Selasa, 17 September 2013

Jokowi Nyapres Antara Ya dan Tidak

Jurnalis Independen: Semua orang mengenalnya sebagai sosok pemimpin berperawakan kurus, sederhana, bersahaja, dan merakyat. Terjun langsung ke lapangan, menemui warga atau yang biasa disebut blusukan sudah menjadi kegiatan sehari-harinya.


Gaya bahasanya yang lugas dan apa adanya menjadi ciri khasnya tersendiri. Ia salah satu atau mungkin satu-satunya politisi yang kerap melontarkan pernyataan straight-forward, apa adanya, tak berkelit bak politisi pada umumnya. Joko Widodo namanya. Dia karib dipanggil Jokowi.

Saat ini Jokowi bisa dibilang sedang mengalami 'kontroversi hati'. Tak berniat nyapres tapi terus didesak sejumlah pihak untuk maju pada Pilpres 2014. Apa ini membuatnya bimbang?

Yang pasti, Jokowi masih ingin membenahi Jakarta meski membuat kepalanya pusing. Bagi mantan Walikota Solo ini, mengurus Jakarta saja sudah membuatnya mumet apalagi mengurus Indonesia dengan persoalan yang lebih rumit.

"Ini capres-cawapres apa? Lha wong urus PKL, urus rakyat saja masih pusing!" tegas Jokowi saat ditanya pencapresannya.

"Ndak mikir, mau urus Tanah Abang, Waduk Pluit, Waduk Ria Rio," begitu jawaban lain yang selalu terdengar dari mulut pria 52 tahun itu.

Tapi belakangan Jokowi tampak berubah pikiran. Mungkin sedikit tertarik menjadi capres. Dari jawabannya yang selalu mengelak nyapres, "Ndak mikir!", kini Jokowi punya jawaban baru.

"Tanya Bu Ketum," katanya yang bermaksud melempar jawaban kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Sebab memang keputusan siapa capres yang bakal diusung ada di tangan Megawati, Ketum PDIP yang disinyalir memberi sinyal positif untuk Jokowi pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP 6 September 2013 lalu.

Berkali-kali, Presiden ke-5 RI itu menyebut Jokowi dan memuji Sang Gubernur. Bahkan Jokowi diberikan Mega kesempatan untuk membacakan 'Dedication of Life Bung Karno'. Apa hal itu pertanda Mega merestui Jokowi nyapres? Jika iya, apa Jokowi bersedia?

Namun apabila pada akhirnya tidak mau maju pada Pemilu 2014, apakah nama Jokowi tetap berjaya pada Pemilu 2019. Orang bilang, politik merupakan momentum. Belum tentu Jokowi tidak memiliki peluang pada 2019 seperti sekarang. Atau, yang paling mengkhawatirkan, Indonesia sudah kacau balau atau pun bubar, sebelum 2019.

Jejak dan Dukungan

Meski sepak terjangnya memimpin DKI Jakarta memang baru seumur jagung, tapi pengalamannya mengenyam pemerintahan Kota Solo segudang. Walau usianya baru setahun jadi orang nomor 1 di Jakarta, tapi banyak orang yang memuji sejumlah aksinya untuk ibukota. Seperti bagaimana caranya menangangi suatu masalah. Naik gerobak di tengah banjir, masuk gorong-gorong, meniti jembatan yang hampir runtuh.

Jokowi juga menorehkan sejumlah prestasi dan penghargaan yang diraihnya. Ia pernah dinobatkan sebagai '10 Tokoh di Tahun 2008' oleh Majalah Tempo, dapat penghargaan dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Award, Bung Hatta Anticorruption Award (2010), Charta Politica Award (2011), dan Wali Kota teladan dari Kementerian Dalam Negeri (2011).

Lewat kerja dan prestasi yang nyata, maka tak pelak, Jokowi diharapkan mau menjadi presiden. Hampir pada setiap survei, Jokowi menempati nomor wahid. Sebut saja survei capres terakhir. Dalam survei Soegeng Sarjadi School of Goverment (SSSG) yang dirilis pada 12 September 2013, Jokowi menjadi tokoh yang paling diminati publik untuk jadi presiden.

Nama Jokowi pun bergaung di luar negeri. Sosok pria kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 itu kerap menjadi objek opini akademisi dan pengamat politik mancanegara. Nama Jokowi pun pun di media luar negeri. Seperti BBC yang menyebut 'Obamanya Jakarta', The Malay Mail 'Butuh Jokowinya Malaysia', The Australian 'Obamanya Indonesia', The Hindu 'Mana Jokowinya India?', Juga The Star 'Hanya Jokowi Capres yang Tepat'.

Sejumlah dukungan agar Jokowi maju sebagai capres pun datang dari beberapa relawan pemuda. Misalnya saja Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014 (Bara JP). Juga dari internal PDIP. Saat Rakernas PDIP di Ecopark, Ancol, Jakarta Utara, 7 September 2013, nama Jokowi digaungkan kala 33 DPD PDIP se-Indonesia memberikan pendapatnya terkait calon presiden yang harus diusung partai berlambang Banteng Moncong Putih itu.

Ramalan Budayawan

Banyak budayawan dan sejarawan yang mengaitkan antara pemimpin di Indonesia dengan ramalan budaya Jawa. Seperti budayawan Rohmad Hadiwijoyo, ia meramal pemimpin atau presiden Indonesia mendatang akan dimenangkan keturunan Kerajaan Mataram.

Menurut Rohmad, Jokowi disinyalir berasal dari keturunan Mataram. Dia juga mengklaim, pemimpin Indonesia akan selalu berasal dari keturunan tiga kerjaaan besar yakni Mataram, Majapahit dan Demak. Karena tiga kerajaan ini sudah mengenal demokrasi sejak puluhan abad sehingga memahami sosok pemimpin yang diidamkan rakyatnya.

"Kalau sudah Majapahit, biasanya presiden kita ganti dari keturunan Mataram, kalau sudah Mataram ganti kerajaan Demak. Karena mereka manunggaling Gusti (berketuhanan)," ujar Rohmad dalam diskusi politik di Sugeng Sarjadi School Of Goverment (SSSG), Jakarta, Juli 2013 lalu.

"Nah, Jokowi dari Mataram. Dulu Habibie hanya singgah saja sebentar," sambungnya.

Lebih lanjut terkait sosok pempimpin bangsa yang baik, kata Rohmad, dia harus bermuasabah politik atau introspeksi diri. Pemimpin sekarang ini kata Rohmad banyak yang arogan, tidak mawas diri dan terlalu percaya diri bahwa dirinya merasa paling tepat sebagai sosok pilihan rakyatnya.

"Kebanyakan nggak ngaca diri. Siapa yang bisa ngaca diri dan manunggalin gusti dia akan dipilih rakyat," ujar Rohmad. (Riz)


Tidak ada komentar: