Menembus Ka’bah
Kiai Kholil
mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat.
"Muntaha, coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu".
Betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat dinding itu. Tak diduga, lubang
kecil itu ternyata mampu melihat Ka'bah yang berada di Mekkah.
Bagi
seorang seperti Kiai Kholik al Maduri karomah yang ditunjukkan biasanya digunakan
untuk menolong khalayak, dan itu merupakan hal wajar.
Ada
sebuah kisah yang diambil dari penuturan Kiai Muntaha. Kiai Muntaha adalah anak
menantu dari Kiai Kholil. Saat itu Muntaha sedang membangun sebuah masjid di
lokasi pesantrennya. Bangunan masjid itu hamper rampung secara keseluruhan. Sebagai
seorang alim, Kiai Muntaha sebelum membangun masjidnya, telah didahului dengan
perencanaan yang sangat matang. Termasuk tidak mau nantinya melenceng
sedikitpun dari tuntunan syariat Islam. Begitu juga dengan tata letak dan
posisi masjid yang telah diperhitungkan telah tepat mengarah ke kiblat.
Menurut
Kiai Muntaha, masjid yang hampir rampung itu sudah sedemikian tepat, sehingga
tinggal menunggu peresmiannya saja sebagai masjid kebanggaan pesantren.
Suatu
hari, masjid yang hampir rampung itu dilihat oleh Kiai Kholil, menurut
pandangan Kiai Kholil, ternyata masjid itu terdapat kesalahan dalam posisi
kiblat.
"Muntaha,
arah kiblat masjidmu ini masih belum tepat, ubahlah!" ucap Kiai Kholil
mengingatkan mantunya yang alim itu.
Sebagai
seorang alim, Kiai Muntaha tidak percaya begitu saja kepada Kiai Kholil yang
juga mertuanya. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk memperkuat
pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar.
Melihat
menantunya tidak ada tanda-tanda menerima nasehatnya bahkan beradu argument
dengannya, Kiai Kholil tersenyum sambil berjalan ke arah masjid. Sementara Kiai
Muntaha mengikutinya dari arah belakangnya.
Sesampainya
di ruang pengimaman, Kiai Kholil mengambil sebatang kayu kecil kemudian
melubangi dinding tembok arah kiblat.
"Muntaha,
coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu?" kata Kiai
Kholil dengan nada menyuruh Muntaha.
Kiai
Kholil sambil memperhatikan menantunya bergegas mendekatkan matanya ke lubang di
dinding itu. Betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat lubang kecil dinding
itu. Tak diduganya, lubang yang kecil itu ternyata mampu melihat Ka'bah yang
berada di Mekkah.
Penglihatan
Ka’bah dapat dilihat dengan jelas di hadapannya. Kiai Muntaha tidak percaya,
digosoknya matanya beberapa kali dan kembali melihat ke dalam lubang kecil
buatan mertuanya. Namun tetap saja ia melihat Ka’bah yang tidak simetrius dari
arah pengimanan masjid yang dibuatnya.
Maka,
sadarlah Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat Masjid yang diyakininya benar
selama ini ada kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata terlalu
miring ke kanan. Kiai Kholil benar. Sejak saat itu, langsung Kiai Muntaha mau
mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat dalam lubang
tadi.
Sholat Tertawa
Kholil
muda, pernah berguru kepada seorang Kiai Langitan, Tuban, Jawa Timur, yaitu
berguru kepada Kiai Noer. Walau Kholil masih tergolong muda, namun ilmu yang
difahaminya sudah demikian tinggi, terutama tentang ilmu kasaf, atau pembukaan
pikiran. Kholil mampu melihat pikiran orang lain dengan begitu tepatnya.
Seperti
biasanya kehidupan pesantren dimanapun
juga hingga saat ini tidaklah berbeda. Kewajiban melakukan sholat berjamaah,
memang merupakan keharusan bagi para santri. Ditengah kekhusukan jama'ah
sholat, tiba-tiba Kholil tertawa terbahak-bahak. Karuan saja, hal ini membuat
santri lain marah. Demikian juga dengan Kiai Noer. Dengan kening berkerut, kiai
bertanya seusai memimpin sholat berjamah.
"Kholil,
kenapa waktu sholat tadi, kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu bahwa itu
mengganggu kekhusukan sholat dan membuat sholat kamu tidak syah?”, kata Kiai
Noer.
Ditanya
demikian, Kholil muda menjawab dengan tenang, "Maaf, Kiai. Begini Kiai,
waktu sholat tadi saya melihat Kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul, karena
itu saya tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi. Salahkah yang saya lihat itu,
kiai?" Jawab Kholil muda dengan mantap dan tetap sopan.
Kiai
Muhammad Noer terkejut. Jawaban Kholil ternyata menyingkap alam pikirannya
ketika saat melakukan takbir. Santri baru itu dapat membaca apa yang terlintas
di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk dengan tenang sambil menerawang lurus ke
depan, serta merta berbicara kepada santri Kholil.
"Kau
benar anakku, saat mengimami sholat tadi perut saya memang sedang lapar. Yang
terbayang dalam pikiran saya saat itu, memang hanya nasi, anakku," ucap
Kiai Muhammad Noer secara jujur.
Sejak
kejadian itu kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di
pesantren Langitan, tetapi juga menyebar hingga sampai ke pesantren lain di
sekitarnya. Karena itu, setiap kiai dirinya datang di sebuah pesantren atau
berguru kepada para Kiai di masanya,
Kholil
muda, selalu dapat dipastikan mendapatkan perlakuan istimewa dari guru-gurunya.
Hal itu terjadi lantaran dirinya memiliki keistimewaan sebagai ulama besar
dikemudian hari.
Kisahkan
pula, suatu hari di bulan syawal, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil
santri-santrinya.
"Anak-anakku,
sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu
gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok
ini" kata Kiai Kholil sangat serius.
Para
santri yang mendengar perintah gurunya itu serta merta sejak saat itu
mempersiapkan diri dan serta merta melakukan penjagaan dan patrol keliling
areal pesantren dengan sangat ketat dan bergiliran.
Hari
demi hari berlalu setelah perintah Kiai Kholil, namun belum juga ada
tanda-tanda harimau atau macan yang menyatroni pesantren mereka. Walau begitu,
para santri tidak hendak mengendurkan penjagaannya apalagi sampai lengah dalam
mengawasi setiap sudut, pojok pesantren. Lokasi pesantren Kiai Kholil sendiri waktu itu, sebelah timur Bangkalan memang terdapat
hutan-hutan yang cukup lebat dan angker.
Hari
demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu
belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang
pemuda kurus tidak seberapa tinggi bertubuh kuning langsap sambil menenteng
kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, pemuda itu mengucap
salam, "Assalamu'alaikum," ucapnya agak pelan dan sopan.
Mendengar
salam itu, bukannya jawaban salam yang diterima, tetapi kiai malah berteriak
memanggil santrinya, “Hei ... santri, santri semua, ada macan ... macan ... ayo
kita kepung. Jangan sampai masuk pondok," seru Kiai Kholil bak seorang
komandan di medan perang.
Mendengar
teriakan Kiai, kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa
saja yang ada, seperti pedang, celurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda
yang baru datang tadi yang mulai nampak pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali
lari seribu langkah.
Namun
karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan
harinya pemuda itu mencoba datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren
langsung disong-song dengan usiran santri ramai-ramai. Demikian juga keesokan
harinya , baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki
pesantren secara diam-diam pada malam hari.
Karena
lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur
di bawah kentongan surau. Secara tidak diduga, tengah malam, Kiai Kholil datang
dan membangunkannya, karuan saja dia dimarahi habis-habisan.
Pemuda
itu dibawa ke rumah Kiai Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan,
baru pemuda itu lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda
itu bernama Abdul Wahab Hasbullah, seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat
dan pembaharu pemikiran.
Kehadiran
KH. Wahab Hasbullah dimana-mana selalu berwibawa dan disegani baik kawan maupun
lawan bagaikan seekor macan, seperti yang disyaratkan Kiai Kholil.
Menolong Jamaah Haji
Kejadian
ini terjadi pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu merupakan satu-satunya
angkutan yang haji menuju Makkah. Saat itu semua penumpang calon haji telah naik
ke kapal dan bersiap-siap untuk berangkat. Tiba-tiba seorang wanita berbicara
kepada suaminya, "Pak tolong, saya belikan buah anggur, saya ingin sekali,"
ucap si istri kepada suaminya dengan memelas.
"Baik,
kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur".
Jawab si suaminya dengan bergegas keluar dari kapal.
Setelah
suaminya keluar mencari buah anggur pesanan sang istri di sekitar anjungan
kapal namun saying nampaknya si suami tidak menemukan pedagang anggur
seorangpun. Akhirnya dicobanya keluar area pelabuhan dan masuk ke sebuah pasar.
Untuk memenuhi permintaan istrinya tercinta.
Dan,
meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang
suami mendapatkan anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal
laut untuk menemui istrinya. Namun betapa terkejutnya sesampai ke anjungan
kapal. Ternyata kapal yang hendak mengantarnya merlaksanakan rukun haji ke 5
itu telah meninggalkan Dermaga Tanjung Perak Surabaya.
Pandangannya
menerawang ke arah kapal yang akan ditumpanginya. Kapal itu semakin lama
semakin menjauh membawa istrinya dan meninggalkan dirinya di dermaga. Semakin
lama kapal tersebut semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia
duduk termenung tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Di
saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba seorang laki-laki yang tidak
dikenalnya datang menghampira. Seolah mengetahui kekalutan dan kesedihan
hatinya, lelaki tersebut memberikan nasehat, "Datanglah kamu kepada Kiai
Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!" ucapnya
dengan tenang.
"Kiai
Kholil?" pikirnya. "Siapa dia? Apa ia harus kesana? bisakah dia
menolong ketertinggalan saya dari kapal?" begitu pertanyaan itu
berputar-putar di benaknya.
"Segeralah
ke Kiai Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami,
Insyaallah." Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa
pikir panjang lagi, berangkatlah si suami yang malang itu ke Bangkalan.
Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya, "Ada
kebutuhan apa?"
Lalu,
sang suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga
datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata, "Lho ... ini bukan urusan
saya, ini urusan pegawai pelabuhan, sana ... pergi ". Lalu suami itu
kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya
di pelabuhan, dia bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke
Kiai Kholil. Orang tersebut bertanya, “Bagaimana? Sudah ketemu Kiai Kholil?"
“Sudah,
tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan," katanya dengan nada putus asa.
"Kembali
lagi, kembali lagi temui Kiai Kholil!" ucap orang yang menasehati dengan
tegas tanpa ragu.
Maka
sang suami yang malang itu pun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya
sampai berulang kali.
Baru
setelah ketiga kalinya, Kiai Kholil berucap, "Baik kalau begitu, karena
sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan".
"Terimakasih
Kiai," kata sang suami melihat secercah harapan.
"Tapi
ada syaratnya," ucap Kiai Kholil.
"Saya
akan penuhi semua syaratnya." Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu
Kiai berpesan, "Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan
sampeyan ceritakan pada orang lain, kecuali saya sudah meninggal, apakah
sampeyan sanggup?" pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
"Sanggup
Kiai," jawabnya spontan.
"Kalau
begitu ambil dan pegang anggurmu. Pejamkan matamu rapat-rapat," kata Kiai
Kholil.
Lalu,
sang suami melaksanakan perintah Kiai dengan patuh, setelah beberapa menit
berlalu dibukanya matanya dengan pelan-pelan.
Betapa
terkejutnya ia melihat apa yang di hadapannya, ia sedang berada di atas kapal
laut yang sedang berjalan. Takjub, heran bercampur jadi satu, seakan tak
percaya apa yang sedang dilihatnya. Digosok-gosokkan matanya, dicubit
lengannya. Apa yang ia alami itu ternyata benar sebuah kenyataan, bukan mimpi,
dirinya sedang berada di atas kapal.
Segara
ia ditemui istrinya di salah satu ruang kapal. "Ini anggurnya, dik. Saya
beli anggur jauh sekali,"dengan senyum yang hanya ia seorang yang
mengetahui maknanya. Tentu saja dengan Kiai Kholil si manusia waliyullah paling
terkenal dimasanya.
Lelaki
itu ternyata berada di ruang bawah kapal atau ruang mesin kapal setelah membuka
matanya. Menurut lelaki itu, dirinya hanya beberapa saat memejamkan matanya di hadapan
Kiai Kholil. Terkait permintaan buah anggur istrinya, sebenarnya ia baru saja
mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali dialaminya bahkan
mungkin hanya sekali dalam hidupnya.
Terbayang
wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadari bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya
dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat
luar biasa.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar