Rabu, 11 September 2013

Siluman Rawa Onom (16)

Bertemu Raja Pulau Majeti Prabu Selang Kuning

Dada Jendra berdegup kencang. Binatang misterius itu tetap berdiri di hadapannya dan
suaranya melolong-lolong terus. Jendra mencoba menguatkan batinnya dan memasang kudakuda untuk menghadapi kemungkinan buruk.


Namun binatang itu ternyata tak berarti jahat. Buktinya setelah lama menatap agak lama, dia segera meloncat pergi. Loncatannya demikian dahsyat dan cepat. Hanya dalam sedetik lenyap bagaikan ditelan gelapnya malam. Hanya suaranya saja sayup-sayup terdengar melolong dan merintih. Binatang itu ternyata tak berbahaya. Yang membahayakan malah yang datang belakangan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba hadir serombongan ular.

Secara serentak, ular-ular itu membelit sekujur tubuhnya. Jendra berusaha meronta dan meloloskan diri. Namun semakin kuat dia meronta semakin kuat lilitan ular-ular itu. Beberapa di antaranya malah membelit lehernya, menyebabkan pernapasan Jendra serasa tercekik. Akhirnya Jendra terkulai lemas karena kehabisan oksigen.

Sedangkan ketika siuman, ternyata dia sudah berada di sebuah ruang. Jendra menyadari kini ia berada dalam sebuah ruangan yang teramat mewah. Suasananya pun terang-benderang kendati di sana tak didapati penerangan atau jendela terbuka. Jendra tergolek di atas alketip berwarna merah darah. Ada harum wewangian menyelimuti seluruh ruang. Jendra berusaha bangkit namun tubuhnya terikat keras oleh tali-tali kencang terbuat dari sejenis kulit .

"Suruh dia duduk," terdengar suara seseorang. Tubuh Jendra didudukkan oleh seseorang.
Maka sambil tubuh tetap tertelikung tali kencang, dia sudah dalam keadaan duduk dan
menghadap ke sebuah singgasana.

Di atas singgasana warna emas itu terlihat duduk seorang pria setengah baya, berkumis tipis
berjanggut tipis dengan sepasang mata tajam menyorot. Pria gagah ini memakai mahkota
raja terbuat dari emas pula. Ada ornamen berlian di jidatnya, bergoyang-goyang karena
kepalanya bergerak.

"Kau musti beri hormat kepada Sang Prabu Selang Kuning ..." tutur seorang ponggawa. Tapi
kendati merasa terkejut, Jendra tetap diam.
"Ayo cepat menyembah!" teriak seseorang.
"Bagaimana caranya aku menyembah, sementara kedua tanganku terikat keras?" tanya
Jendra.
"Kalau kau berniat menyembah setulus hatimu, maka kau bisa," tutur orang itu lagi.

Jendra musti berpikir berulang-ulang untuk mengaku tulus dalam menyembah. Namun karena dia ingin lepas, maka dia kuatkan hatinya untuk berniat menyembah. Maka seketika itu pun
sepasang tangannya lepas dan bisa menyembah takzim.

"Nah, begitu baru bagus .. . "kata seseorang. Jendra hanya sedikit mendengus.
"Kau orang Galuh, mau apa datang ke Kerajaan Pulo Majeti sini?" tanya seseorang lagi.

Sementara Prabu Selang Kuning tetap memandang saja. "Saya bukan orang Galuh, bila yang kalian maksud adalah sebuah kerajaan bernama Galuh. Harap kalian ingat, Galuh sudah hilang. Yang ada hanyalah Kabupaten Ciamis, Jendra tak mengomentari.

"Apakah engkau menginginkan emas-intan dan berbagai kekayaan? Lelaki di bangsa manusia
memang begitu. Kalau tak minta wanita tentu minta harta, bahkan kekuasaan," tutur Ki Patih
lagi. Untuk kedua kalinya Jendra tak menimpali komentar mereka. Dan manakala Jendra
hanya diam seribu bahasa, maka terdengar kekeh menghina dari para prajurit.

"Sudah, biarkan saja anak-muda ini mengutarakan keinginannya," potong Sang Prabu.
"Coba katakan saja kepada Sang Prabu, apa permintaanmu, anak-muda ..." kata Ki Patih.
"Maksudnya, apakah saya tak perlu bersua dengan Nyi Indangwati?" tanya Jendra.
"Jangan cerewet. Cepat katakan saja, apa keinginanmu," kata Ki Patih marah.

Maka Jendra berkata, bahwa Bendara Wedana tengah menghimpun kekuatan rakyat untuk
mengeringkan Rawa Onom namun rakyat kebanyakan takut dan tak sudi mengerjakan proyek
besar itu."Saya minta, bebaskan rasa takut orang agar sudi mengerjakan pengeringan rawa itu," kata Jendra.

Mendengar celoteh Jendra, Sang Prabu termangu. Ki Patih bahkan merah-padam wajahnya.
"Mengapa Rawa Onom musti dikeringkan?" tanya Sang Prabu kemudian.
"Agar kehidupan rakyat lebih sejahtera. Sebab dengan keringnya wilayah rawa itu, maka
rakyat bisa menanam apa saja," jelas Jendra pada Sang Parbu Selang Kuning.

"Kau hanya berpikir perihal kesejahteraan bangsa manusia saja. Bagaimana pula dengan
kepentingan bangsa kami?" tutur Ki Patih menyela.

"Apakah ini merugikan kalian?" tanya Jendra.
Ki Patih berujar, bahwa bangsa manusia cenderung egois. Bangsa manusia selalu
beranggapan bahwa hanya kepentingan mereka saja yang musti didahulukan.
"Padahal bangsa lelembut (halus) seperti kami ini pun sama punya kepentingan hidup," tutur Ki Patih.

"Apakah dengan upaya pengeringan rawa, bangsa kalian akan terpuruk?" tanya Jendra lagi.
Hening sejenak. Kemudian giliran Sang Prabu yang berucap.
"Antara bangsa kalian dengan bangsaku memang terpisahkan oleh satu lapisan. Namun
lapisan itu sungguh hanya setebal kulit bawang. Perikehidupan kami juga kadang-kadang
ada kaitannya dengan bangsa kalian. Tokh apalagi bangsa kami dahulunya adalah seperti
kalian pula, yaitu sama-sama sebagai bangsa manusia," tutur Sang Prabu. Namun hal ini belum membuat Jendra mengerti.

"Kami perlu makan. Makanan itu di antaranya ada di lingkungan bangsa manusia. Kalau kami
ingin makanan berupa daging, maka kami akan mengubah diri jadi buaya atau sebangsa
hewan pemakan daging. Kalau kami ingin makanan yang tumbuh di air, maka kami akan
menyerupai ikan yang berseliweran di rawa-rawa. Maka bila rawa kering, kami tak bisa
mencari makan sebab suatu saat, oleh keserakahan manusia, rawa akan berubah menjadi
ladang dan sawah. Belakangan akan berubah pula menjadi rumah atau pusat kediaman
penduduk. Dan lantaran manusia adalah bangsa serakah, maka suatu saat alam akan rusak.
Telaga tak ada, rawa tak ada, hutan tak ada. Padahal itulah tempat hidup kami," tutur Ki Patih.

"Itu juga bagian dari tempat hidup manusia," potong Jendra. @bersambung

Tidak ada komentar: