Senin, 23 September 2013

Siluman Rawa Onom (18)

Nyi Indangwati Membedah Sejarah Galuh, Galih Hati dan Hati Nurani

Jurnalis Independen: Tangan Nyi Indangwati melambai dan tubuh Jendra seperti tersedot untuk segera datang. Begitu tiba di hadapannya, debar dada Jendra semakin kencang. Dan manakala tangannya dituntun untuk duduk berdampingan, pemuda itu pun menurut.


"Orang Galuh boleh dikata musuh kami. Tapi Galuh sebenarnya adalah kecintaan kami. Galuh itu dambaan kami, sebab dulu kamilah yang membesarkan Galuh. Sebagai tanda bahwa kami cinta Galuh, perilaku kami selama ini pun adalah perilaku orang Galuh yang sejatinya," kata Nyi Indangwati.

"Bila boleh aku katakan, orang Galuh yang asli adalah kami. Yang lainnya hanya ikut-ikutan mengaku saja sambil tak pernah memperlihatkan perilaku masyarakat Galuh," kata lagi Nyi Indangwati.

"Apa tandanya masyarakat Galuh yang asli itu, Nyimas?" tanya Jendra penasaran.
"Yaitu, mereka yang sanggup mengamalkan dan menjaga ketulusan galihnya hati. Galuh atau galih adalah pusat hati, pusatnya perasaan kemanusiaan. Apakah manusia itu bisa baik atau buruk bahkan jahat, amat bergantung kepada penggunaan galihnya hati itu. Percuma engkau mengaku orang Galuh bila hatimu busuk. Sebab dengan demikian, nama negeri ini akan tercemar," tutur Nyi Indangwati.

"Saya bukan orang Galuh, Nyimas ..."Bila begitu, kau beruntung sebab kau boleh menggunakan perasaanmu apa dan bagaimana saja." "Tak bisa begitu. Sebab dunia akan hancur kalau manusia mengumbar perasaannya tanpa dibatasi oleh kebenaran dan niat baik," jawab Jendra.
"Itulah perilaku orang Galuh, Kakang ..." "Atau mungkin itulah keharusan semua umat di dunia, di mana pun adanya," potong Jendra.

"Tapi orang Galuh sudah musti beritikad seperti itu sebab mereka sudah menyadari dengan
memberinya nama Galuh bagi kerajaan ini," kata Nyi Indangwati.
"Wilayah ini kini namanya Ciamis, bukan Galuh, Nyimas ..."
"Tidak. Bangsa kami tetap menyebutnya Galuh sebab aku tetap menaruh harapan agar masyarakat di sini, apakah itu masyarakat nyata atau masyarakat bunian, tetap melanggengkan kehidupan yang penuh tanggungjawab," kata Nyi Indangwati. Jendra hanya menghela napas sebab keinginan gadis ini di zaman kini amatlah susah. Untuk ini, maka Jendra kembali berjingkat.

“Kakang mau ke manakah?" gadis itu memegang tangan Jendra.
"Kakang akan pulang ke alam Kakang sendiri ..."
"Mengapa? Bukankah Kakang akan berjuang untuk kepentingan bangsa Kakang?" tanya Nyi
Indangwati.
"Rasa-rasanya Kakang berbeda kepentingan dengan bangsamu, Nyimas ..." kata Jendra ingat
lagi perselisihan paham dengan Ki Patih kerajaan ini.

"Yang namanya perjuangan tak harus dimulai dari persamaan kehendak. Malah itulah
namanya perjuangan bila kita sanggup mempertahankan pendapat kita. Sebab bila berjuang
dengan kesepakatan, biasanya perlu kompromi. Yaitu saling mengalah dan saling memberi.
bukan semata-mata saling meminta saja," kata Nyi Indangwati tersenyum ringan.
"Ya, ya, Kakang mengerti ..." gumam Jendra sambil mencoba menahan hatinya untuk pergi
dari tempat dimana dirinya kini berada. Maka Jendra melangkahkan kakinya, meninggalkan Nyi Indangwati tanpa berani menengok lagi ke belakang.

Terdengar lantunan gadis itu dengan suara merdu. Isi nyanyiannya perihal pentingnya
perjuangan untuk mencapai sesuatu tujuan. Jendra terpana dengan isi nyanyian itu.
"Ari bajuang teh
kudu aya pangorbanan
saha-saha anu menta
kudu daek mere
anu pepenta embung mere
nya pinter-kodek ngaranna ...
Jika disalin dalam bahasa Indonesia, kira-kira beginilah bunyi syair atau tembang Nyi Indangwati itu” Yang namanya berjuang
harus ada pengorbanan
siapa berani meminta
harus berani memberi
yang kerjanya meminta tanpa mau memberi
itulah culas namanya ...”
Jendra sejenak berdiri mematung. Ada keinginan dia menoleh ke belakang, namun niat itu
diurungkannya kembali.

"Tidak. Aku harus pulang ke tempat asalku ..." demikian hatinya bicara. Maka Jendra
memaksa hatinya memberi perintah agar kakinya melangkah terus. Dan Jendra memang berhasil
melangkah. Terus melangkah kendati suara lantunan Nyi Indangwati terus terngiang. Hingga
pada suatu ketika, Jendra tiba kembali di sebuah hutan belantara yang gelap dan pekat. Di
tempat itu tak ada jalan setapak, tidak pula lorong dengan sedikit cahaya.

Jendra bahkan tak tahu, apakah sekarang siang hari atau malam hari. Bila siang hari musti ada cahaya, bila malam hari musti gelap gulita. Sementara di hutan itu, tak ada cahaya namun juga tak gelapgulita.

Artinya, benda apapun yang ada di sekitarnya terlihat dengan cukup jelas. Termasuk
yang bisa dilihat oleh Jendra adalah seonggok tubuh yang amat menakutkan. Mahluk itu
sungguh aneh. Sebesar kambing namun juga bukan kambing. Mahluk itu bisa berdiri tegak dengan sepasang kakinya. Sementara sepasang kaki bagian atasnya meronta-ronta dengan cakarnya yang tajam.

Kepala mahluk itu seperti kera namun juga seperti manusia, sebab hidungnya tak pesek. Hanya lantaran gigi-giginya yang tajam saja yang membuat dia dianggap sebagai mahluk aneh. Apalagi matanya mencorong tajam berwarna merah menyala. Dari sisi-sisi mulutnya meleleh cairan putih. Jendra terkesiap. @bersambung


Tidak ada komentar: