Senin, 11 Februari 2013

Kiai Kholil Waliyullah Kesebelas Tanah Jawa (1)


Kiai Kholil Kacaukan Tentara Penjajah Kuffar dengan Pasukan Lebah Gaib

Kiai Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawanpun menjadi lengah.


Kiai kharismatik ini merupakan seorang tokoh agama yang lahir di Bangkalan, Madura. Nasabnya, bertemu dengan Jamaluddin Al Kubra dan tersambung dengan nasab ahlul bait. KH Kholil termasuk golongan dari sebelas waliyullah tanah jawa termudah atau terakhir. Kewara’annya pada duniawi membuat kewaliannya banyak diakui masyarakat awam maupun ulama lain di nusantara.  


KH Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Camp (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.

KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijriah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langsung oleh ayah Beliau menginjak dewasa beliau ta'lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar tahun1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.

Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.

Kiai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih memiliki hubungan keluarga dengan Kiai Kholil. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan (tata bahasa arab), seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik. Disamping itu beliau juga seorang hafizun Al-Quran. Beliau mampu membaca alqur'an dalam Qira'at sab'ah (tujuh cara membaca Al-Quran). Pada 1276 Hijrah atau tahun1859 Masehi, KHMuhammad Khalil Belajar di Mekah.

Di Mekkah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar bersama Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah adalah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani i. Beberapa sanad hadis juga diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

KH.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym Asy'ari, Kh.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan. Ulama-ulama dahulu memiliki kebiasaan memanggil guru sesama rekannya. Dan Kh.Muhammad Kholil yang dituakan dan dimuliakan diantara mereka dan menerima panggilan guru..

Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para siswa. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun metode penulisan huruf Pegon. Huruf pegon adalah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda.

Huruf pegon tidak ubahnya tulisan Melayu atau Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu. karena Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli / pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.

Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. KH Muhammad Khalil al -Maduri adalah seorang ulama yang bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, negeri ini masih terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan seluruh suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah adalah bangsa kafir. Bangsa yang tidak percaya akan islam sebagai agama yang diridhoi Sang Khaliq.

Sesuai dengan kondisi beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak terlibat dalam medan perang. Walau tidak terlibat langsung dalam perang fisik dan mengangkat senjata, Kiai Kholil terlibat aktif mengkader para pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya . Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh kolonial Belanda karena dituduh melindungi beberapa pejuang yang menjadi buronan penjajah Belanda. Pondok pesantrennya, dikenal sebagai tempat persembunyian yang paling aman oleh para pejuang. Dan hal itu diketahui oleh tentara penjajah Belanda. Hingga berakibat ditahannya Kiai Kholil lantaran menyembunyikan para pejuang dan setelah tentara Penjajah Belanda menggeleda pesantren Kiai Kholil, ternyata tidak menemukannya. Hal itu terjadi lantaran karomah yang dimiliki KH Kholil menyelimuti para pejuang di pesantrennya. Sehingga tidak terlihat oleh tentara penjajah Belanda.

Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri. Menurut  keterangan Kh.Ghozi, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syamsuri, Hasyim Asy'ari, Wahab Kasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak tinggi. Tak ketinggalan, Kiai Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawanpun menjadi lengah. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kemerdekaan ganti menyerang lawan yang kafir itu. "Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaib itu, tak banyak dipublikasikan, "papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Kasbullah ini.

“Kesaktian” lain yang dimiliki Kiai Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantrennya. Saat sedang memberikan pelajaran kepada para santrinya, tiba-tiba Kiai Kholil melakukan gerakan yang tidak ada hubungannya tema ceramahnya. Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. “Beberapa saat kemudian baju dan sarung beliau basah kuyub," cerita KH Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor pergi dan masuk rumah mengganti bajunya. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Setelah ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut beberapa hari lalu, mendapat pertolongan dari Mbah Kholil yang saat itu juga sedang melakukan ceramah pada santrinya. "Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah tersapu ombak besar dan menghantam karang. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap ia bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu, "cerita KH Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

Di antara sekian banyak murid KH Muhammad Khalil al Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia adalah Kh Hasyim Asy'ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pendiri NU Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma'shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma'shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As'ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo). bersambung
ng � r n �`� �S� i itu nekad mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, merasa dirinya aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling banyak buahnya. Kemudian dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang itu. Setelah cukup banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan. Baru saja kakinya menginjak tanah, ternyata sudah diketahui oleh beberapa santri, tak ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Kiai marah besar kepada santri itu.

Setelah itu disuruhnya dia memakan pepaya itu sampai habis, dan akhirnya diusir dari pondok pesantren. Tak lama setelah kejadian itu, santri yang diusir karena mencuri pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang alim. Kealiman dan ketenaran kiai tersebut sampai kepada pesantren di Kedemangan. Mendengar berita menarik itu, beberapa santri tertarik ingin mengikuti jejaknya.

Pada suatu hari, beberapa santri mencoba mencuri pepaya di pesantren. Dengan harapan agar dimarahi Sang Kiai. Begitu turun dari pohon pepaya. Kontan saja petugas santri memergokinya. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Setelah melihat beberapa saat kepada santri yang mencuri pepaya itu, seraya Kiai mengucap: "Ya sudah, biarlah" kata Kiai Kholil dengan nada datar tanpa ada marah tanpa ada pengusiran. "Wah, celaka saya tidak bisa menjadi kiai," desah santri pencuri pepaya sambil menangis menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya.

Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat maghrib, seperti biasanya, Kiai Kholil mengimami jamaah sholat berjamaah bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba ia kedatangan tamu orang berbangsa Arab, orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang. Tiba-tiba si  Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil berucap: "Kiai ..., bacaan Al Fatihah (antum) kurang fasih", tegur sang habib. "O ... begitu", jawab Kiai Kholil.

Setelah berbasa-basi, beberapa saat, Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksakan sholat maghrib. "Tempat wudlu ada disebelah masjid itu. Habib, Silahkan ambil wudlu disana", ucap Kiai sambil menunjukan arah tempat wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun habib mengucapkan bahasa arab dengan fasihnya untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.

Mendengar ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya menjadi penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata dalam bahasa arab. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat arab yang dilontarkan Kiai Kholil, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib menyadari dan memahami bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.

Tongkat Kiai Kholil dan Sumber Mata Air
Pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan kearah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, segera Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan tongkat Kiai Kholil, memancar sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu, sumber mata airnya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kolam yang bersejarah itu, hingga sekarang masih ada.

Howang-Howing Jadi Kaya
Suatu hari, seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat sowan ke Kiai Kholil. Dia bermaksud untuk meminta pertolongan kepada Kiai Kholil agar bisa terkabul hajatnya. "Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya. Saya sudah bosan hidup miskin", kata Koh Bun Fat dengan penuh harap. Melihat permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas memberi isyarat menyuruh mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil, tiba-tiba Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat seraya berucap: "Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih ..... sugih ..... sugih ..... ", suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti. Setelah mendapat doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun Fat benar-benar berubah kehidupannya, dari orang miskin menjadi kaya.@bersambung

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih akhi(admin).bertambah lgi pengetahuan kami tetang sejarah wali"yalloh nusantara

Semoga Allah swt menempatkan beliau Alm syechona kholil di tempat yang terbaik di sisinya Amin" ya Allah..


Oh iya gmn caranya kami bisa mencari lgi sambungan cerita ini admin ya..makasih

Unknown mengatakan...

Terima kasih akhi(admin).bertambah lgi pengetahuan kami tetang sejarah wali"yalloh nusantara

Semoga Allah swt menempatkan beliau Alm syechona kholil di tempat yang terbaik di sisinya Amin" ya Allah..


Oh iya gmn caranya kami bisa mencari lgi sambungan cerita ini admin ya..makasih