diri sendiri itu sangat membawa pada kehormatan yang “abadi” bagi dirinya sendiri dan anak cucunya kelak. Finalnya, banyak anak bangsa berkesimpulan, semua kemuliaan hanya bisa dinilai dengan materi yang terlihat.

Perlawanan bangsa yang berhasil membawa pada kemerdekaan pisik ternyata tidak serta merta memerdekakan bangsa ini dari nilai-nilai dan budaya bangsa penjajah. Negeri ini kembali berjuang dan berkutat melawan dirinya sendiri. Kestabilitasan kehidupan bangsa kita era pra penjajahan sulit dikembalikan. Aksi suap dan memperkaya diri sendiri sudah terlanjur mengakar pada anak-anak bangsa ini. Ulama terpinggirkan, Umara tak lagi bersandar pada etika agama. Politik dan agama berjalan sendiri-sendiri dan di tengah pembentukan dari bangsa Nusantara. Anak-anak bangsa harus berkutat melawan penjajahan yang justru dibentuk oleh sesama anak-anak-negerinya sendir.

Negeri Nusantara modern yang kita sebut negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan konstitusi UUD 45 seperti yang ada kini, masih membawa sisa-sisa sifat feodalisme yang mengakar kuat. 350 tahun lebih di bawah bayang-bayang penjajahan bangsa Eropa dan Fasis Jepang bukanlah waktu yang sebentar, tentu saja dibutuhkan waktu yang tidak sebentar pula guna memulihkan kembali negeri ini kembali pada seperti era pra penjajahan.

Pancasila dan UUD 45 yang merupakan bentuk kompromistis sekaligus sebagai pengganti Islam dalam kehidupan berbangsa. Kehidupan berbangsa yang beraneka ragam dan memiliki kesamaan nasib sebagai anak bangsa yang terjajah, masih hanya sebatas pajangan mahal dalam etalase kehidupan anak negeri ini. Penerapan nilai-nilai Pancasila dan UUD 45 sebagai asas hidup dan asas konstitusi /hukum bangsa masih mengalami erupsi dalam pelaksanaannya.

Agama masih terpinggirkan dan hanya memenuhi acara-acara seremonial bangsa. System politik Indonesia masih berjuang menemukan jatidirinya agar tidak terlalu menggantungkan dirinya pada ketentuan agama. System demokrasi pun masih belum menemukan titik keberhasilan dalam mensejahterakan masyarakat yang adil dan merata. Nampaknya, anak2 negeri ini masih belum benar-benar lepas dari sisa-sisa budaya penjajahan yang telah berhasil memisahkan political will dengan semangat agama “rahmatan lil ‘alamin”.

Solusi negeri yang tercabik ini, hanya dengan kemauan bersama seluruh elemen bangsa untuk merujuk pada agama sebagai sentral kehidupan beretika dan bermoral. Ulama-ulama sholih dan ikhlas tak lagi dicurigai dan dimata-matai sebagai sumber krisis kestabilitasan dan krisis demokrasi, Umara hendaknya berbalik bertawadhu didepan para ulama, mendengar kalimat-kalimat wejangan yang bersih darir kepentingan pribadi.

Pancasila dan UUD 45 sebagai harga mati keutuhan negara harus dijaga bersama dengan cara mengamalkan sepenuhnya dengan tehnis pelaksanaannya selalu mengedepankan pertimbangan para ulama dan tokoh agama lainnya. Sayang sekali bila negeri ini tak pernah mau menyadari betapa dahulu kala negeri ini pernah mencapai tingkat kesejahteraan yang luar biasa karena keharmonisan ulama dan umaranya.@


Tidak ada komentar: