Selasa, 17 September 2013

Perang Suriah Paksa Bocah 10 tahun Buat Senjata

Jurnalis Independen: Diusianya yang ke 10 tahun, Issa sudah menjadi seorang anak yang ahli dalam memperbaiki rudal dan mortir. Konflik di Suriah memaksa ia bergelut bersama ayahnya sebagai pembuat senjata.

Dampak yang begitu kuat dari perang di Suriah sungguh luarbiasa, dibaliknya tragisnya kisah para pengungsi yang menderita terselip sebuah ketakjuban terhadap hidup seorang bocah. Diusianya yang ke 10 tahun, Issa bukanlah seorang bocah sembarangan, ia seorang ahli dalam memperbaiki dan membuat senjata.

Sehari-hari ia bergaul dengan senjata di bengkel yang dimiliki pasukan pemberontak di Suriah. Bersama ayahnya yang menjadi pendukung pasukan pemberontak, Issa bekerja rutin dari pagi hingga sore datang. Bila hari Jum'at ia memilih tinggal dirumah dan melangkahkan kakinya ke masjid untuk berdoa.

Disaat anak-anak lainya pergi mengungsi Issa memilih bersimbah keringat diruang yang pengab, ia sibuk membuat rudal-rudal yang akan digunakan oleh para pemberontak.

Dengan penuh ketelitian ia selalu mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ayahnya memang telah mengajarinya sejak beberapa tahun yang lalu terutama sejak banyak keluarga di Allepo memilih mengungsi dan tinggal di kamp-kamp pengungsian yang tersebar diberbagai perbatasan negeri.

Konflik di Suriah hingga kini telah mengakibatkan aksi pengungsian besar yang didominasi oleh anak-anak. 

Namun masalah juga terjadi didalam negeri yang terkoyak itu, ratusan anak masih bertahan dalam kecamuk perang yang tak kunjung usai.

Issa begitu menikmati harinya, dari sang ayah ia mengetahui beragam ilmu tentang senjata yang mematikan.

Ditangannya mortar dirangkai, tubuhnya yang mungil tenggelam dalam senjata yang mampu membunuh banyak jiwa.

Ia dan keluarganya memang memilih tidak mengungsi karena bayangan akan pengungsian sungguh penuh derita. Hidup bersama Tentara Pembebasan Suriah adalah hal yang membahagiakan, seperti bersahabat dengan rudal-rudal yang ia buat, baginya para pemberontak adalah kawan dekat dan ia senang bermain dengan mereka.

Issa  paham bila senjata yang ia rakit bersama ayahnya digunakan untuk berperang, namun ia belum terlalu peduli bila sebenarnya apa yang ia buat adalah senjata yang mampu menghancurkan hak hidup seseorang.

Kisah Issa tentunya berbeda dengan hidup banyak anak didunia, bertahan dikancah perang bersama keluarga adalah pilihan sulit yang harus ia jalani sebagai seorang bocah.

Bertemu dengan burung yang ia kasihi adalah kepuasaan yang tak mungkin ia dapatkan di tempat-tempat pengungsian.

Meski bila malam datang listrik selalu padam, namun kehangatan sebuah keluarga sangat terasa, jauh dari kehidupan para pengungsi yang hidup ditengah derita.@JI


Tidak ada komentar: