Nyi Indangwati Membedah Sejarah Galuh,
Galih Hati dan Hati Nurani
Jurnalis Independen: Tangan
Nyi Indangwati melambai dan tubuh Jendra seperti tersedot untuk segera datang. Begitu
tiba di hadapannya, debar dada Jendra semakin kencang. Dan manakala tangannya dituntun
untuk duduk berdampingan, pemuda itu pun menurut.
"Orang Galuh boleh dikata musuh
kami. Tapi Galuh sebenarnya adalah kecintaan kami. Galuh itu dambaan kami,
sebab dulu kamilah yang membesarkan Galuh. Sebagai tanda bahwa kami cinta
Galuh, perilaku kami selama ini pun adalah perilaku orang Galuh yang
sejatinya," kata Nyi Indangwati.
"Bila boleh aku katakan,
orang Galuh yang asli adalah kami. Yang lainnya hanya ikut-ikutan mengaku saja
sambil tak pernah memperlihatkan perilaku masyarakat Galuh," kata lagi Nyi
Indangwati.
"Apa tandanya masyarakat
Galuh yang asli itu, Nyimas?" tanya Jendra penasaran.
"Yaitu, mereka yang sanggup
mengamalkan dan menjaga ketulusan galihnya hati. Galuh atau galih adalah pusat
hati, pusatnya perasaan kemanusiaan. Apakah manusia itu bisa baik atau buruk
bahkan jahat, amat bergantung kepada penggunaan galihnya hati itu. Percuma
engkau mengaku orang Galuh bila hatimu busuk. Sebab dengan demikian, nama negeri
ini akan tercemar," tutur Nyi Indangwati.
"Saya bukan orang Galuh,
Nyimas ..."Bila begitu, kau beruntung sebab kau boleh menggunakan
perasaanmu apa dan bagaimana saja." "Tak bisa begitu. Sebab dunia
akan hancur kalau manusia mengumbar perasaannya tanpa dibatasi oleh kebenaran
dan niat baik," jawab Jendra.
"Itulah perilaku orang
Galuh, Kakang ..." "Atau mungkin itulah keharusan semua umat di
dunia, di mana pun adanya," potong Jendra.
"Tapi orang Galuh sudah
musti beritikad seperti itu sebab mereka sudah menyadari dengan
memberinya nama Galuh bagi
kerajaan ini," kata Nyi Indangwati.
"Wilayah ini kini namanya
Ciamis, bukan Galuh, Nyimas ..."
"Tidak. Bangsa kami tetap
menyebutnya Galuh sebab aku tetap menaruh harapan agar masyarakat di sini,
apakah itu masyarakat nyata atau masyarakat bunian, tetap melanggengkan
kehidupan yang penuh tanggungjawab," kata Nyi Indangwati. Jendra hanya
menghela napas sebab keinginan gadis ini di zaman kini amatlah susah. Untuk ini,
maka Jendra kembali berjingkat.
“Kakang mau ke manakah?"
gadis itu memegang tangan Jendra.
"Kakang akan pulang ke alam
Kakang sendiri ..."
"Mengapa? Bukankah Kakang
akan berjuang untuk kepentingan bangsa Kakang?" tanya Nyi
Indangwati.
"Rasa-rasanya Kakang berbeda
kepentingan dengan bangsamu, Nyimas ..." kata Jendra ingat
lagi perselisihan paham dengan Ki
Patih kerajaan ini.
"Yang namanya perjuangan tak
harus dimulai dari persamaan kehendak. Malah itulah
namanya perjuangan bila kita
sanggup mempertahankan pendapat kita. Sebab bila berjuang
dengan kesepakatan, biasanya
perlu kompromi. Yaitu saling mengalah dan saling memberi.
bukan semata-mata saling meminta
saja," kata Nyi Indangwati tersenyum ringan.
"Ya, ya, Kakang mengerti
..." gumam Jendra sambil mencoba menahan hatinya untuk pergi
dari tempat dimana dirinya kini
berada. Maka Jendra melangkahkan kakinya, meninggalkan Nyi Indangwati tanpa berani
menengok lagi ke belakang.
Terdengar lantunan gadis itu
dengan suara merdu. Isi nyanyiannya perihal pentingnya
perjuangan untuk mencapai sesuatu
tujuan. Jendra terpana dengan isi nyanyian itu.
"Ari bajuang teh
kudu aya pangorbanan
saha-saha anu menta
kudu daek mere
anu pepenta embung mere
nya pinter-kodek ngaranna ...
Jika disalin dalam bahasa
Indonesia, kira-kira beginilah bunyi syair atau tembang Nyi Indangwati itu” Yang
namanya berjuang
harus ada pengorbanan
siapa berani meminta
harus berani memberi
yang kerjanya meminta tanpa mau memberi
itulah culas namanya ...”
Jendra sejenak berdiri mematung.
Ada keinginan dia menoleh ke belakang, namun niat itu
diurungkannya kembali.
"Tidak. Aku harus pulang ke
tempat asalku ..." demikian hatinya bicara. Maka Jendra
memaksa hatinya memberi perintah
agar kakinya melangkah terus. Dan Jendra memang berhasil
melangkah. Terus melangkah
kendati suara lantunan Nyi Indangwati terus terngiang. Hingga
pada suatu ketika, Jendra tiba
kembali di sebuah hutan belantara yang gelap dan pekat. Di
tempat itu tak ada jalan setapak,
tidak pula lorong dengan sedikit cahaya.
Jendra bahkan tak tahu, apakah
sekarang siang hari atau malam hari. Bila siang hari musti ada cahaya, bila malam
hari musti gelap gulita. Sementara di hutan itu, tak ada cahaya namun juga tak
gelapgulita.
Artinya, benda apapun yang ada di
sekitarnya terlihat dengan cukup jelas. Termasuk
yang bisa dilihat oleh Jendra
adalah seonggok tubuh yang amat menakutkan. Mahluk itu
sungguh aneh. Sebesar kambing
namun juga bukan kambing. Mahluk itu bisa berdiri tegak dengan sepasang
kakinya. Sementara sepasang kaki bagian atasnya meronta-ronta dengan cakarnya yang
tajam.
Kepala mahluk itu seperti kera
namun juga seperti manusia, sebab hidungnya tak pesek. Hanya lantaran
gigi-giginya yang tajam saja yang membuat dia dianggap sebagai mahluk aneh.
Apalagi matanya mencorong tajam berwarna merah menyala. Dari sisi-sisi mulutnya
meleleh cairan putih. Jendra terkesiap. @bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar