Jurnalis Independen: Nama Syekh Nawawi Banten sudah
tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan
kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676
H/l277 M).
Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren
tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Syekhasal Banten ini
seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam
yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan
utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir.
Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang
dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren
Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai Ulama penulis kitab, tapi juga ia
adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa
meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga
pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh
para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri
organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila SYEKH Hasyim Asyari sering disebut
sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh
Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya
ini, seringkali SYEKH Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan
Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya
kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama
lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi
al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani.
Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada
tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di
usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin
istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten,
Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at
terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak
peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Syekh Umar,
seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi
merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin
(Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung
dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir,
Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat
kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia
memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis,
tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali
ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup
lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil
telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat. Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh
santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian
ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan
menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar
ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh
Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia)
dan SyekhAbdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah
itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah.
Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia
melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria).
Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan
menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir
seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk
memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu
lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi
mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup
memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai
Ulama di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak
menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya
yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang
dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan
kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya
yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya
sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama
sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh
selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk
melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan
pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi
selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak
naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota
penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas
maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru
dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas
dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Nawawi
bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M.
Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar
Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid
‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis
membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk
mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk
membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa
pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai
beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada Syekh agar
proses pembelajaran dengan Syekh tidak mengalami kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang
gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi
dalam tujuh kategori atau bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf,
sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa
kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya
karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah
seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang
keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat
kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara konprehenshif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya
seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari
al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini
dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat
al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan
Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir
yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu
Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah
Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim
harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari
perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah
dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mungkin. Sifat Wajib adalah sifat yang
pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat
yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mungkin
adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan
orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks
Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari
sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy
dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila
terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban
seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap
keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga
sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan
untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini
adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog
Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada
di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah,
sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan
Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini
bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak
disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk
hal ini dalam konteks Indonesia sebenamya Nawawi telah berhasil membangkitkan
dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil
mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia
dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan
modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak
dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada
waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan
teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut
terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu
sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah
tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam
disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak
terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam
pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para
muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.Dalam beberapa kesempatan
Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non
muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai
oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak
berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i
untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat
a/-Naja, Syarh Sullam a/-Taufiq, Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in dan
Tasyrih a/a Fathul Qarib,sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab
Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan
hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai
kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di
berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870
para ulama Universitas alAzhar Mesir pemah mengundangnya untuk memberikan
kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk
mengundangnya karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya
yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf,
Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan
disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik
dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia
banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan
standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat
ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu
Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak
sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin alGazali. Bahkan kitab ini merupakan
rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak
tergantung pada gurunya (pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama
tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan
karir dan pengembangan spesialisasi ilmu penegatahuan yang ditekuni serta
tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti
guru-gurunya. Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap
keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk
memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan
sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan
yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya
Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang
sufi, sementara hakikat adalah basil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini
mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama
tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran
Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini
tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas
ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf
klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan
tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dibedakan dari karakteristik tipologi
tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel
dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia
lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu
Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan
syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan
antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal
ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim
al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia
lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat
dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu
lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus
(belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh
melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif.
Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui
ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu
batin.
Bagi Nawawi Tasawuf berarti
pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu
batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha
menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam
zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau
moral (Adab).
Selain itu ciri yang menonjol dari
sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat
ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang
menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat
yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini
bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat
yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten
1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan. bahasa yang manis tanpa
menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia
memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi
lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.
Setelah karyanya banyak masuk di
Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang..
Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun
1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Bila
sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan
sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu
bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya
perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim
Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah
berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang
telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh
al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang
Ilmu Hadis.
Sebenarnya karya-karya Nawawi
tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia
tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji
di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya
Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan
Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University
of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih
menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di
Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya
Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di
Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah
meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang
tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi
kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990
diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari
100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di
pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi.
Penyebaran karya Nawawi tidak
lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk
tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan
Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari
dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H
Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah
dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk,
Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah
bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang
Banten, K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H
Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus
Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat.
Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah
nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir
mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi
yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di
Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut
mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah
sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di
sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari
jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual
pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh
Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan
Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh
terakhir.
Mereka berjasa dalam menyebarkan
ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa
pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang
murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan
kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan
reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan,
K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid
karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun
ia senang membaca Kitab tafsir a/-Manar karya seorang reformis asal Mesir,
Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela
ulama klasik ia tidak mau mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang
memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah
asalnya. Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa
dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh
Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan
nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi
tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Kemudian ciri geneologi pesantren
yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya
Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir
karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan
sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir
Jalalain. Peranan Syekh para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan
karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung
tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekh didikan K.H Hasyim
Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi
sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.
Dalam bidang tasawuf saja kita
bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di
Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi
memang selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran
kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat
heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan
fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karnya di bidang tasawuf cukup
mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam
hal ini Nawawi, ibarat alGazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim
antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung
rasionalistik di sisi lain.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar