Jurnalis Independen: Islam telah menyumbang banyak
pada Indonesia, tapi diperlakukan secara tidak adil dan diskrimintaif.
Inventarisasi jasa Islam dilakukan seorang pakar sejarah, Dr. Kuntowijoyo,
dalam bukunya ‘Identitas Politik Umat Islam’.
Jasa Islam bagi keberkahan negeri
ini antara lain: Pertama, Islam membentuk civic culture (budaya bernegara).
Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di seluruh Indonesia sejak abad ke-13
pasti dipengaruhi oleh tata Negara Islam, bukan oleh Hinduisme. Buku tata
Negara, seperti Tajus Salatin mempunyai pengaruh yang luas.
Kedua, Solidaritas nasional,
terjalin karena pengIslaman Nusantara menjadikan seluruh Indonesia sebuah
kesatuan. Jaringan itu terbentuk terutama sesudah ada diaspora Islam setelah
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Persamaan agama, budaya, suku Melayu
menjadikan jaringan agama sebagai proto-nasionalisme.
Ketiga, syari’at jihad menjadi
motivator satu-satunya untuk meraih kemerdekaan, bebas dari belenggu penjajahan
kafir Belanda. Pada tahun 1873-1903 terjadi Perang Aceh menetang penjajah
Belanda. Pada tahun-tahun 1945-1949 ideologi jihad lah yang mendorong
pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah sebagai tentara resmi melawan penjajah.
Perlawanan pada komunisme, 1965-1966 adalah berkat ideologi jihad.
Keempat, kontrol sosial di NKRI,
tidak hanya dijalankan oleh polisi, hukum, perundangan, dan peraturan, tapi
terutama oleh agama Islam. Bayangkan, jika tidak ada Islam yang melarang
pembunuhan, pencurian, dan perampokan, pastilah orang-orang kaya perlu punya
banyak Satpam. Bila tidak Islam yang mengharamkan pelacuran, miras, perjudian,
narkoba, tentulah orang tua tidak akan bisa tidur nyenyak membiarkan anak
gadisnya tanpa penjagaan. Jika tidak ada Islam yang melarang tradisi kawin
inses (sesama saudara kandung), mengharamkan lesbianisme, korupsi, seperti apa
Indonesia hari ini?
Sayang sekali, jasa Islam ini
sering dilupakan kalau bukan dikhianati orang. Bangsa Indonesia belum pernah
secara obyektif mengakui dan kemudian mengoreksi kesalahannya. Ada banyak
alasan kondisional, dimana seseorang atau suatu bangsa terjerumus pada kesesatan
tanpa menyadari bahwa mereka tersesat jalan. Mereka rela berkorban apa saja,
demi bangsa, demi persatuan, demi hak asasi manusia, tanpa memahami bahwa itu
semua adalah sia-sia.
Korban Demokrasi
Mengapa ada di antara umat Islam
yang menolak syari’at Islam, dan sebaliknya menerima demokrasi sebagai sistem
kehidupan berbangsa dan bernegara? Inilah komunitas korban demokrasi, mereka
salah faham terhadap Islam, sehingga akibatnya melahirkan paham yang salah di
kalangan kaum Muslim. Masih terdapat politisi Muslim yang beranggapan Islam
tidak punya konsep ketatanegaraan, tidak memiliki konsep suksesi kepemimpinan
dan lain sebagainya, sehingga harus mengadopsi demokrasi.
Ibarat blangkon (topi budaya
Jawa), milik bangsa Indonesia, dipakai orang Belanda dengan modifikasi sesuai
budaya dan keinginan mereka. Lalu di bawa ke Indonesia dan dikatakan sebagai
budaya orang Belanda. Kita pun menyebutnya milik Belanda, padahal milik bangsa
Indonesia. Begitulah, umat Islam tertipu dan selalu menjadi korban penipuan.
Sebagian dari ciri-ciri pemimpin
dan masyarakat yang tertipu dan menjadi korban demokrasi dapat disebutkan
antara lain: Pertama, menolak formalisasi Syari’at Islam:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ (6)
“Di antara manusia ada yang
membuat cerita fiktif untuk menyesatkan manusia dari Islam. Orang itu
menjadikan Islam sebagai bahan ejekan. Mereka yang melakukan perbuatan semacam
itu mendapatkan adzab yang hina di akhirat.” (Qs. Luqman, 31: 6)
Menyikapi syari’ah Islam,
terdapat tiga kategori manusia. Ada di antara umat Islam yang komitmen dan
konsisten mengamalkan ajaran Islam. Tapi tidak sedikit orang yang hanya mengaku
beragama Islam tapi menganut ideologi yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Kemudian, ada juga manusia yang ahli agama Islam tapi membelokkan kebenaran
Islam demi kepentingan duniawi. Mereka ini saling memanfaatkan untuk interes
masing-masing. Penguasa berkepentingan memperalat tokoh agama, dijadikan alat
pembenaran terhadap kezalimannya; sementara tokoh-tokoh agama berlindung di
balik kekuasaan untuk meraih popularitas serta kepentingan dunia.
Akibatnya, musuh Islam tidak lagi
memperhitungkan eksistensi mereka. Mereka telah terbuai dengan kemewahan dan
kesenangan dunia, sehingga takut menghadapi musuh-musuh Islam karena khawatir
akan kehilangan harta benda, kedudukan, atau kenikmatan yang telah diperoleh.
Musuh-musuh Islam merajalela
melakukan berbagai kemungkaran di negeri-negeri Islam, seperti membebaskan
adanya minuman keras, pelacuran, dan berbagai kemaksiatan lainnya yang merusak
akhlak masyarakat. Mengimpor budaya mungkarat seperti Miss World dll. Kenyataan
ini secara perlahan-lahan menghancurkan kekuatan kaum Muslim di negerinya
sendiri.
Indikasi korban demokrasi yang
kedua, adalah talbisul iblis, yaitu mensinergikan antara yang haq dan bathil.
Oplos kebenaran dan kebathilan merupakan program syetan. Oleh karena itu Islam
dengan tegas menolak sinergitas kontroversial ini.
Pertarungan antara yang haq dan
bathil merupakan sunatullah. Sedangkan upaya mensinergikan antara keduanya,
adalah program syetan. Oleh karena itu Islam dengan tegas menolak oplos
kebenaran dan kebathilan sebagaimana firman-Nya:
وَلَا
تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(42)
“Wahai Bani Israil, janganlah
kalian mengubah kebenaran kenabian Muhammad dalam Taurat dan Injil dengan cara
memasukkan perkataan dusta ke dalam kitab-kitab Allah itu. Janganlah kalian
menyembunyikan kebenaran kenabian Muhammad, padahal kalian mengetahui dosa atas
pemalsuan itu.” (Qs. Al-Baqarah, 2: 42)
Sebagai Muslim, memang benar
mereka menganut Islam sebagai agamanya, tetapi pada saat yang sama mereka juga
menganut ideologi kaum yang dimurkai Allah seperti demokrasi, sekularisme,
nasionalisme, komunisme, dan yang semacamnya. Sehingga atas nama ideologi
mereka menggunakan lisan, tulisan, dan perbuatan untuk menyesatkan manusia dari
jalan Allah.
Proses syetanisasi di negeri ini,
tidak hanya dimonopoli orang kafir, tetapi berlangsung secara legal, formal,
dan konstitusional. Seperti dikatakan sekte JIL (Jaringan Islam Liberal), “Kita
menerima ideologi demokrasi, karena demokrasi mensinergikan antara yang baik
dan buruk, halal dan haram.” Kelompok anti syari’ah Islam meyakini bahwa
demokrasi lebih tepat bagi bangsa Indonesia, karena bisa mensinergikan antara
halal dan haram sesuai kebutuhan. Akibatnya muncul sikap ambivalen dan munafik.
Ketiga, merusak tapi merasa
memperbaiki. Adanya teknokrat, tokoh agama yang melakukan kerusakan tapi
mengklaim diri melakukan perbaikan demi pembangunan.
Firman Allah:
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
(11) أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ (12)
“Apabila orang mukmin berkata
kepada orang-orang munafik: “Janganlah kalian menyesatkan manusia di muka bumi
dengan cara menimbulkan keraguan kepada Islam,” mereka menjawab: “Sesungguhnya
kami justru mengajak manusia berbuat kebaikan.” Wahai Muhammad, ketahuilah
bahwa orang-orang munafik itu sebenarnya adalah orang-orang yang melakukan
perbuatan menyesatkan manusia di muka bumi, tetapi mereka tidak menyadari.”
(Qs. Al Baqarah, 2: 11-12)
Apabila manusia melakukan
kesesatan ideologi, umumnya mereka merasa benar, karena itu tidak bersedia
mengoreksi kesesatan atau kesalahannya. Bahkan kesalahan dan kesesatannya
dipaksakan untuk jadi jalan hidup serta nilai-nilai kehidupan. Terdapat banyak
kondisi dan situasi dimana seseorang menyimpang dari kebenaran, tanpa
mengetahui bahwa dirinya sedang tersesat jalan. Al-Qur’an menginformasikan
betapa canggihnya para penyesat, sehingga mereka yang disesatkan tidak
menyadarinya.
Misalnya, untuk mengantisipasi
anak pinak pelacur, dibangunlah lokalisasi pelacuran, termasuk lokalisasi judi.
Supaya para gadis tidak hamil akibat seks bebas, seorang menteri menganjurkan
penggunaan kondom. Mereka mengatasi kemungkaran dengan cara mungkar.
Keempat, menyerahkan kepemimpinan
pada tokoh yang menyeru ke neraka. Di dalam Al-Qur’an disebutkan, model
kepemimpinan di dunia ini ada dua, yaitu pemimpin yang mengajak kepada Nuur dan
pemimpin yang mengajak kepada Naar.
Pemimpin yang mengajak pada Nuur
(cahaya/petunjuk), disebutkan dalam Qs. Al-Anbiyaa, 21: 73:
وَجَعَلْنَاهُمْ
أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ
وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ (73)
“Kami jadikan masing-masing
mereka sebagai pemimpin yang memberikan petunjuk kepada manusia dengan izin
Kami. Kami perintahkan kepada mereka untuk melakukan amal-amal shalih,
menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Mereka semua senantiasa taat kepada
Allah.”
Adapun pemimpin yang mengajak
pada Naar (api/kesesatan), dinyatakan oleh Allah sebagai sumber malapetaka:
وَجَعَلْنَاهُمْ
أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ (41)
وَأَتْبَعْنَاهُمْ فِي هَذِهِ الدُّنْيَا لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ هُمْ
مِنَ الْمَقْبُوحِينَ (42)
“Kami telah menjadikan Fir’aun
dan para pembesarnya sebagai para pemimpin yang mengajak manusia ke neraka.
Pada hari kiamat kelak, mereka tidak akan mendapatkan penolong dari siksa
neraka. Kami timpakan laknat kepada Fir’aun dan para pembesarnya di dunia ini.
Pada hari kiamat kelak, mereka termasuk orang-orang yang diadzab di neraka.”
(Qs. Al-Qashash, 28: 41-42)
Bermunculan pimpinan parpol,
berburu nasib jadi capres-cawapres 2014. Mereka berlomba perbaiki citra,
berebut popularitas, justru dengan merusak masyarakat. Bukan saja menjadi
importir ideologi bathil, tapi juga budaya mungkar, ekonomi kapitalis, seni
maksiat, yang akan menjauhkan masyarakat dari rahmat Ilahy.
Fenomena para tokoh Jalut, penguasa
zalim yang mengaku menegakkan keadilan, kini bermunculan di pentas politik
nasional. Jalut, disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 247, sebagai
pemimpin zalim, memeras rakyat dan kepentingan negara untuk kepentingan diri
dan kelompoknya, di zaman nabi Dawud ‘alaihissalam. Lawan politiknya adalah
Thalut, seorang pemimpin sederhana, tetapi memiliki kapabilitas intelektual dan
kekuatan fisik, yang didukung oleh nabi Dawud sekalipun ditolak oleh ulama bani
Israil.
وَقَالَ
لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا
أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ
وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ
وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ
يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (247)
“Nabi Bani Israil berkata kepada
mereka: “Allah telah mengutus Thalut kepada kalian untuk menjadi raja kalian.”
Bani Israil berkata: “Bagaimana Thalut dapat menjadi raja bagi kami, padahal
kami lebih berhak atas jabatan raja itu daripada dia, karena Thalut tidak
mempunyai kekayaan apa-apa.” Nabi Bani Israil berkata: “Sungguh Allah telah
memilih Thalut untuk menjadi raja bagi kalian. Allah memberinya keluasan ilmu
dan kekuatan tubuh. Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Allah Mahaluas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui kelemahan
kalian.”
Di zaman sekarang, mekanisme
demokrasi memberi peluang munculnya pemimpin dengan karakter Thalut, pemimpin
yang adil, mengajak rakyatnya menuju surga. Indonesia Negara berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa, masyarakat Muslim mayoritas, kesempatan terbuka.
Pertanyaannya, adakah tokoh “Thalut” dari parpol Islam, ormas Islam, atau
kalangan independen yang memiliki kualitas basthatan fil ilmi wal jismi?
Kapasitas intelektual dan tubuh yang perkasa, ahli syari’ah Islam, pengetahuan
ketata negaraan mumpuni, mentalitas pemberani, akhlak terpuji, berwibawa dan
berpengaruh di bidang sosial kemasyarakatan.
Selama Jalutisme ini memegang
kendali kekuasaan, maka tidak akan ada perbaikan negara. Indonesia membutuhkan
kepemimpinan berkarakter Thalut: kuat, cerdas, pemberani dan bermoral.
Basthatan fil ilmi wal jismi! Tipe pemimpin seperti inilah yang dapat
diharapkan mampu menjalankan prinsip tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manutun
bi al-mashlahah (kebijakannya berorientasi untuk kemaslahatan umat), dan
menegakkan keadilan berlandaskan syari’at Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam bish shawab!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar