Jurnalis Independen: Seorang pakar politik dari
Amerika kelahiran Palestina, Ramzy Baroud, menyatakan, "Rohingya saat ini
sedang melalui episode paling garang dalam sejarah mereka, dan penderitaan
mereka merupakan yang paling pedih dibandingkan berbagai masalah lain di dunia."
Ramadhan tahun ini (2012M), kita
terusik dengan munculnya kisah tragedi kemanusiaan yang terjadi di wilayah
Myanmar, sebuah kisah yang sangat menyedihkan, kisah suatu kaum yang seharusnya
mendapatkan hak untuk hidup layak, tapi mereka malah diperlakukan dengan tidak
semena-mena.
Anda coba bayangkan, jika anda
dari etnis Jawa yang sudah berabad2 hidup di negeri ini, kemudian ketika negeri
ini sudah merdeka dari tangan penjajahan, tiba-tiba anda dinyatakan tidak
berhak mendapatkan status kewarganegaraan dikarenakan --anggaplah-- negeri ini
adalah mayoritas penduduknya adalah Melayu bukan Jawa. Dengan demikian, anak
anda tidak diperkenankan mendapatkan hak belajar di sekolah, anda juga tidak
berhak atas bantuan kesehatan murah, tidak boleh bekerja sebagai pegawai
kantoran, tidak boleh memiliki bisnis atau buka toko perdagangan, kecuali anda
hanya boleh bekerja sebagai butuh kasar, petani atau nelayan.
Nah, kondisi inilah yang terjadi
atas etnis Rohingya yang berada di kawasan Burma (Myanmar), etnis ini berjumlah
sekitar 1 s.d. 1,5 persen dari seluruh penduduk Myanmar yang berjumlah 90
jutaan orang, dan, kebetulan, etnis ini adalah seluruhnya muslim, sementara
Burma adalah negara yang berpenduduk mayoritas Budha. Lengkap sudah alasan
untuk menindas mereka.
Dari segi pisik, orang-orang
etnis ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan kebanyakan orang-orang
Burma pada umumnya, dari yang mudah terlihat saja, bentuk wajah etnis ini biasa
kita menyebut wajahnya "kayak orang India Pakistan", sementara orang
Burma umumnya, dari mukanya seperti orang Bangkok, wajahnya melayu
kecina-cinaan. Atau lebih tepatnya, kelompok etnis Rohingya merupakan kaum
keturunan etnis Bengali, lebih spesifiknya dari sub-etnis 'Chittagonia' yang
kebanyakan tinggal di Bangladesh bagian tenggara, adapun bangsa Burma sendiri
adalah berasal dari rumpun 'Thai Kadal', Austroasiatik, atau Sino-Tibetan. Simpelnya begini, jika anda yang beretnis
Jawa atau Betawi tentu anda akan memiliki wajah, bentuk, bahasa dan gaya yang
sangat berbeda sekali dengan orang-orang etnis India yang biasa jualan tekstil
di Pasar Baru. Nah, Begitulah yang terjadi di sana.
Apa perbedaan yang terjadi di
sana?Perbedaannya, kalau di Malaysia, Indonesia, Singapura, Hongkong dan
bangsa2 Asia lainnya, mereka mengakui keberadaan etnis Bengali (India Pakistan)
sebagai bagian dari masyarakatnya sehingga mereka memiliki hak yang sama dengan
penduduk aseli untuk hidup berdampingan, tapi di Burma memiliki kebijakan yang
berbeda, suku Rohingya tidak diakui sama sekali sebagai bagian dari Burma,
bahkan, bila perlu mereka harus diusir atau seperti yang terjadi sekarang,
dibantai sebagian, supaya sebagian yang lainnya pada mengungsi ketakutan.
Artinya, etnis Rohingya ini, semenjak negara Burma merdeka di tahun 1942 dari
pemerintahan kolonial Inggris, telah dianggap sebagai imigran gelap. Padahal,
pada kenyataannya eksistensi mereka sudah ada berabad2 sebelum Burma merdeka.
Penderitaan seperti ini bisa anda bayangkan, lalu lipatgandakanlah penderitaan
itu ratusan kali, sebab yang terjadi pada etnis Rohingya adalah jauh lebih
sadis! Sebagai contoh, kalau anda mau sholat di negeri ini, anda hanya tinggal
mencari tempat yang layak dan buka keran wudhu, beres. Tapi di sana berbeda,
anda harus berhadapan dengan patroli dan disiksa plus dipenjara jika kedapatan
sholat sembarangan. Dan dalam masa-masa pembantaian sekarang ini, banyak sekali
kisah-kisah memilukan yang bisa kita dapat, di mulai dari sekedar hidup
bertahan menahan lapar, sampai kisah-kisah para pengungsinya yang mati terkatung-katung
di laut. Silahkan anda "gugling" sendiri kisah mereka, sebab saya
sudah tidak tahan menceritakan kembali penderitaan mereka di sini.
Adapun dari segi sejarah,
perjalanan hidup etnis ini tidak jauh berbeda dengan sejarah etnis2 seperti
kita-kita ini. Etnis Rohingya adalah etnis yang hidup di tengah-tengah Wilayah
Rakhine State, kawasan yang penduduknya beretnis "Rakhine" di mana
beragama mayoritas Budha Theravada. Jadi seperti etnis Jawa yang hidup di
wilayah Bali, ditengah2 etnis Bali. Hanya saja, etnis Rohingya memeluk agama
Islam, agama bawaan dari turun temurun. Pada perkembangan terakhir, populasi
suku ini semakin meningkat, dampaknya, orang-orang Rohingya mulai merambah ke
daerah-daerah etnis Rakhine berada, dan mereka tidak suka kalau wilayah-wilayah
mereka sedikit demi sedikit menjadi wilayah suku Rohingya, tambahan lagi,
pemerintah memang tidak suka menerima suku ini, karena dianggap bukan bagian
dari Burma, maka, seringlah timbul pergesekan-pergesekan di akar bawah yang
selalu didukung pemerintah untuk khusus program penghapusan etnis Rohingya,
yang pada ujungnya selalu merugikan etnis minoritas Rohingya.
Sejarah Etnis Rohingya
sesungguhnya bermula dari 600 tahun yang lalu, di mana saat itu berdiri
Kerajaan Mrauk U, Rajanya bernama Narameikhla, Raja ini diusir dalam sebuah
peperangan dan dibuang ke wilayah Bengal, sekarang Bengal adalah nama sebuah
propinsi di Bangladesh. Tapi oleh Sultan Bengali saat itu, raja yg terusir ini
diberi bantuan untuk kembali merebut kekuasaannya di Aarakan (nama yang sama
untuk menyebut wilayah Rakhine, Burma). Setelah Raja ini berhasil merebut
kerajaannya kembali, mulailah suku etnis bengali, khususnya etnis Rohingnya
berimigrasi ke wilayah tersebut. Populasi Rohingya terus bertambah dan terus
mendesak suku asli Aarakan Rakhine yang beragama Budha. Pada zaman kolonial
Inggris, etnis Rohingya banyak dibutuhkan kolonial untuk menggarap tanah, dan
bangsa Inggris makin meningkatkan jumlah etnis ini dengan cara mengajak orang2
Bengali masuk ke kawasan Rekhine. Pada tahun 1920 saat Inggris menutup
perbatasan India, etnis Bengali memilih migrasi ke Burma, dan pada catatan 1911
saja, saat Inggris melakukan sensus, jumlah muslim Bengali di Rekhina sudah
berjumlah 58 ribu orang, dan populasi ini terus meledak hingga sekarang
berjumlah tak kurang dari 800 ribu muslim Bengali tersebar di Burma dengan
berpusat di wilayah Rakhine.
Genosida atau pembersihan etnis
ini di Burma yang terjadi saat ini, mendapat dukungan dari sejarawan setempat
dengan membuat "pembelokan sejarah" dan menyebut bahwa Rohingya
sebenarnya tidak ada, atau bukan etnis, melainkan nama sebuah pergerakan
bernuansa kepentingan kelompok. Padahal,
Sejarahwan Perancis bernama Jacques P. Leider membuktikan ada catatan dari abad
18 yang menyebut sudah adanya etnis Muslim di Aarakan sejak berabad-abad lampau
yang disebut2 mereka semuanya berasal dari kawasan Afghanistan sebelum ke
Bangladesh dan ke Burma.
Nah, meskipun etnis ini berbeda
dengan kebanyakan suku di Burma, namun kenyataannya adalah etnis ini sudah
menetap di sana ratusan tahun sebelum Myanmar berdiri, ibarat etnis Bali dan
Indonesia, seharusnya, negara tidak berhak menentukan etnis2 mana saja yang
diakui oleh negara, maka Indonesia juga tidak berhak bila suku Bali dan Madura
dinyatakan bukan bagian Indonesia dan harus keluar dari wilayah negara
Indonesia, jadi, hakikatnya, negara itu muncul justeru untuk melindungi
siapapun yang hidup dalam wilayah negara itu, bukan mengusirnya atau
membunuhnya tanpa alasan atau tanpa dasar hukum dan kemanusiaan. Saya kira, ini bukan agenda umat muslim saja
yang kebetulan etnis ini adalah etnis muslim, tapi juga agenda kemanusiaan
untuk semua elemen-elemen penting dunia, dalam hal ini PBB dan ASEAN, serta
negara2 yang menunjukkan dirinya polisi HAM dan negara2 pendonor untuk
kemanusiaan lainnya agar segera bertindak untuk menghentikan aksi-aksi
kekerasan terhadap etnis minoritas di Burma.
Perlu diketahui juga, bahwa
Burma, adalah negara besar kedua setelah Indonesia di ASEAN, memiliki 137
etnis, dan etnis Rohingya adalah salah satunya, namun begitu, mereka yang
beragama Islam bukan orang-orang Rohingya saja, etnis2 yang lainpun banyak yang
beragama Islam. Hanya saja yang menjadi permasalahan, Burma itu bersikeras
tidak akan pernah mau mengakui etnis ini bagian dari Negara Burma. Kalau sudah
begini, bagaimanakah nasib mereka di masa depan? Dan, maukah anda berbagi
tempat tidur dengan salah satu warga etnis ini? Maksudnya, setujukah anda jika
untuk sementara pemerintah Indonesia bersedia menampung mereka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar