Mengkristenkan Jawa Melalui
Penetrasi Kebudayaan, Waspada! (voa)
Kenapa
Jawa menjadi sasaran empuk misionaris? Itu karena adanya upaya penetrasi
Katolik dalam kebudayaan Jawa. Strategi inkulturasi menjadi pola misionaris
mengkristenkan Jawa. Dan itu mendapat
restu dari Paus Yohannes Paulus II.
Hal itu mengemuka dalam
Musyarawarah Kerja dan Tasyakuran 10 Tahun INSISTS “Sinergi Membangun Peradaban
Islam”, beberapa waktu lalu di Solo. Arif Wibowo, Peneliti Pusat Studi Perdaban
Islam (PSPI) – network INSISTS di Solo – yang membawakan makalah berjudul
“Misionaris Kebudayaan: Penetrasi Katolik dalam Kebudayaan Jawa”, mengupas
tuntas Kristenisasi di Jawa dan strateginya.
Seperti diketahui, missionarisme
adalah denyut nadi utama bagi perkembangan agama Kristen maupun Katolik. Sebuah
dokumen The Decree on The Missionary Activity of The Church” (Ad Gantes)
menjelaskan, “dalam menjalankan misinya, gereja – apapun namanya – memiliki
tugas suci untuk menyebarkan Injil kepada seluruh bangsa dan seluruh manusia.
Sebab itu, semua manusia harus dijadikan Kristen dan menerima Yesus sebagai
juru selamatnya.” Dokumen ini disetujui
dengan voting para peserta konsili dengan suara 2.394 setuju dan 5 menolak, dan
diumumkan oleh Paus Paulus VI pada 18 November 1965.
Bahkan Paus John Paul II dalam
sebuah imbauannya, mengeluarkan fatwa gerejani agar kaum Katolik mengambil
tindakan untuk menyebarkan agama Katolik. Ia mengemukakan pentingnya untuk
melakukan Kristenisasi terhadap semua bagian dunia. Tanpa menyebut nama negara
secara langsung, Paus menyinggung negara-negara di Afrika, Timur Tengahm dan
Asia dimana para misionaris ditolak kehadirannya. Kepada mereka, Paus
menyerukan “Open the doors to Christ! (Bukalah pintu untuk Kristus!”
Kristen Jawa
Menurut Arif Wibowo, ada beberapa
faktor pemilihan budaya Jawa dijadikan sebagai objek evangelisasi atau
pewartaan Injil dalam gereja oleh para misionaris Kristen. Diantaranya,
orang-orang Jawa dikenal pada hal-hal yang berkecenderungan mistis (ngelmu
untuk memperoleh kebijaksanaan). Dari sini, ada kecenderungan untuk menerima
dan bersikap toleran terhadap ajaran lain.
Sikap toleran inilah yang
kemudian dimanfaatkan oleh misionaris Kristen. Sehingga tak heran, jika
pergantian agama bagi masyarakat Jawa bukan merupakan unsur penting selama
tidak menghilangkan substansi dasar kepercayaannya (pemujaan arwah leluhur).
Itulah sebabnya, jenis Islam yang berkembang di Jawa menyediakan lahan subur
bagi perkembangan agama Kristen dibandingkan dengan bentuk-bentuk Islam yang
ada di tempat lain.
Selain itu, kebudayaan Jawa yang
tidak terbungkus oleh agama, menjadikan masyarakat spiritual jawa mau menerima
dan masuk kedalam sebuah agama yang tidak kaku dan melarang kepercayaannya yang
cenderung sinkritisme.
Dijelaskan Arif, ada dua macam
penetrasi Kristen ke dalam masyarakat Jawa, yakni penerjemahan Alkitab ke dalam
bahasa Jawa dan pemakaian kebudayaan Jawa ke dalam praktik kekristenan.
Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jawa dilakukan oleh Johannes Emde di tahun
1811. Emde adalah seoerang Kristen Jerman yang tinggal di Surabaya dan
mengawini seorang perempuan Jawa. Emde kemudian membangun persekutuan di
Surabaya yang kemudian dikenal dengan nama “Keshalehan Surabaya”.
Adapun tokoh yang berperan
penting dalam perkembangan inkulturasi budaya Jawa dengan KeKristenan adalah
Coenraad Laurens Coolen. Dari ayahnya (asal Rusia berimigrasi ke Indonesia
sebagai prajurit upahan VOC) yang mewarisi nilai-nilai agama Kristen), dan
ibunya yang mewarisi ruh mistik dan kebudayaan Jawa, Coolen “mendakwahkan”
kepada kelompoknya bahwa untuk menjadi Kristen, mereka tidak harus meninggalkan
watak dan kebudayaan Jawa mereka. Karena itu Coolen tidak mengizinkan seorang pun dari mereka untuk
dibaptis.
Meniru Walisongo, dalam upaya
untuk men-Jawa-kan agama Kristen, Coolen memanfaatkan wayang untuk menceritakan
kisah-kisah Alkitab dan menyampaikan pesan-pesannya. Akibat pendekatan Coolen
kepada kebudayaan Jawa, beberapa komunitas Kristen yang dipimpin para penginjil
Jawa bermunculan. Diantar orang-orang Kristen Jawa itu adalah Singotruno,
Paulus Tosari, Matious Niep dan yang paling berpengaruh inilah yang belakang
berkembang dan disebut inkulturasi.
Ketika misionaris di Jawa
menerapkan strategi inkulturasi, para misionaris Eropa yang diwakili Frans Lion
Cachet (1835-1899) sangat menentang inkulturasi versi Sadrach. “Misi harus
memisahkan diri dari Sadrach si pembohong, yang meracuni bidang misi kita
sepenuhnya dan melahirkan sebuah agama Kristen Jawa yang sama sekali tidak
memberikan tempat bagi Kristus,” kata Frans.
Berbeda dengan Frans yang tidak
suka dengan inkulturasi misionaris di Jawa, Konsili Vatikan II justru memuji
konsep inkulturasi. Benhard Meyer SJ, mengemukakan: “Konsili Vatikan II secara
umum mengungkapkan penghargaan tinggi untuk karya seni dan para seniman,
khususnya kesenian sakral. Kesenian semua bangsa dan daerah, hendaknya diberi
keleluasaan dalam gereja.”
Pada tahun 1925 musik Jawa
pertama kali masuk dalam gereja-gereja sebagai lagu gereja. Perintis masuknya
lagu gereja dengan gamelan Jawa adalah C. Hardjosoebrata, dengan karangannya
antara lain: Atur Roncen, Sri Yesus Mustikeng Manis dan O Kawula Punika.
Saat ini inkulturasi sudah
menjadi denyut nadi utama dalam agama Katolik di Jawa. Beberapa praktik
inkulturasi tersebut antara lain:
Gereja Katolik Ganjuran
Yogyakarta dan Gereja Katolik San Inigo Dirjodipuran Surakarta dalam perayaan
ekaristinya menggunakan bahasa Jawa. Mulai dari do’a, bacaan Injil, homili atau
khutbah sampai do’a Syukur Agung.
Gereja Purbawardayan merupakan
salahsatu paroki di Kevikepan Surakarta yang sering menyelenggarakan perayaan
Natal dengan mengadakan pentas sendratari kelahiran Yesus. Bahkan pada tahun
1998 mengadakan pementasan Ketoprak. untuk saat ini, pementasan wayang. terutama wayang kulit dengan cerita penyaliban Yesus, sudah menjadi hal biasa di kalangan masyarakat Jawa Tengah.
Sendang Sono sebagai tempat
ziarah untuk berdevosi (kebaktian) kepada Bunda Maria pada mulanya adalah
tempat orang-orang Jawa dahulu bersemedi, untuk membuat keputusan-keputusan
penting dalam hidup mereka.
Dalam Pesta Intan Gereja Katolik
Ganjuran tanggal 27 Juni 1999, upacara adat Jawa “Gunungan” dimasukkan dalam
upacara gereja, yaitu setelah prosesi sakramen Maha Kudus. Selanjutnya gunungan
yang berisi hasil bumi dibagikan kepada umat, agar mendapat berkah yang
berlimpah dari Sang Maha Pencipta.
“Dengan demikian, proses inkulturasi
bukan sekedar peristiwa budaya, tapi juga peristiwa keagamaan. Dalam hal ini,
kita tidak dapat memisahkan inkulturasi dengan evangelisasi atau pewartaan
injil dalam gereja.”
Hal ini sesuai dengan amanat Paus
Yohannes Paulus II yang mengatakan: “Kristus dan gereja tidak boleh asing dari
suku, bangsa atau kebudayaan manapun. Pesan Kristus teruntuk semua kepada semua
orang…dimana saja berada. Gereja harus menanamkan akarnya dalam-dalam ke dalam
tanah rohani dan budaya setiap negeri.”@des
Tidak ada komentar:
Posting Komentar