Kamis, 14 Februari 2013

Siluman Rawa Onom Pulau Majeti (3)


Jendra Tersesat di Kerajaan Rawa Onom Karena Langgar Pantangan

Setelah menolong gadis putri kerajaan Siluman Rawa Onom Indangwati yang terluka terkena panah Majikannya, Jendra pergi meninggalkan gadis itu. Lantaran kesengseng dengan kecantikannya, Jendra kembali menengok kembali kearah Indangwati, akibatnya ia tersesat di alam siluman Rawa Onom.


Gadis itu sadar akan posisinya, maka sepasang tangannya yang mungil halus segera melindungi sepasang buah dadanya yang ranum. Jendra bergetar malu. Dia menunduk lama-lama. Lama saling berdiam diri, Akhirnya Jendra berani buka percakapan. "Mari ku antar ke rumahmu, Nyai ..." katanya bangun dari duduknya. "Tidak perlu. Di saat suasana tak aman seperti ini, orang asing akan dicuriga masuk ke kampung kami. " "Tidak aman?" "Ya, engkau pulanglah dulu. Lain kali kita bertemu lagi, "sahut gadis itu sama-sama bangkit dari duduknya. "Maafkan kesalahan kami ..." gumam Jendra kembali menunduk.

"Mengapa engkau minta maaf ? Engkau bukan kelompok mereka, Kang. Asalkan engkau tak ikut-campur terhadap permasalahan yang tengah kami hadapi, maka kau tak punya salah apapun ... "kata gadis itu membingungkan perasaan Jendra. "Nyai ... engkau terluka oleh panah yang dilepas majikan saya, "kata Jendra mengaku terusterang.

"Apakah kau salah seorang ponggawa dari Kerajaan Galuh?" tanya gadis itu menatap curiga. "Pemerintah Galuh? Saya ini wong Dermayu. Majikan saya adalah Bendara Wedana Rancah, namanya Raden Bratanagara, "kata Jendra sambil seterusnya bertanya mengapa gadis itu menganggap dia orang Galuh.

"Kami tengah bercengkrama dengan para gadis di kampung ini. Lalu datang serangan dari para Prajurit Kerajaan Galuh. Kami dikejar hendak ditangkap, "tutur gadis manis berlesung pipit ini amat membingungkan Jendra.

"Sudahlah. Kau kembalilah ke kampung halamanmu, sebab teman-temanmu pasti menunggu lama. Tapi kalau kau kembali nanti, ingat-ingat, jangan tengok ke belakang. Paham? "Kata gadis itu. Setelah berpesan seperti itu, gadis itu melangkah pergi. Jendra terpana dan mencoba menahannya. "Namaku Nyai Indangwati. Nanti kita bertemu lagi, ya? " Gadis Indangwati berlari-lari kecil menjauhi Jendra dan menghilang di kelokan jalan setapak. Tinggallah Jendra mematung seorang diri. Sukma pemuda itu seperti terbetot ikut berlari kesana. Yang dia bayangkan adalah ikut lari-lari kecil di jalan setapak berhamparan lumut tebal sambil bergandengan tangan dengan ... siapa nama gadis itu? Oh, ya, Nyi Indangwati. Tapi dari kampung mana Nyi Indangwati? Ah, tololnya aku. Mengapa tak aku tanya sekalian alamatnya, tutur hati Jendra dengan penuh sesal dan penasaran.

Akhirnya pemuda itu balik melangkah dan berjalan pelan meninggalkan tempat yang nyaman dan asri itu. Memang bohong kata Mang Sajum. Tempat yang demikian asri dan indah ini dia sebutkan sebagai semak pekat yang penuh rawa. Padahal Lendra enak dan santai saja melangkah di hamparan rumput yang luas menghijau. Matahari pun terasa menyengat dengan hangatnya dan menyegarkan.Lendra berjalan sendirian. Di sepanjang yang dilalui, suasana indah belaka. Dia melirik ke kiri dan kanan.

Ada jajaran bunga indah beraneka warna di sana. Beberapa pohon rindang mengayomi keindahan bunga itu. Yang membuat Lendra serasa asing, tempat yang indah ini demikian heningnya. Tidak didengar suara apapun. Tidak juga suara kicauan burung atau serangga. Hanya deru napasnya saja yang dia dengar di sepanjang perjalanan ini. "Ah ... kalau saja Nyi Indangwati tetap bersamaku ..." keluh Lendra berandai-andai. Ingat Nyi Indangwati, maka segera pemuda itu memutar kepala ke belakang. Tempat itu masih indah namun sepi dari apapun, termasuk tak dilihatnya gadis manis itu. Maka kepala Lendra
kembali memutar ke depan. Dan di saat itu pulalah pandangan sekeliling berubah total. Tak ada dataran luas berhamparan rumput hijau. Tidak pula ada bunga-bunga indah. Yang
nampak di sekelilingnya hanyalah kekelaman belaka. Pepohonan tua dan besar bergayut dan
berjanggut. Kebisingan pun mendadak bergalau. Ada suara tokek, ada suara cengkerik dan
berbagai suara serangga lainnya. Beberapa bagian tubuh pemuda itu mulai diganggu belasan
atau bahkan puluhan nyamuk sebesar lalat. Satu ditepuk, datang yang lain. Begitu seterusnya
sehingga Lendra tak bisa memperhatikan jalanan di depannya. Maka akibatnya, pemuda itu
jalan ke mana saja. Setiap yang disangkanya jalan setapak, maka dia lalui. Namun sesudah
melangkah beberapa saat, jalan setapak itu tak tembus ke mana-mana, kecuali ke sebuah
pinggir tanah becek. Dan bila dia paksakan melangkah, maka tanah becek itu berubah menjadi
lembek, sehingga kakinya sebatas dengkul terbenam ke dalamnya.

Kini Lendra mulai panik. Kini pemuda itu mulai percaya kata-kata Mang Sajum, bahwa benar
belaka tempat itu penuh rawa. Tapi Lendra berpikir. Kalau Bendara Wedana mengajaknya
kesana, tentu tak semuanya merupakan daerah rawa. Binatang Menjangan, kancil atau
sebangsanya tak mungkin hidup di rawa-rawa.

"Harus ada bagian yang keras yang dihuni banyak binatang buruan ..." tutur Lendra dalam
hatinya. Maka dengan susah-payah, Lendra memilih-milih langkah. Sebelum menginjakkan
kaki, dia periksa dulu sekeliling. Bila ternyata bertanah lembek dan basah, maka dia urungkan
langkah. Tak terasa, hari sudah menjadi kelam. Sebetulnya sudah sejak tadi suasana kelam.
Hanya kali ini kekelaman sedikit demi sedikit mengarah ke kegelapan. Lendra sadar, tentu
hari akan segera malam.

Dan semakin ditunggu, suasana semakin gelap ini, sehingga anak muda itu akhirnya memilih naik ke atas dahan pohon. Jendra memilih istirahat di dahan pohon itu. Dia tak berani melanjutkan perjalanan di kala malam tiba. "Tapi mungkin Bendara bersama rombongan amat risau dengan keterlambatan ini ..." keluh Lendra sambil memeluk dahan pohon agar tak terpeleset jatuh.

Senja sudah berganti malam. Kini binatang malam mulai terdengar suaranya. Ada yang sudah
dia kenal sebelumnya. Tapi banyak juga suara-suara asing yang membuat bulu-kuduk berdiri.
Dari kejauhan terdengar suara lenguhan panjang. Seperti suara srigala tapi bukan itu.
Lenguhan ini terasa menyayat hati seperti orang lagi sedih. Lendra ingat, penduduk Rancah
pernah bilang di hutan-hutan Rancah ada sejenis binatang bernama aul. Aul itu bertubuh kera
berkepala seperti anjing. Maka bila berbunyi ada lolongan anjing tapi bukan persis suara
anjing. Itulah aul. @bersambung


Tidak ada komentar: