Senin, 11 Februari 2013

Carok Tradisi Ksatria Penentang Penjajah Bersenjata Clurit





Jurnalis Independen: Sebuah senjata yang pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Lalu mulai kapan senjata ini ada?




Apa yang ada dalam pikiran para pembaca jika mendengar kata Carok? Dari berbagai pikiran, salah satu yang mungkin terekam dalam benak dan pikiran adalah sebuah konotasi yang memunculkan darah, kematian dan horor lainnya. Semua bersifat atau berkonotasi negatif. Carok selalu identik dengan pembunuhan sadis, pertarungan senjata, duel hidup dan mati atas nama kehormatan, pembunuhan berdampak dendam 7 turunan atau bisa jadi pembantaian masal.

Carok juga selalu sejajar dengan budaya suku Madura, sebuah suku yang konon berwatak keras, temperamental dan arogan, meski tidak semua demikian. Dalam banyak kasus, setiap pembunuhan yang dilakukan oleh suku Madura, maka kata Carok akan selalu muncul. Yang paling mengerikan lagi, carok selalu berdampingan dengan nama sebuah senjata yang disebut Are’ dalam bahasa Madura atau Clurit. Dan yang paling dramatis justru setiap kejahatan, aksi perampokan selalu identik dengan sanjata yang satu ini. Namun demikian, benarkah budaya ini berasal dari Madura?

Carok dan Clurit
Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara harfiah bahasa Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok (dibantai atau mutilasi). Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk Clurit Emas dari Sumenep, Carok merupakan satu pembauran dari budaya yang tidak sepenuhnya asli dari Madura. Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau musyawarah, dimana didalamnya terkandung makna mempertahankan harga diri.

Carok juga selalu identik dengan pembunuhan 7 turunan atas nama kehormatan. Tembeng Pote Matah, Angoan Pote Tolang (dari pada putih mata lebih baik putih tulang=dari pada menanggung malu, lebih baik mati atau membunuh). Dendam yang mengatasnamakan Carok ini bisa terus berlanjut hingga anak cucunya. Ibarat hutang darah harus dibayar darah.

Carok juga dilakukan demi mempertahankan harga diri. Misalnya istri diambil orang, maka carok merupakan putusan atau penyelesaian akhir yang akan dilakukan. Mereka akan saling membunuh satu dengan yang lain. Dan uniknya, bagi keluarga yang mengambil istri orang, maka jika dia terbunuh, tak satupun keluarga korban akan menuntut balas pembunuhan tersebut karena mereka memandang malu jika keluarganya sampai mengambil istri orang. Namun sebaliknya, apabila yang terbunuh adalah pihak yang punya istri, maka yang terjadi akan muncul dendam 7 turunan.

Pelaku Carok merupakan pelaku pembunuhan yang jantan atau sportif. Jika mereka telah membunuh, maka ia akan datang ke kantor polisi dan melaporkan dirinya bahwa ia telah membunuh orang. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab pembunuh kepada masyarakat sekaligus sebagai bentuk memohon perlindungan hukum. Meski beberapa kasus juga kerap terjadi, mereka menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh lawannya, atau bisa pula pelaku yang membunuh namun yang masuk penjara adalah orang lain, istilahnya membeli hukuman. Tentunya hal yang terakhir ini harus ada kompensasinya, yakni si pelaku harus memberikan semua biaya hidup pada keluarga orang yang telah bersedia masuk penjara atas namanya.

Carok juga selalu identik dengan senjata Clurit. Sebuah senjata yang pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya, bukan Clurit. Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut.

Menurut R.Abdul Hamid, salah seorang keturunan dari Cakraningrat menerangkan, bahwasannya budaya carok merupakan pengejawantahan yang dilakukan oleh masyarakat madura yang dulunya masih banyak yang memiliki pendidikan rendah. namun seiring perkembangan jaman, dimana banyak guru2 impres yang datang ke Madura, Carok pun mulai berkurang.

Hanya Calok yang disebutkan dalam Babat Songenep. Calok sendiri merupakan senjata Kek Lesap (1749) yang memberontak dan hampir menguasai semua dataran Madura. Senjata Calok juga pernah dipakai balatentara Ayothaya Siam dalam perang melawan kerajaan lain. Pada masa itu yang popular berbentuk Calok Selaben dan Lancor. Konon senjata Calok dibawa prajurit Madura ke Siam sebagai bagian dari bala bantuan kerajaan Madura dalam pengamanan di tanah Siam.

Menurut Budayawan Celurit Emas D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosofi yang cukup dalam. Dari bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.

Lantas bagaimana kisah sebenarnya?. Sejak kapan istilah Carok dan Clurit ini dikenal? Hingga sekarang ini masih belum ada sebuah penelitian yang menjurus pada kalimat yang berbau sangar ini. Yang pasti, kalimat ini pertama kali dikenalkan pada masa Sakerah seorang mandor tebu di Bangil, Pasuruan yang menentang ketidak adilan Kolonial Belanda. Dengan senjata Clurit yang merupakan symbol perlawanan rakyat jelata pada abat 18. Kompeni yang merasa jengkel dengan perlawanan Pak sakerah kemudian menyewa centeng-centeng kaum Blater Maduraatau dalam bahasa sekarang disebut para preman untuk menghadapi Sakerah. Namun, tak satupun dari kaum blater tersebut menang dari Pejuang bernama Sakerah.

Sejak saat itu, perlawanan rakyat jelata dengan Clurit mulai dikenal dan popular. Namun demikian, senjata Clurit masih belum memiliki disain yang memadai sebagai alat pembunuh. Rakyat Pasuruan dan Bangil ketika itu hanya memiliki senjata yang setiap harinya dugunakan untuk menyabit rumput itu. Sehingga kepopuleran Clurit sebagai senjata perang rakyat jelata makin tersebar. Karena itulah Propaganda Belanda untuk menyudutkan perlawanan Sakerah cukup berhasil dengan menggunakan dua istilah yakni Carok dan Clurit.

Tragedi Bere’ Temor
Carok dan Clurit ibarat mata uang logam dengan dua gambar. Istilah ini terus bermetamorfosa hingga pada tahun 70 an terjadi peristiwa yang membuat bulu kudu berdiri. Sayangnya peristiwa yang memakan korban banyak ini tidak terekspos media karena pada masa itu jaringan media tidak seheboh sekarang. Sehingga tragedi yang disebut oleh masyarakat Madura sebagai tragedy Bere’ Temor (barat-timur.Red) sama sekali tak pernah mencuat dikalangan umum, namun hanya dirasakan dikalangan orang Madura sendiri.

Peristiwa tersebut merupakan gap antara blok Madura barat yang diwakili Bangkalan dengan Madura Timur yang diwakili Sampang. Konon peristiwa tersebut cukup membuat masyarakat setempat dicekam ketakutan. Karena hampir setiap hari selalu terjadi pembunuhan. Baik dipasar, jalan, sawah atau dikampung-kampung. Saat itulah istilah Carok dan senjata Clurit makin populer.

Pada masa Bere’ temor tersebut beberapa desa seperti Rabesen Barat dan Rabesen Timur, Gelis, Baypajung, Sampang, Jeddih dan beberapa desa lain cukup mewarnai tragedi tersebut. Lama tragedi tersebut terjadi hingga keluar dari Madura, yakni Surabaya dan beberapa daerah lainnya.

Menurut H.Abdul Majid, seorang tokoh Madura asal Beypanjung-Tanah Merah yang dipercaya pihak kepolisian Kabupaten Bangkalan untuk menjadi pengaman dan penengah Carok se Madura, menerangkan bahwa Carok jaman dulu adalah perkelahian duel hidup mati antara kedua belah pihak yang bertikai. Carok pada masa itu selalu identik dengan duel maut yang berujung dendam pada keluarga berikutnya.

Hafil M, seorang tokoh Madura lainnya juga menerangkan bahwa pada masa itu setiap orang yang hendak bercarok akan melakukan satu ritual khusus dengan doa selamatan ala islam kemudian melekan atau tirakat tidak tidur dan mengasah Clurit mereka serta mengasapinya dengan dupa. Keesokan harinya, mereka semua akan menghiasi mukanya dengan angus hitam.

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mas Marsidi Djoyotruno, salah seorang yang mengalami peristiwa menghebohkan tersebut. Menurutnya, pada tragedi gap antara Madura Barat dan Madura Timur tersebut selalu membawa kengerian. Setiap orang yang bertemu meski tidak kenal akan langsung saling bunuh asal mereka dari dua kubu tersebut. Tidak peduli mereka terlibat bertikai atau tidak. Ini semua dilakukan demi harga diri desanya atau yang lainnya. Masih menurut Mas Marsidi, tragadi tersebut cukup banyak menelan korban jiwa. Bahkan menurut seorang pelaku lainnya Abah Ali juga mengungkapkan, tragedi tersebut bisa dikatakan mirip dengan tragedi Sampit. Korban yang terbunuh menumpuk bagai ikan tongkol di dalam besek.

Perkembangan desain clurit sendiri baru mulai betul-betul khusus untuk membunuh, diperkirakan pada masa revolosi 1945. Dimana resimen 35 Joko Tole yang memberontak pada Belanda di pulau tersebut. Belanda yang dibantu pasukan Cakra (pasukan pribumi madura) kerap berhadapan dengan pasukan siluman tersebut. Meski tidak semua pasukan resimen 35 Joko Tole ini memiliki senjata Clurit, namun kerap terjadi pertarungan antara pasukan Cakra dengan resimen 35 Joko Tole ini kedua belah pihak sudah ada yang menggunakan senjata Clurit, meski hanya sebatas senjata ala kadarnya.

Disain clurit yang sekarang ini kita lihat merupakan disain dari peristiwa Bere’ Temor yang menghebohkan ditahun 1968 hingga 80-an. Pada masa ini disain clurit mulai dikenal dengan berbagai bentuk. Mulai dari Bulu Ajem, Takabuan, Selaben hingga yang lainnya. Dan pada peristiwa tersebut Clurit mulai jadi kemoditi bagi masyarakat Madura.@zoe


Pergeseran Budaya Carok dari Heroik Menjadi Pengecut
Dewasa ini Carok yang dilakukan oleh Tretan atau saudara Madura telah bergeser. Jika dahulu merupakan duel hidup mati dan bisa menyambung terus pada keturunannya hingga ke 7, maka sekarang ini Carok dilakukan secara pengecut. Beberapa kasus yang terjadi justru timbul dengan alasan yang tidak masuk akal. Hanya karena carger poncelnya dihilangkan, seorang saudara sepupu tega membunuh kakaknya dengan keroyokan. Tragedi ini terjadi di Bolodewo, Surabaya (12/1/2008). Gara-gara adiknya digoda tetangga, seorang kakak membunuh tetangganya dari belakang (Arimbi, Surabaya1999). Gara-gara istrinya yang sudah dicerai 4 tahun silam, menikah dengan temannya, mantan suaminya mengeroyok suami mantan istrinya tersebut bahkan membunuh sang mantan istri (Nyamplungan, Surabaya 1993).

Carok yang terjadi sekarang berbeda dengan Carok pada masa kejayaannya. Carok yang dilakukan sekarang sistimnya keroyokan yang tidak berimbang. Kadang 1 lawan 3 atau 1 lawan 5. Celakanya lagi carok sekarang kebanyakan menggunakan pembunuh bayaran yang rela masuk penjara atas nama uang Rp 100.000,-. Contoh lagi yang sangat menggemparkan terjadi di tahun 2005 di desa Galis. Ramai tersiar kabar pembunuhan massal karena kalah jadi calon lurah.

Yang membuat esensi Carok menjadi terlihat pengecut justru terjadi apabila yang membunuh masuk penjara, maka yang akan menjadi incaran pembunuhan pihak korban adalah anaknya yang masih usia belasan atau saudara lainnya yang masih ada hubungan darah meski jauh. Dan ini kerap terjadi. Sekarang seorang tewas, maka dalam tempo 5 jam saudara atau keluarga pihak yang membunuh akan tewas dibantai di tempat lain. Karena itu tak jarang apabila seseorang telah melakukan pembunuhan pada orang lain, yang was-was justru keluarga lainnya, karena takut dibantai pula.

Tamperamental watak suku Madura yang keras dengan kondisi pulau yang panas, hampir penuh dengan perbukitan batu gamping dengan kontur tanah yang nyaris tandus dan sedikit sumber mata air, jelas mempengaruhi kondisi fisik maupun watak keras suku ini. Meski tidak semuanya demikian, namun hampir rata-rata berwatak keras dan bersuara lantang kadang suka ngomong ngelantur.

Cara berbicara seperti inilah yang kerap menjadi pemicu terjadinya Carok. Contoh kasus yang terjadi di Jakarta pada tahun 2006. Seorang Madura yang ditagih uang kontrakannya justru menjawab dengan “nanti saya bayar dengan clurit” membuat tuan rumah geram dan membantainya dengan 16 tusukan dan tewas seketika. Ini semua merupakan awal dari carok.

Meski iklim pesantren cukup membuat suasana watak suku Madura dingin, namun hal itu tak bertahan lama. Karena rata-rata para tokoh agamawan di Madura cenderung diam bila bicara soal harga diri. Hampir 90 persen masyarakat Madura memilih anaknya di didik dalam lingkungan pondok atau pesantren ketimbang disekolah umum. Hal ini menurut beberapa sumber juga jadi penyebab tingkat pendidikan yang kurang, akhirnya menimbulkan pikiran pendek masyarakatnya. Tak jarang beberapa tokoh agamawan memberikan semacan azimat atau ijazah kepada mereka untuk keselamatan, celakanya yang terjadi justru adalah keselamatan bagi pembunuhnya bukan bagi target yang akan dibunuh.

Namun demikian, sekarang ini seiring dengan intelektual masyarakat Madura yang mulai banyak mengerti karena berpendidikan tinggi, menjadikan Carok mulai pudar sedikit demi sedikit. Carok yang awalnya bukan budaya Madura, kemudian bermetamorfosa dengan kondisi dan menjadi lekat dengan tradisi Madura, kini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.@zoe

Oto-Oto’ Sarana Mencari Saudara yang Membingungkan
Tingkat pendidikan masyarakat Madura memang dipandang sebagai pemicu utama munculnya Carok yang tidak berkesudahan. Hal ini terbukti di daerah Sumenep. Nyaris masyarakat Madura di daerah ini yang merupakan pusat keraton Sumenep pada masa kerajaan Pajajaran, Tumapel hingga Majapahit tidak terdengar soal perselisihan yang mengakibatkan carok. Di Sumenep rata-rata masyarakatnya memiliki pendidikan yang tinggi disamping pengetahuan agama relative lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Madura. Tingkat kematian atas nama carok didaerah tersebut nyaris tak ada. Asumsi beberapa ahli kriminalitas mengatakan dan berpendapat sama soal yang satu ini. Meski sama-sama suku Madura, namun orang Sumenep jauh lebih modern ketimbang daerah lainnya.

Ada budaya lain yang pada awal berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater Madura untuk mengurangi pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Oto’-oto’ adalah sejenis kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan. Sumbangan yang berupa uang itu dikumpulkan dan menjadi modal usaha bagi penerimanya. Oto’-oto’ ini persis sama dengan arisan.

Pada awalnya budaya ini cukup topcer dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing tetuah blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.

Sayangnya kegiatan ini kemudian bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI. Celakanya lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, ternyata ikut-ikutan memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan. Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan baru.

Kaum Blateran juga turut mewarnai politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.

Banyak klebun Blater tersebut justru sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya sehingga malas mengurus desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.

Dewasa ini kaum blateran sudah mulai sedikit dan lurah dari kaum blateran sudah mulai terkikis. Hal tersebut terjadi oleh karena tingkat pendidikan mereka yang kini mulai memadai. Selain itu peraturan seorang lurah yang harus lulusan SLTA cukup mendongkrak kredibilitas lurah Madura.@zoe

Sakera Pahlawan Bangil Berpusaka Clurit

Sakera paling senang tayuban. Akhirnya Sakera pun keluar dari persembunyiaannya, terjebak dan dilumpuhkan ilmunya dengan pukulan menggunakan Bambu Apus

Sakera adalah seorang mandor kebun tebu di Pasuruan. Sakera merupakan sebuah julukan atas keberaniannya menentang kolonialisme Belanda di Nusantara khususnya kawasan Bangil, Pasuruan. Pemilik julukan Sakera bernama asli Sadiman. Dalam tugasnya ia hampir tak pernah meninggalkan clurit setiap ia pergi ke perkebunan tebu Kancil Mas untuk mengawasi para pekerja, clurit untuk Sadiman merupakan simbol perlawanan rakyat kepada kesewenangan penindas Pemerintah penjajah Belanda.

Pabrik gula milik perusahaan penjajah Belanda pada waktu itu membutuhkan banyak lahan baru. Lahan baru itu akan digunakan untuk menanam tebu yang pada saat itu menjadi komoditi paling menguntungkan penjajah. Karena kepentingan itu Belanda ingin membeli lahan perkebunan yang seluas-luasnya dengan harga semurah-murahnya. Dengan cara licik penjajah Belanda memerintahkan Carik Rembang (setingkat dibawah Lurah) untuk bisa menyediakan lahan baru dalam jangka waktu singkat dan murah. Tentu saja dengan iming-iming harta dan kekayaan hingga carik Rembang bersedia memenuhi keinginan tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan penjajah Belanda tersebut.

Sakera melihat ketidakadilan, lalu mencoba membela rakyat kecil dan berulang kali menggagalkan upaya carik Rembang. Carik Rembang melaporkan perlawanan Sakera kepada pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan marah kemudian memerintahkan seorang pegawai pabrik (Jagoan) bernama Markus untuk merencanakan membunuh Sakera. Pada saat karyawan sedang istirahat Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang Sakera. Sakera yang dilapori oleh para pekerja di Pabrik Gula tersebut marah dan juga berniat ingin membunuh Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak pembunuhan Markus oleh Sakera, sejak saat itu pula Sakera pun menjadi buronan pemerintah penjajah Belanda.

Suatu hari, Sakera berkunjung ke rumah ibunya, disanalah ia dikeroyok oleh Carik Rembang yang dibantu beberapa tentara penjajah Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka Sakera ahirnya menyerah, Sakera pun masuk penjara Bangil.

Siksaan demi siksaan dilakukan polisi belanda kepada sakera setiap hari. selama dipenjara Pak Sakera mengkhawatirkan keluarganya dirumah. Sakera memiliki istri yang sangat cantik bernama Marlena dan seorang keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang memiliki jiwa patriotik, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi, mabok-mabokan. Tragisnya, secara sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri pamannya yang bernama Sakera. Berkali kali Brodin berusaha untuk mendekati Marlena.

Sementara Sakera ada dipenjara, Brodin berhasil berselingkuh dengan Marlena. Ketika kabar itu sampai di telinga Sakera maka Sakera marah dan kabur dari penjara. Brodin pun tewas dibunuh Sakera. Sakera kemudian melakukan balas dendam secara berturut turut, dimulai Carik Rembang dibunuh, dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi perkebunan yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tanganya dengan senjata khusus 'clurit' nya. Kejadian itu terjadi ketika kepala polisi Bangil yang Belanda itu mencoba menangkap Sakera.

Tak berhasil menangkap Sakera dengan cara ksatria, penjajah Belanda menggunakan cara lama, yaityu politik adu domba. Pemerintah penjajah Belanda mendatangi teman seperguruan Sakera yang bernama Aziz. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan oleh Government  penjajah Belanda di Bangil Aziz menjebak Sakera. Penjebakan itu dilakukan dengan mengadakan tayuban. Sebab aziz tahu jika Sakera paling senang tayuban. Akhirnya Sakera pun keluar dari persembunyiaannya, terjebak dan dilumpuhkan ilmunya dengan pukulan menggunakan Bambu Apus. Setelah penjajah Belanda berhasil mernangkap kembali Sakera yang kemudian diadili oleh Government Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung. Sakera gugur sebagai pahlawan DIGANTUNG oleh pemerintah penjajah Belanda di penjara Bangil. Pahlawan Sadiman alias Sakera dimakamkan di Bekacak, Kelurahan Kolursari, daerah paling selatan Kota Bangil.

Masih banyak keturunan Sakera hingga kini. Mereka tersebar diantaranay di Pasuruan, Tampong, Bangil, Rembang dan Surabaya. Bahkan salah satu keturunan Sakera yang merupakan simbol perlawanan pemerintah penjajahan Belanda dari Bangil ini, pernah menduduki Deputi Kementrian Percepatan Daerah Tertinggal pada masa pemerintahan Presiden Abdurraham Wahid (Gus Dur).@Zoe

Tidak ada komentar: