Oleh: Idea Suciati
Jurnalis Independen: Kasus Operasi Tangkap Tangan
(OTT) KPK terhadap Rudi Rubiandini, Kepala SKK Migas, semakin membuka mata kita
tentang liberalisasi migas serta mafia migas di Indonesia. Bahkan Indonesia
merupakan yang terburuk untuk kawasan Asia Oceania seperti yang disebutkan
Fraser Institute Canada dalam laporannya berjudul Global Petroleum Report
berturut-turut untuk 2010, 2011, dan 2012.
Kasus ini sebenarnya
hanyalah satu diantara kasus lain yang menunjukan adanya perampokan dalam
pengelolaan migas di Indonesia.
Sistem tata kelola di bawah UU
Migas No 22/2001 menjadi legalisasi liberalisasi migas di Indonesia. UU Migas
No 22/2001 melanggar konstitusi dan merugikan negara secara finansial. Karena,
potensi penerimaan negara dari sektor migas baik hulu dan hilir banyak tersedot
oleh para pemburu rente yang bersekongkol dengan pejabat pemegang otoritas.
Inilah kemudian yang sering disebut sebagai `mafia migas’.
Liberalisasi adalah bentuk
perampokan migas di Indonesia
Liberalisasi migas di Indonesia
terjadi semenjak orde baru. Hal ini ditandai kedatangan investor asing yang
mengeksplorasi Sumber Daya Alam (SDA). Liberalisasi juga dilakukan dalam
pertambangan dan pengilangan minyak. Liberalisasi migas semakin menjadi ketika
disahkannya UU Migas No. 22 tahun 2001.
UU Migas ini menjadikan negara
hanya diberikan peran sebagai regulator. Investor asing lah yang menguasai baik
di hulu (eksplorasi) maupun di hilir dengan membuka SPBU asing. Memang secara
formal negara memang masih diakui sebagai pihak yang menguasai migas (pasal 4
ayat 1), tapi penguasaan itu sekadar menjadikan Pemerintah sebagai pemegang
Kuasa Pertambangan (pasal 4 ayat 2). Yang dimaksud dengan kuasa pertambangan
adalah wewenang yang diberikan negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi (Dalam pasal 1 ayat 5). Sebagai pemegang
kuasa pertambangan, Pemerintah diberi kewenangan membentuk Badan Pelaksana
(Pasal 4 ayat 3).
Kendati disebut sebagai badan
pelaksana, fungsi dan tugasnya tidak melaksanakan kegiatan eksplorasi maupun
eksploitasi secara langsung. Badan ini hanya berfungsi melakukan pengawasan
terhadap kegiatan usaha hulu (Pasal 44 ayat 2). Di antara tugasnya adalah
melaksanakan penandatanganan kontrak kerja sama, memonitor pelaksanaannya, dan
menunjuk penjual migas (Pasal 44 ayat 3). Adapun pelaksana langsung kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi—disebut dengan kegiatan usaha hulu—adalah Badan
Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang didasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan
Pelaksana (Bab IV, pasal 11, ayat 1).
UU Migas juga menjadikan seluruh
kegiatan usaha migas baik hulu maupun hilir semata berdasarkan pada mekanisme
pasar. Selain pasal di atas ternyata pasal-pasal lain, justru sangat
menguntungkan asing.
Munculnya UU tersebut tidak lepas
dari campur tangan asing. USAID (United States Agency for International
Development), lembaga donor pemerintah Amerika Serikat, terus terang mengakui
campur tangannya dalam penyiapan liberalisasi migas di Indonesia. ‘’USAID has
been the primary bilateral donor working on energy sector reform (USAID telah
menjadi donor bilateral utama yang bekerja pada reformasi sektor energi).’’
Salah satu hal utama sebagai
konsekuensi pengesahan UU 22/2001 ini adalah perlunya dibentuk Badan Pelaksana (dibentuk BPMIGAS) dan Badan
Pengatur (dibentuk BPHMIGAS) serta
perubahan bentuk PERTAMINA menjadi
persero. PERTAMINA bukan lagi sebagai perusahaan pengelola dan pemegang kuasa
pertambangan. Dalam kegiatan hulu PERTAMINA akan menjadi perusahaan yang
diberlakukan seperti perusahaan-perusahaan kontraktor. Dan akhirnya PERTAMINA
juga menandatangani KKKS dengan BP MIGAS pada tanggal 17 September 2005.
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi BPMIGAS dibentuk pada tanggal 16 Juli 2002 berperan
sebagai pembina dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam
menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran migas Indonesia.
BPMIGAS berwenang sebagai wakil pemerintah untuk mengatur masalah pengawasan
dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerja Sama yang sebelumnya dikerjakan oleh
PERTAMINA..
Pada tanggal 13 November 2012,
Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk membubarkan BP Migas karena dinilai sangat
bernuansa kepentingan kapitalis. MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan
fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) yang diatur dalam UU Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki hukum mengikat. Putusan MK itu berawal dari pengajuan Judicial Review dari
30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas), termasuk di antaranya Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI).
Namun, pembubaran BP Migas oleh
Mahkamah Konstitusi tidak berarti liberalisasi migas ikut bubar dan mampu
menghentikan praktek mafia migas. Pemerintah bertindak cepat dengan menerbitkan
Perpres No 95/2012 tentang pengalihan tugas dan kewenangan BP Migas ke
Kementerian ESDM dan selanjutnya Perpres No 9/2013 tentang Penyelenggaraan
Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas dengan membentuk SKK Migas.
Para Perampok Migas
Perampok migas adalah mereka yang
berada di perusahaan swasta (domestik/asing),
BUMN dan oknum di eksekutif dan legislatif yang bekerja sama untuk
mendapat keuntungan dengan cara memburu rente.
Industri migas secara umum
melakukan lima tahapan kegiatan, yaitu eksplorasi, produksi, pengolahan,
transportasi, dan pemasaran. Lima kegiatan pokok ini dapat dibagi menjadi dua,
yaitu kegiatan hulu (upstream) dan kegiatan hilir (downstream). Kegiatan usaha
hulu migas adalah kegiatan eksplorasi dan produksi, sedangkan kegiatan usaha
hilir adalah pengolahan, transportasi, dan pemasaran.
Tiga bidang yang menjadi ajang
korupsi ialah lelang kontrak wilayah kerja (WK), perpanjangan kontrak, dan
persetujuan penggantian biaya yang telah dikeluarkan perusahaan dalam
melaksanakan kegiatan operasi usaha hulu migas (cost recovery).
Lelang kontrak wilayah kerja (WK)
dan perpanjangan kontrak semuanya dimanfaatkan oleh asing untuk menguasai migas
di Indonesia. Di hulu saat ini sebanyak 85 persen ekploitasi minyak nasional
dikuasai perushaan asing seperti Chevron, Exon, Total, Petrochina.
Adapun mengenai cost recovery,
ternyata Pemerintahlah yang harus membayar cost recovery. Cost recovery adalah
pergantian seluruh biaya yang dikeluarkan asing dalam mengganti seluruh biaya
yang dikeluarkan kontraktor asing dalam ekploitasi minyak bumi. Berbagai
praktek manipulasi, markup cost recovery, penipuan keuangan negara, telah
menyebabkan tingginya biaya yang harus ditanggung negara dalam melakukan
eksploitasi migas.
Tahun 2012 biaya cost recovery
mencapai USD 15,13 miliar atau Rp. 147.668.800.000.000. Dari data yang beredar,
untuk 2001-2005, besarnya cost recovery migas yang harus ditanggung negara
(dalam miliar dolar AS) berturut-turut adalah 4,35 ; 5,06 ; 5,52 ; 5,60 ; dan
7,68. Atau jika dirata-ratakan dengan kurs Rp9.000/US$, adalah sekitar Rp50
triliun per tahun.
Sementara jumlah produksi minyak
mentah nasional terus mengalami penurunan yakni sebesar 830 ribu barel/hari.
Ini merupakan fakta yang sangat aneh karena tahun 2004 cost recovery sebesar
USD. 5,603 atau Rp. 53.22 triliun, dengan produksi minyak mentah sebanyak 1,124
juta barel perhari.
Hal diatas tentu sesuatu yang
tidak perlu terjadi jika minyak milik negara dijual sendiri oleh negara
(melalui perusahaan negara) langsung ke pemakai (end user) tanpa lewat
trader/broker dan juga blok produksi yang selesai kontrak langsung diambil alih
oleh negara (perusahaan negara).
Dengan demikian, hasil
penjualan/ekspor migas milik negara dan hasil produksi migas dari lapangan/blok
produksi yang sudah selesai kontrak bisa maksimal 100% masuk ke kas negara
tanpa harus dibagi dengan pihak lain/pemburu rente/perampok alias’mafia migas’,
sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan migas bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Namun, pemerintah selalu berdalih
dengan dua alasan klasik, yakni: ketidakmampuan Pertamina dan BUMN lainnya dari
sisi teknologi dan ketidakmampuan dari sisi permodalan. Padahal, menurut Dr.
Arim Nasim, Pertamina dan BUMN lainnya sudah mampu melakukan ekplorasi migas
dan minerba baik onshore (darat),
offshare (lepas pantai)
maupun laut dalam (deep water).
Pertamina pun menyatakan mampu secara teknologi untuk melakukannya tanpa
bantuan asing.
Adapun persoalan permodalan
sesungguhnya sebenarnya banyak lembaga
keuangan atau perbankan yang bisa
menjamin kucuran kredit jika Pertamina memiliki underlying asset (jaminan).Apalagi
jika hal ini didukung oleh jaminan Pemerintah melalui pemilikan cadangan nasional migas oleh
Pertamina sebagai BUMN seperti halnya negara lain, misalnya Venezuela atau
Malaysia melalui Petronasnya.
Pengelolaan Migas dalam
Perspektif Syariah Islam
Dalam pandangan Islam, migas juga
hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh
negara. Hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang
murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan
fasilitas umum.
Pendapat bahwa sumber daya alam
milik umum harus dikelola oleh negara untuk hasilnya diberikan kepada
rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani
berdasarkan pada hadits riwayat Imam
At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam
hadits tersebut i, Abyadh bin Hammal meminta kepada Rasulullah SAW untuk
mengelola tambang garam. Rasulullah SAW sebagai kepala negara dan pemerintahan
memberikan tambang tersebut kepada Abyadh. Rasul meluluskan permintaan itu,
tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat,
“Wahai Rasulullah, tahukah
engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan
sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian
bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Ma’u al-‘iddu adalah air yang
karena jumlahnya sangat banyak digambarkan
mengalir terus menerus. Hadist
tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air
yang mengalir. Bahwa semula Rasullah SAW
memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang
garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Tapi ketika kemudian Rasul mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang
cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, maka Rasul
mencabut pemberian itu, karena
dengan kandungannya yang sangat besar
itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh
dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus dalam hadits
tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti,
ketika Rasul mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik
kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:
“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang
terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan
Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang
tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia
mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air
yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis,
seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali, karena sunnah
Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia
berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau melarang bagi seseorang untuk
memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.
Maka, berdasarkan HR at-Tirmidzi
ini, penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah
illat dari larangan sesuatu yang
menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya
sangat banyak untuk dimiliki individu.
Artinya tambang minyak dan gas bumi –yang dalam ukuran individu jumlahnya tidak
terbatas– penguasaannya oleh swasta dan investor asing hukumnya haram. Sebab
sektor hulu migas ini termasuk harta milik umum (milkiyyah ammah).
Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum
Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api”
(HR Abu Dawud). Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan tiga benda dalam hadist
tersebut dilihat dari ’illat-nya bahwa ketiganya dibutuhkan masyarakat sebagai
fasilitas umum. Karakteritik fasilitas umum adalah jika tidak tersedia
mengakibatkan sengketa untuk mendapatkannya (Sistem Ekonomi Islam: 2005). @Mahasiswa Jurusan Kebijakan
Publik PPs FISIP Universitas Padjadjaran dan Aktivis MHTI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar