Wali
Sangha dan Tari Reog Ponoroga Sindiran Adipati Wengker Atas Sikap Prabu
Brawijaya
Oleh
: Damar Shashangka
Kesenian
yang kini dikenal sebagai Reog Ponoroga, merupakan sebuah sindiran atas prilaku
Raja Brawijaya terhadap berbagai kemudahan perkembangan islam di wilayah
kerajaan. Tarian Dhadak Merak atau Reog Ponoroga merupakan manifestasi
kebancian Raja yang digambarkan oleh Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker.
Hingga pada suatu ketika,
manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus menghadap ke
ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker
(Sekarang Ponorogo), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabu Raja Brawijaya.
Tarian ini masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun.
Tarian ini dimainkan dengan
menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang
berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak
diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi
oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti banci. (Sekarang dimainkan
oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang
Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan
Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.
Sang Prabhu takjub melihat tarian
baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan tarian tersebut, Ki
Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa
sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa :
Dhadhak
Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri.
Kepala
Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu.
Bulu-bulu
merak yang indah adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat
cantik, yaitu Dewi Anarawati.
Pasukan
banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras,
dan
Jathilan
adalah symbol dari Pejabat daerah.
Arti sesungguhnya adalah :
Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh Burung
Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung
Merak. Para Prajurid Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan
banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah
dibuat kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini
tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabu
Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang Islam yang kian membengkak di bumi
Nusantara!
Kesenian sindiran ini kemudian
hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO!
Mendengar kelancangan Ki Ageng
Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama para pengikutnya
segera meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan
perang dengan Majapahit!
Prabhu Brawijaya mengutus putra
selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin pasukan Majapahit, menggempur
Kadipaten Wengker!
Prabhu Brawijaya, menjanjikan
daerah `perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah otonom. Beliau menjanjikannya
kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta daerah Ampeldhenta(sekarang
didaerah Surabaya) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang Islam. Dan
disana, rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi
kaum muslim.
Begitu Prabhu Brawijaya
menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Negara, mengirim utusan ke
Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit
dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah
kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit
sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke Jawa.
Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid `Ali Murtadlo dan Sayyid `Ali Rahmad.
Sesampainya di Gresik, pelabuhan
Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir
yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat
muslim ini mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana
Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam
Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar `pasrah’ memeluk Islam.
Tentu saja, permintaan ini
ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada waktu itu karena dianggap lancang.
Namun, beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat
mempersilakan rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun
sayang, di Gresik, banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena
wabah penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Salah satunya
adalah santriwati Syeh Maulana Malik Ibrahim bernama Syarifah Muda’im binti Maimun.
(Sampai sekarang makamnya masih ada). Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim akhirnya
wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa muslim dengan
nama Sunan Gresik.
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau
Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan Dewan Wali
Sangha.
Sangha merupakan kata lain dari Perkumpulan
orang-orang suci. Sangha diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan
doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha
lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang diartikan Wali Sembilan.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar