Bertemu Raja Pulau Majeti Prabu Selang Kuning
Dada
Jendra berdegup kencang. Binatang misterius itu tetap berdiri di hadapannya dan
suaranya
melolong-lolong terus. Jendra mencoba menguatkan batinnya dan memasang kudakuda
untuk menghadapi kemungkinan buruk.
Namun binatang itu ternyata tak
berarti jahat. Buktinya setelah lama menatap agak lama, dia segera meloncat
pergi. Loncatannya demikian dahsyat dan cepat. Hanya dalam sedetik lenyap
bagaikan ditelan gelapnya malam. Hanya suaranya saja sayup-sayup terdengar
melolong dan merintih. Binatang itu ternyata tak berbahaya. Yang membahayakan
malah yang datang belakangan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba hadir
serombongan ular.
Secara serentak, ular-ular itu
membelit sekujur tubuhnya. Jendra berusaha meronta dan meloloskan diri. Namun
semakin kuat dia meronta semakin kuat lilitan ular-ular itu. Beberapa di
antaranya malah membelit lehernya, menyebabkan pernapasan Jendra serasa
tercekik. Akhirnya Jendra terkulai lemas karena kehabisan oksigen.
Sedangkan ketika siuman, ternyata
dia sudah berada di sebuah ruang. Jendra menyadari kini ia berada dalam sebuah
ruangan yang teramat mewah. Suasananya pun terang-benderang kendati di sana tak
didapati penerangan atau jendela terbuka. Jendra tergolek di atas alketip
berwarna merah darah. Ada harum wewangian menyelimuti seluruh ruang. Jendra
berusaha bangkit namun tubuhnya terikat keras oleh tali-tali kencang terbuat
dari sejenis kulit .
"Suruh dia duduk," terdengar
suara seseorang. Tubuh Jendra didudukkan oleh seseorang.
Maka sambil tubuh tetap
tertelikung tali kencang, dia sudah dalam keadaan duduk dan
menghadap ke sebuah singgasana.
Di atas singgasana warna emas itu
terlihat duduk seorang pria setengah baya, berkumis tipis
berjanggut tipis dengan sepasang
mata tajam menyorot. Pria gagah ini memakai mahkota
raja terbuat dari emas pula. Ada
ornamen berlian di jidatnya, bergoyang-goyang karena
kepalanya bergerak.
"Kau musti beri hormat
kepada Sang Prabu Selang Kuning ..." tutur seorang ponggawa. Tapi
kendati merasa terkejut, Jendra
tetap diam.
"Ayo cepat menyembah!"
teriak seseorang.
"Bagaimana caranya aku
menyembah, sementara kedua tanganku terikat keras?" tanya
Jendra.
"Kalau kau berniat menyembah
setulus hatimu, maka kau bisa," tutur orang itu lagi.
Jendra musti berpikir
berulang-ulang untuk mengaku tulus dalam menyembah. Namun karena dia ingin
lepas, maka dia kuatkan hatinya untuk berniat menyembah. Maka seketika itu pun
sepasang tangannya lepas dan bisa
menyembah takzim.
"Nah, begitu baru bagus .. .
"kata seseorang. Jendra hanya sedikit mendengus.
"Kau orang Galuh, mau apa
datang ke Kerajaan Pulo Majeti sini?" tanya seseorang lagi.
Sementara Prabu Selang Kuning
tetap memandang saja. "Saya bukan orang Galuh, bila yang kalian maksud
adalah sebuah kerajaan bernama Galuh. Harap kalian ingat, Galuh sudah hilang.
Yang ada hanyalah Kabupaten Ciamis, Jendra tak mengomentari.
"Apakah engkau menginginkan
emas-intan dan berbagai kekayaan? Lelaki di bangsa manusia
memang begitu. Kalau tak minta
wanita tentu minta harta, bahkan kekuasaan," tutur Ki Patih
lagi. Untuk kedua kalinya Jendra
tak menimpali komentar mereka. Dan manakala Jendra
hanya diam seribu bahasa, maka
terdengar kekeh menghina dari para prajurit.
"Sudah, biarkan saja anak-muda
ini mengutarakan keinginannya," potong Sang Prabu.
"Coba katakan saja kepada
Sang Prabu, apa permintaanmu, anak-muda ..." kata Ki Patih.
"Maksudnya, apakah saya tak
perlu bersua dengan Nyi Indangwati?" tanya Jendra.
"Jangan cerewet. Cepat
katakan saja, apa keinginanmu," kata Ki Patih marah.
Maka Jendra berkata, bahwa
Bendara Wedana tengah menghimpun kekuatan rakyat untuk
mengeringkan Rawa Onom namun
rakyat kebanyakan takut dan tak sudi mengerjakan proyek
besar itu."Saya minta,
bebaskan rasa takut orang agar sudi mengerjakan pengeringan rawa itu,"
kata Jendra.
Mendengar celoteh Jendra, Sang
Prabu termangu. Ki Patih bahkan merah-padam wajahnya.
"Mengapa Rawa Onom musti
dikeringkan?" tanya Sang Prabu kemudian.
"Agar kehidupan rakyat lebih
sejahtera. Sebab dengan keringnya wilayah rawa itu, maka
rakyat bisa menanam apa
saja," jelas Jendra pada Sang Parbu Selang Kuning.
"Kau hanya berpikir perihal
kesejahteraan bangsa manusia saja. Bagaimana pula dengan
kepentingan bangsa kami?"
tutur Ki Patih menyela.
"Apakah ini merugikan
kalian?" tanya Jendra.
Ki Patih berujar, bahwa bangsa
manusia cenderung egois. Bangsa manusia selalu
beranggapan bahwa hanya
kepentingan mereka saja yang musti didahulukan.
"Padahal bangsa lelembut
(halus) seperti kami ini pun sama punya kepentingan hidup," tutur Ki
Patih.
"Apakah dengan upaya
pengeringan rawa, bangsa kalian akan terpuruk?" tanya Jendra lagi.
Hening sejenak. Kemudian giliran
Sang Prabu yang berucap.
"Antara bangsa kalian dengan
bangsaku memang terpisahkan oleh satu lapisan. Namun
lapisan itu sungguh hanya setebal
kulit bawang. Perikehidupan kami juga kadang-kadang
ada kaitannya dengan bangsa
kalian. Tokh apalagi bangsa kami dahulunya adalah seperti
kalian pula, yaitu sama-sama
sebagai bangsa manusia," tutur Sang Prabu. Namun hal ini belum membuat Jendra
mengerti.
"Kami perlu makan. Makanan
itu di antaranya ada di lingkungan bangsa manusia. Kalau kami
ingin makanan berupa daging, maka
kami akan mengubah diri jadi buaya atau sebangsa
hewan pemakan daging. Kalau kami
ingin makanan yang tumbuh di air, maka kami akan
menyerupai ikan yang berseliweran
di rawa-rawa. Maka bila rawa kering, kami tak bisa
mencari makan sebab suatu saat,
oleh keserakahan manusia, rawa akan berubah menjadi
ladang dan sawah. Belakangan akan
berubah pula menjadi rumah atau pusat kediaman
penduduk. Dan lantaran manusia
adalah bangsa serakah, maka suatu saat alam akan rusak.
Telaga tak ada, rawa tak ada,
hutan tak ada. Padahal itulah tempat hidup kami," tutur Ki Patih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar