Senin, 11 Februari 2013

Kiai Kholil Waliyullah Kesebelas Tanah Jawa (2)


Menembus Ka’bah

Kiai Kholil mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat. "Muntaha, coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu". Betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat dinding itu. Tak diduga, lubang kecil itu ternyata mampu melihat Ka'bah yang berada di Mekkah.


Bagi seorang seperti Kiai Kholik al Maduri karomah yang ditunjukkan biasanya digunakan untuk menolong khalayak, dan itu merupakan hal wajar.
Ada sebuah kisah yang diambil dari penuturan Kiai Muntaha. Kiai Muntaha adalah anak menantu dari Kiai Kholil. Saat itu Muntaha sedang membangun sebuah masjid di lokasi pesantrennya. Bangunan masjid itu hamper rampung secara keseluruhan. Sebagai seorang alim, Kiai Muntaha sebelum membangun masjidnya, telah didahului dengan perencanaan yang sangat matang. Termasuk tidak mau nantinya melenceng sedikitpun dari tuntunan syariat Islam. Begitu juga dengan tata letak dan posisi masjid yang telah diperhitungkan telah tepat mengarah ke kiblat.
Menurut Kiai Muntaha, masjid yang hampir rampung itu sudah sedemikian tepat, sehingga tinggal menunggu peresmiannya saja sebagai masjid kebanggaan pesantren.
Suatu hari, masjid yang hampir rampung itu dilihat oleh Kiai Kholil, menurut pandangan Kiai Kholil, ternyata masjid itu terdapat kesalahan dalam posisi kiblat.
"Muntaha, arah kiblat masjidmu ini masih belum tepat, ubahlah!" ucap Kiai Kholil mengingatkan mantunya yang alim itu.
Sebagai seorang alim, Kiai Muntaha tidak percaya begitu saja kepada Kiai Kholil yang juga mertuanya. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk memperkuat pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar.
Melihat menantunya tidak ada tanda-tanda menerima nasehatnya bahkan beradu argument dengannya, Kiai Kholil tersenyum sambil berjalan ke arah masjid. Sementara Kiai Muntaha mengikutinya dari arah belakangnya.
Sesampainya di ruang pengimaman, Kiai Kholil mengambil sebatang kayu kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat.
"Muntaha, coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu?" kata Kiai Kholil dengan nada menyuruh Muntaha.
Kiai Kholil sambil memperhatikan menantunya bergegas mendekatkan matanya ke lubang di dinding itu. Betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat lubang kecil dinding itu. Tak diduganya, lubang yang kecil itu ternyata mampu melihat Ka'bah yang berada di Mekkah.
Penglihatan Ka’bah dapat dilihat dengan jelas di hadapannya. Kiai Muntaha tidak percaya, digosoknya matanya beberapa kali dan kembali melihat ke dalam lubang kecil buatan mertuanya. Namun tetap saja ia melihat Ka’bah yang tidak simetrius dari arah pengimanan masjid yang dibuatnya.
Maka, sadarlah Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat Masjid yang diyakininya benar selama ini ada kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata terlalu miring ke kanan. Kiai Kholil benar. Sejak saat itu, langsung Kiai Muntaha mau mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat dalam lubang tadi.

Sholat Tertawa
Kholil muda, pernah berguru kepada seorang Kiai Langitan, Tuban, Jawa Timur, yaitu berguru kepada Kiai Noer. Walau Kholil masih tergolong muda, namun ilmu yang difahaminya sudah demikian tinggi, terutama tentang ilmu kasaf, atau pembukaan pikiran. Kholil mampu melihat pikiran orang lain dengan begitu tepatnya.
Seperti biasanya kehidupan  pesantren dimanapun juga hingga saat ini tidaklah berbeda. Kewajiban melakukan sholat berjamaah, memang merupakan keharusan bagi para santri. Ditengah kekhusukan jama'ah sholat, tiba-tiba Kholil tertawa terbahak-bahak. Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah. Demikian juga dengan Kiai Noer. Dengan kening berkerut, kiai bertanya seusai memimpin sholat berjamah.  
"Kholil, kenapa waktu sholat tadi, kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu bahwa itu mengganggu kekhusukan sholat dan membuat sholat kamu tidak syah?”, kata Kiai Noer.
Ditanya demikian, Kholil muda menjawab dengan tenang, "Maaf, Kiai. Begini Kiai, waktu sholat tadi saya melihat Kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul, karena itu saya tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi. Salahkah yang saya lihat itu, kiai?" Jawab Kholil muda dengan mantap dan tetap sopan.
Kiai Muhammad Noer terkejut. Jawaban Kholil ternyata menyingkap alam pikirannya ketika saat melakukan takbir. Santri baru itu dapat membaca apa yang terlintas di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk dengan tenang sambil menerawang lurus ke depan, serta merta berbicara kepada santri Kholil.
"Kau benar anakku, saat mengimami sholat tadi perut saya memang sedang lapar. Yang terbayang dalam pikiran saya saat itu, memang hanya nasi, anakku," ucap Kiai Muhammad Noer secara jujur.
Sejak kejadian itu kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di pesantren Langitan, tetapi juga menyebar hingga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karena itu, setiap kiai dirinya datang di sebuah pesantren atau berguru kepada para Kiai di masanya,
Kholil muda, selalu dapat dipastikan mendapatkan perlakuan istimewa dari guru-gurunya. Hal itu terjadi lantaran dirinya memiliki keistimewaan sebagai ulama besar dikemudian hari.
Kisahkan pula, suatu hari di bulan syawal, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya.
"Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok ini" kata Kiai Kholil sangat serius.
Para santri yang mendengar perintah gurunya itu serta merta sejak saat itu mempersiapkan diri dan serta merta melakukan penjagaan dan patrol keliling areal pesantren dengan sangat ketat dan bergiliran.
Hari demi hari berlalu setelah perintah Kiai Kholil, namun belum juga ada tanda-tanda harimau atau macan yang menyatroni pesantren mereka. Walau begitu, para santri tidak hendak mengendurkan penjagaannya apalagi sampai lengah dalam mengawasi setiap sudut, pojok pesantren. Lokasi pesantren Kiai Kholil sendiri  waktu itu, sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker.
Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus tidak seberapa tinggi bertubuh kuning langsap sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, pemuda itu mengucap salam, "Assalamu'alaikum," ucapnya agak pelan dan sopan.
Mendengar salam itu, bukannya jawaban salam yang diterima, tetapi kiai malah berteriak memanggil santrinya, “Hei ... santri, santri semua, ada macan ... macan ... ayo kita kepung. Jangan sampai masuk pondok," seru Kiai Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar teriakan Kiai, kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa saja yang ada, seperti pedang, celurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah.
Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya pemuda itu mencoba datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren langsung disong-song dengan usiran santri ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya , baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari.
Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau. Secara tidak diduga, tengah malam, Kiai Kholil datang dan membangunkannya, karuan saja dia dimarahi habis-habisan.
Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan, baru pemuda itu lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah, seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat dan pembaharu pemikiran.
Kehadiran KH. Wahab Hasbullah dimana-mana selalu berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang disyaratkan Kiai Kholil.

Menolong Jamaah Haji
Kejadian ini terjadi pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu merupakan satu-satunya angkutan yang haji menuju Makkah. Saat itu semua penumpang calon haji telah naik ke kapal dan bersiap-siap untuk berangkat. Tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya, "Pak tolong, saya belikan buah anggur, saya ingin sekali," ucap si istri kepada suaminya dengan memelas.
"Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur". Jawab si suaminya dengan bergegas keluar dari kapal.
Setelah suaminya keluar mencari buah anggur pesanan sang istri di sekitar anjungan kapal namun saying nampaknya si suami tidak menemukan pedagang anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya keluar area pelabuhan dan masuk ke sebuah pasar. Untuk memenuhi permintaan istrinya tercinta.
Dan, meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal laut untuk menemui istrinya. Namun betapa terkejutnya sesampai ke anjungan kapal. Ternyata kapal yang hendak mengantarnya merlaksanakan rukun haji ke 5 itu telah meninggalkan Dermaga Tanjung Perak Surabaya.
Pandangannya menerawang ke arah kapal yang akan ditumpanginya. Kapal itu semakin lama semakin menjauh membawa istrinya dan meninggalkan dirinya di dermaga. Semakin lama kapal tersebut semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba seorang laki-laki yang tidak dikenalnya datang menghampira. Seolah mengetahui kekalutan dan kesedihan hatinya, lelaki tersebut memberikan nasehat, "Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!" ucapnya dengan tenang.
"Kiai Kholil?" pikirnya. "Siapa dia? Apa ia harus kesana? bisakah dia menolong ketertinggalan saya dari kapal?" begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
"Segeralah ke Kiai Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, Insyaallah." Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah si suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya, "Ada kebutuhan apa?"
Lalu, sang suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata, "Lho ... ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan, sana ... pergi ". Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan, dia bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil. Orang tersebut bertanya, “Bagaimana? Sudah ketemu Kiai Kholil?"
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan," katanya dengan nada putus asa.
"Kembali lagi, kembali lagi temui Kiai Kholil!" ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itu pun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali.
Baru setelah ketiga kalinya, Kiai Kholil berucap, "Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan".
"Terimakasih Kiai," kata sang suami melihat secercah harapan.
"Tapi ada syaratnya," ucap Kiai Kholil.
"Saya akan penuhi semua syaratnya." Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Kiai berpesan, "Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampeyan ceritakan pada orang lain, kecuali saya sudah meninggal, apakah sampeyan sanggup?" pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
"Sanggup Kiai," jawabnya spontan.
"Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu. Pejamkan matamu rapat-rapat," kata Kiai Kholil.
Lalu, sang suami melaksanakan perintah Kiai dengan patuh, setelah beberapa menit berlalu dibukanya matanya dengan pelan-pelan.
Betapa terkejutnya ia melihat apa yang di hadapannya, ia sedang berada di atas kapal laut yang sedang berjalan. Takjub, heran bercampur jadi satu, seakan tak percaya apa yang sedang dilihatnya. Digosok-gosokkan matanya, dicubit lengannya. Apa yang ia alami itu ternyata benar sebuah kenyataan, bukan mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal.
Segara ia ditemui istrinya di salah satu ruang kapal. "Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,"dengan senyum yang hanya ia seorang yang mengetahui maknanya. Tentu saja dengan Kiai Kholil si manusia waliyullah paling terkenal dimasanya.
Lelaki itu ternyata berada di ruang bawah kapal atau ruang mesin kapal setelah membuka matanya. Menurut lelaki itu, dirinya hanya beberapa saat memejamkan matanya di hadapan Kiai Kholil. Terkait permintaan buah anggur istrinya, sebenarnya ia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali dialaminya bahkan mungkin hanya sekali dalam hidupnya.
Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadari bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.@bersambung

Tidak ada komentar: