Senin, 25 Februari 2013

Siluman Rawa Onom Pulau Majeti (4)


Jendra, Tujuh Hari Setelah Tersesat Pulang Sebagai Mayat Hidup

Dalam ketersesatannya di Kerajaan Siluman Rawa onom, Jendra mendengar suara perang antara lasykar Siluman Rawa Onom melawan pasukan Kerajaan Galuh. Rasa takut bercampur ingin tahu membuatnya memanjat sebatang pohon hingga di cabang yang paling tinggi, guna mengetahui serunya peperangan. Saat Pulang, dirinya dianggap hantu gentayangan.

"aul itu binatang siluman," kata Mang Sajum suatu kali. Buktinya siluman, sebab aul tak
menampakkan diri di hadapan orang banyak. Tak seperti harimau atau macan tutul misalnya.

Kendati mereka tak suka berhadapan, namun kerap terjadi bentrok antara manusia dengan
mereka. Sementara dengan mahluk bernama aul, jarang ada orang yang pernah bersua. Kapan
pun ada yang mengaku pernah bertemu, itu di keremangan malam saja, di mana binatang aul
hanya sayup-sayup terlihat bayangannya. Dia berjalan dan sedikit meloncat-loncat dan
melolong-lolong menyedihkan. Maka ketika mendengar lolongan sedih itu, Lendra cepat
menduga kalau itu adalah suara aul.

Berbahayakah binatang itu? Jendra tak persis tahu sebab Mang Sajum tak sampai
menerangkannya sejauh itu. Hanya saja Mang Sajum pernah bilang, kalau aul mengeluarkan
lolongnya yang menyedihkan, pertanda memang ada sesuatu hal yang menyedihkan. Ketika
dulu Gunung Galunggung meletus hebat, sebelumnya didengar lolongan aul.

Ketika banyak korban jiwa berjatuhan, lolongan sedih binatang misterius itupun terdengar di hutan-hutan Rancah. Hal menyedihkan apakah kini yang akan terjadi sementara lolongan binatang itu terdengar lagi, pikir Jendra. "Yang jelas, tak ada kesedihan di sini, apalagi di hatiku ..." kata Jendra dalam hatinya. Penyebabnya hanya satu. Dia bersua dengan gadis cantik kendati masih dianggap misterius.

Ya, ini sungguh misterius. Pertama ada rombongan gadis cantik, namun para pemburu di
bawah pimpinan Bendara Wedana menganggapnya sebagai rombongan sekelompok
Menjangan. Lalu Bendara Wedana melepas busur panahnya mengarah nyawa Nyi Indangwati
dan Jendra memburunya untuk memberikan pertolongan. Sedangkan Jendra mencoba
mengobati luka gadis itu, segalanya indah, segalanya mendebarkan. Tapi itulah kegembiraan
di hatinya.

Ada bunga-bunga mekar dan semua membuat keindahan pada hidupnya.
"Jadi, kenapa pula ada lolongan sedih dari mahluk misterius bernama aul?" pikir pemuda itu.
Jendra terus mendengarkan lolongan dan lenguhan sedih itu. Sampai pada suatu ketika,
sayup-sayup didengarnya suara bentrokan senjata. Jendra terperangah. Ada pertempuran di
sekitar sini. Ya, jelas sekali terdengar suara beradunya senjata tajam. Seperti ada benturan
pedang dengan pedang, gada dengan gada, bahkan ada desingan anak-panah yang dilepas
jauh-jauh.

"Siapakah yang melakukan perang di sini?" pikir Jendra kaget dan heran.Untuk
membuktikannya, Jendra mencoba naik ke atas dahan paling atas. Mudah-mudahan dengan
cara itu dia bisa melihat sebuah lapangan yang dijadikan arena pertempuran misalnya.
Pemuda itu memutar kepala ke segala arah.

Namun aneh sekali, setelah dia naik ke bagian dahan paling atas, tidak didapat penglihatannya. Jangankan peperangan, sesosok manusiapun ia tak melihatnya.  Padahal, suara dencingan senjata tajam beradu disertai jeritan parau atau melengking karena kesakitan, nyata terdengar telinganya.

"Gempur rakyat Pulau Majeti! Bunuh Prabu Selang Kuning!" jeritan bernada marah terdengar membahana, disusul suara teriakan kesakitan orang terluka. Jendra merunduk. Secara tak sadar dia berlindung di balik dahan, seperti mencoba berusaha menyelamatkan diri dari serangan musuh. Tapi musuh dari mana dan siapa, Jendra sungguh tak mengerti. Namun karena takut dan ngerinya mendengar suasana pertempuran, dia hanya bisa memeluk dahan pohon saja dengan ketat. Begitu sampai subuh tiba. Sedangkan terlihat garis-garis putih di ufuk timur, barulah pertempuran itu selesai. Suasana pun kembali senyap.

Jendra belum berani turun dari cabang pohon sebelum suasana benar-benar aman. Terbayang
di benaknya, betapa sementara dia memeriksa lingkungan, mayat bertebaran di manamana
dan darah tumpah di mana-mana. Barangkali banyak orang masih hidup namun dengan
luka yang parah. Tapi benarkah banyak orang luka parah di sana? Bila begitu, tentu kini bakal
terdengar erangan-erangan lemah dan kesakitan. "Heran ... kok suasana demikian heningnya ..." gumam Jendra sambil melihat ke kiri dan kanan.

Sesudah suasana terang tanah, anak-muda itu barulah berani turun dari pohon. Dengan
pelahan dan sangat hati-hati, Jendra memeriksa lingkungan. Anak-muda ini heran.
Betapa di sekeliling tempat ini suasana tetap hening, sunyi dan sepi. Dengan kata lain, di
tempat itu tidak didapat korban-korban pertempuran. Jangankan yang mati, bahkan yang luka
atau pun masih hidup pun tak didapatkan. Tak ada bekas-bekas pertempuran di sana.

Jadi, suara-suara mengerikan tadi malam, sebenarnya suara apakah itu? Mustahil dan sungguh tak masuk akal, Jendra tak mimpi atau mengingau. Tadi malam memang terjadi pertempuran
besar di sini. Tadi malam, bahkan terdengar suara dencing senjata tajam beradu dan disusul
oleh jerit kesakitan orang terluka. Tapi mengapa siang hari tidak didapat bekas-bekas secuil
pun?

Jendra masih penasaran. Dia coba berkeliling ke areal lebih luas lagi. Kalau-kalau
pertempuran agak jauh dari tempat dia sembunyi. Namun semakin jauh memeriksa, semakin
gelap dan lebat hutan di sini. Bahkan beberapa tempat tak bisa dilalui sebab tanahnya sangat
lembek dan sebagian lagi berupa rawa yang amat dalam. Jendra terpaksa mundur lagi dan
menemukan jalan pulang secara meraba-raba.

Sampai suatu saat, dia tiba di tepi hutan lebat itu. Di sana masih ada rawa, namun di sisi-sisinya tanah sudah cukup kering dan bisa dipijak. Akhirnya pemuda itu merasa lega manakala tiba di sebuah tanah agak lapang dan banyak bekas tapak kaki kuda. Melihat sebuah pohon beringin tua yang berjanggut lebat menggayut ke tanah, Jendra hapal. Di tempat itulah kemarin siang dia berdiri dan memperhatikan majikannya melepas batang anak-panah. Ke semak kiri sanalah gadis cantik bernama Nyi Indangwati melarikan diri dengan luka panah di bahunya.

"Alhamdulillah ... akhirnya aku temukan jalan pulang," katanya seorang diri. Di tempat itu
suasana sangat sunyi. Rombongan mungkin sudah kembali sejak sore kemarin. Dengan demikian, Jendra harus bergegas pulang sendirian.

Jendra pulang kembali ke Rancah di saat setelah isya. Dia terlambat pulang sebab selain haus
dan lapar yang tak tertahankan, juga lantaran sepasang kakinya bengkak-bengkak. Dia tak
bisa berjalan cepat oleh sebab itu pulang ke Rancah menghabiskan waktu seharian lebih.
Yang membuat ia heran, sedangkan tiba di kediaman Bendara Wedana, di ruang paseban
terdengar dan terlihat sekelompok orang lagi melantunan doa-doa dan membacakan ayat suci.
"Mereka sedang bertahlil . Tapi siapakah yang meninggal di kediaman Bendara ini? " tutur
hatinya risau.

Takut bahwa majikannya yang terkena musibah, maka dia bergegas menuju balkon paseban
bahkan langsung masuk mendekati kelompok orang yang lagi tahlil. Namun, begitu orang
melihat kehadirannya, hampir semuanya memperhatikan dirinya dengan heran dan kaget,
bahkan beberapa perempuan yang duduk di belakang tak urung menjerit takut. Beberapa lagi
bahkan sudah lintang-pukang lari menjauh dari tempat itu. Hanya beberapa pemuka agama yang tegar menghadapi kehadiran pemuda itu dengan cukup berani meskipun tak bisa menutupi perasaan hatinya yang tegang.

"Siapakah engkau?" tanya seorang tua bersorban. "Saya ... Saya Lendra," jawab Jendra gagap dan bingung. "Bukankah ... bukankah engkau sudah dimakamkan seminggu lalu?"

Jendra ternganga kaget mendengar ucapan orang tua itu. "Seminggu lalu? Mana, katakan, siapa yang meninggal di sini? Mana Bendara? Apakah ia sehat? " Belum habis ucapan Jendra, Bendara Wedana sudah menghampirnya karena mendengar ribut-ribut di halaman paseban.
"Apakah engkau Jendra? " tanya beliau ternganga pula. "Betul, Bendara. Maafkan saya terlambat pulang. Saya tersesat di Rancabingung ..." tutur Jendra.

"Kau tersesat selama seminggu ini?" tanya Bendara Wedana heran.
"Seminggu? Saya hanya tersesat sehari saja, Bendara ..." jawab Jendra gagap karena bingung.

Semua orang terdiam sejenak. "Jendra telah mati. Jasadnya ditemukan di relung rawa. Kalau kau dedemit Rancabingung atau dari Pulo Majeti bahkan dari Rawa onom, silakan pergi jangan ganggu kami! " kata seseorang kemudian membacakan ayat-ayat suci pengusir setan.
Jendra tersentak mendengarnya. Kepalanya mendadak pusing, kemudian tubuhnya lunglai
dan jatuh terjerembab.

Entah berapa lamanya dia pingsan. Namun ketika dia siuman, di sekelilingnya telah berkumpul pula sekelompok orang-orang. Banyak di antaranya yang membacakan ayat-ayat suci. Ketika Jendra siuman, semuanya menghentikan kegiatannya dan menatap wajah pemuda itu.

"Apa yang terjadi?" katanya melihat ke kiri dan ke kanan. "Syukur kau siuman ..." tutur Juragan Istri gembira. "Tapi, apa yang terjadi, Juragan?" "Ya, justru itu yang kami pertanyakan. Apa sebenarnya telah terjadi hari-hari belakangan ini," gumam Bendara Wedana seperti melamun.

Dengan perasaan heran tak terhingga, Jendra menerima berita, bahwa sebenarnya dia sudah mati seminggu lalu. Ketika Bendara Wedana menyuruhnya menyusul buruan Menjangan yang terluka, ternyata Jendra tak kembali. Belakangan setelah lama dicari, ternyata jasadnya ditemukan tenggelam di rawa-rawa Rancabingung. Di sana ditemukan pula bangkai Menjangan yang terluka di bahunya oleh panah Bendara Wedana dan sama tenggelam di rawa yang sama.
Itu berlangsung seminggu lalu. "Dan malam ini adalah malam tahlil ke tujuh hari," kata Bendara Wedana.@bersambung

Tidak ada komentar: