Jurnalis Independen: Sebuah senjata
yang pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak
mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269),
pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolo (1531)
senjata Clurit masih belum ada. Lalu mulai kapan senjata ini ada?
Apa yang ada
dalam pikiran para pembaca jika mendengar kata Carok? Dari berbagai pikiran, salah satu yang mungkin terekam dalam
benak dan pikiran adalah sebuah konotasi yang memunculkan darah, kematian dan
horor lainnya. Semua bersifat atau berkonotasi negatif. Carok selalu identik
dengan pembunuhan sadis, pertarungan senjata, duel hidup dan mati atas nama
kehormatan, pembunuhan berdampak dendam 7 turunan atau bisa jadi pembantaian
masal.
Carok juga
selalu sejajar dengan budaya suku Madura, sebuah suku yang konon berwatak
keras, temperamental dan arogan, meski tidak semua demikian. Dalam banyak
kasus, setiap pembunuhan yang dilakukan oleh suku Madura, maka kata Carok akan
selalu muncul. Yang paling mengerikan lagi, carok selalu berdampingan dengan
nama sebuah senjata yang disebut Are’
dalam bahasa Madura atau Clurit. Dan yang paling dramatis justru setiap
kejahatan, aksi perampokan selalu identik dengan sanjata yang satu ini. Namun
demikian, benarkah budaya ini berasal dari Madura?
Carok dan Clurit
Carok berasal
dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara harfiah bahasa Madura,
Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok
(dibantai atau mutilasi). Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk Clurit Emas dari Sumenep, Carok
merupakan satu pembauran dari budaya yang tidak sepenuhnya asli dari Madura.
Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir sebuah permasalahan yang
tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau musyawarah, dimana didalamnya
terkandung makna mempertahankan harga diri.
Carok juga
selalu identik dengan pembunuhan 7 turunan atas nama kehormatan. Tembeng Pote
Matah, Angoan Pote Tolang (dari pada putih mata lebih baik putih tulang=dari
pada menanggung malu, lebih baik mati atau membunuh). Dendam yang
mengatasnamakan Carok ini bisa terus berlanjut hingga anak cucunya. Ibarat
hutang darah harus dibayar darah.
Carok juga
dilakukan demi mempertahankan harga diri. Misalnya istri diambil orang, maka
carok merupakan putusan atau penyelesaian akhir yang akan dilakukan. Mereka
akan saling membunuh satu dengan yang lain. Dan uniknya, bagi keluarga yang
mengambil istri orang, maka jika dia terbunuh, tak satupun keluarga korban akan
menuntut balas pembunuhan tersebut karena mereka memandang malu jika
keluarganya sampai mengambil istri orang. Namun sebaliknya, apabila yang
terbunuh adalah pihak yang punya istri, maka yang terjadi akan muncul dendam 7
turunan.
Pelaku Carok
merupakan pelaku pembunuhan yang jantan atau sportif. Jika mereka telah
membunuh, maka ia akan datang ke kantor polisi dan melaporkan dirinya bahwa ia
telah membunuh orang. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab
pembunuh kepada masyarakat sekaligus sebagai bentuk memohon perlindungan hukum.
Meski beberapa kasus juga kerap terjadi, mereka menyewa pembunuh bayaran untuk
membunuh lawannya, atau bisa pula pelaku yang membunuh namun yang masuk penjara
adalah orang lain, istilahnya membeli hukuman. Tentunya hal yang terakhir ini
harus ada kompensasinya, yakni si pelaku harus memberikan semua biaya hidup
pada keluarga orang yang telah bersedia masuk penjara atas namanya.
Carok juga
selalu identik dengan senjata Clurit. Sebuah senjata yang pada awalnya
merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak mengenal senjata
tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole
(1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolo (1531) senjata Clurit
masih belum ada. Mereka hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah
sebagaimana umumnya prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya
Majapahit yang didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa
Tumapel hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang
dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa
penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka
masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya, bukan Clurit. Bahkan pada
peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit
disebut-sebut.
Menurut R.Abdul
Hamid, salah seorang keturunan dari Cakraningrat menerangkan, bahwasannya
budaya carok merupakan pengejawantahan yang dilakukan oleh masyarakat madura
yang dulunya masih banyak yang memiliki pendidikan rendah. namun seiring
perkembangan jaman, dimana banyak guru2 impres yang datang ke Madura, Carok pun
mulai berkurang.
Hanya Calok yang
disebutkan dalam Babat Songenep. Calok sendiri merupakan senjata Kek Lesap
(1749) yang memberontak dan hampir menguasai semua dataran Madura. Senjata
Calok juga pernah dipakai balatentara Ayothaya Siam dalam perang melawan
kerajaan lain. Pada masa itu yang popular berbentuk Calok Selaben dan Lancor. Konon senjata Calok dibawa prajurit
Madura ke Siam sebagai bagian dari bala bantuan kerajaan Madura dalam pengamanan
di tanah Siam.
Menurut
Budayawan Celurit Emas D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosofi yang
cukup dalam. Dari bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa dimaknai sebagai satu
bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.
Lantas bagaimana
kisah sebenarnya?. Sejak kapan istilah Carok dan Clurit ini dikenal? Hingga
sekarang ini masih belum ada sebuah penelitian yang menjurus pada kalimat yang
berbau sangar ini. Yang pasti, kalimat ini pertama kali dikenalkan pada masa Sakerah
seorang mandor tebu di Bangil, Pasuruan yang menentang ketidak adilan Kolonial
Belanda. Dengan senjata Clurit yang merupakan symbol perlawanan rakyat jelata
pada abat 18. Kompeni yang merasa jengkel dengan perlawanan Pak sakerah
kemudian menyewa centeng-centeng kaum Blater
Maduraatau dalam bahasa sekarang disebut para preman untuk menghadapi
Sakerah. Namun, tak satupun dari kaum blater tersebut menang dari Pejuang
bernama Sakerah.
Sejak saat itu,
perlawanan rakyat jelata dengan Clurit mulai dikenal dan popular. Namun
demikian, senjata Clurit masih belum memiliki disain yang memadai sebagai alat
pembunuh. Rakyat Pasuruan dan Bangil ketika itu hanya memiliki senjata yang
setiap harinya dugunakan untuk menyabit rumput itu. Sehingga kepopuleran Clurit
sebagai senjata perang rakyat jelata makin tersebar. Karena itulah Propaganda
Belanda untuk menyudutkan perlawanan Sakerah cukup berhasil dengan menggunakan
dua istilah yakni Carok dan Clurit.
Tragedi Bere’ Temor
Carok dan Clurit
ibarat mata uang logam dengan dua gambar. Istilah ini terus bermetamorfosa
hingga pada tahun 70 an terjadi peristiwa yang membuat bulu kudu berdiri.
Sayangnya peristiwa yang memakan korban banyak ini tidak terekspos media karena
pada masa itu jaringan media tidak seheboh sekarang. Sehingga tragedi yang
disebut oleh masyarakat Madura sebagai tragedy
Bere’ Temor (barat-timur.Red) sama sekali tak pernah mencuat dikalangan
umum, namun hanya dirasakan dikalangan orang Madura sendiri.
Peristiwa
tersebut merupakan gap antara blok Madura barat yang diwakili Bangkalan dengan
Madura Timur yang diwakili Sampang. Konon peristiwa tersebut cukup membuat
masyarakat setempat dicekam ketakutan. Karena hampir setiap hari selalu terjadi
pembunuhan. Baik dipasar, jalan, sawah atau dikampung-kampung. Saat itulah
istilah Carok dan senjata Clurit makin populer.
Pada masa Bere’
temor tersebut beberapa desa seperti Rabesen Barat dan Rabesen Timur, Gelis,
Baypajung, Sampang, Jeddih dan beberapa desa lain cukup mewarnai tragedi
tersebut. Lama tragedi tersebut terjadi hingga keluar dari Madura, yakni
Surabaya dan beberapa daerah lainnya.
Menurut H.Abdul
Majid, seorang tokoh Madura asal Beypanjung-Tanah Merah yang dipercaya pihak
kepolisian Kabupaten Bangkalan untuk menjadi pengaman dan penengah Carok se
Madura, menerangkan bahwa Carok jaman dulu adalah perkelahian duel hidup mati
antara kedua belah pihak yang bertikai. Carok pada masa itu selalu identik
dengan duel maut yang berujung dendam pada keluarga berikutnya.
Hafil M, seorang
tokoh Madura lainnya juga menerangkan bahwa pada masa itu setiap orang yang
hendak bercarok akan melakukan satu ritual khusus dengan doa selamatan ala
islam kemudian melekan atau tirakat
tidak tidur dan mengasah Clurit mereka serta mengasapinya dengan dupa. Keesokan
harinya, mereka semua akan menghiasi mukanya dengan angus hitam.
Ungkapan senada
juga disampaikan oleh Mas Marsidi Djoyotruno, salah seorang yang mengalami peristiwa
menghebohkan tersebut. Menurutnya, pada tragedi gap antara Madura Barat dan
Madura Timur tersebut selalu membawa kengerian. Setiap orang yang bertemu meski
tidak kenal akan langsung saling bunuh asal mereka dari dua kubu tersebut. Tidak
peduli mereka terlibat bertikai atau tidak. Ini semua dilakukan demi harga diri
desanya atau yang lainnya. Masih menurut Mas Marsidi, tragadi tersebut cukup
banyak menelan korban jiwa. Bahkan menurut seorang pelaku lainnya Abah Ali juga
mengungkapkan, tragedi tersebut bisa dikatakan mirip dengan tragedi Sampit.
Korban yang terbunuh menumpuk bagai ikan tongkol di dalam besek.
Perkembangan desain
clurit sendiri baru mulai betul-betul khusus untuk membunuh, diperkirakan pada
masa revolosi 1945. Dimana resimen 35 Joko Tole yang memberontak pada Belanda
di pulau tersebut. Belanda yang dibantu pasukan Cakra (pasukan pribumi madura)
kerap berhadapan dengan pasukan siluman tersebut. Meski tidak semua pasukan
resimen 35 Joko Tole ini memiliki senjata Clurit, namun kerap terjadi
pertarungan antara pasukan Cakra dengan resimen 35 Joko Tole ini kedua belah
pihak sudah ada yang menggunakan senjata Clurit, meski hanya sebatas senjata
ala kadarnya.
Disain clurit
yang sekarang ini kita lihat merupakan disain dari peristiwa Bere’ Temor yang
menghebohkan ditahun 1968 hingga 80-an. Pada masa ini disain clurit mulai
dikenal dengan berbagai bentuk. Mulai dari Bulu
Ajem, Takabuan, Selaben hingga yang lainnya. Dan pada peristiwa tersebut
Clurit mulai jadi kemoditi bagi masyarakat Madura.@zoe
Pergeseran Budaya Carok dari Heroik Menjadi Pengecut
Dewasa ini Carok
yang dilakukan oleh Tretan atau saudara
Madura telah bergeser. Jika dahulu merupakan duel hidup mati dan bisa
menyambung terus pada keturunannya hingga ke 7, maka sekarang ini Carok
dilakukan secara pengecut. Beberapa kasus yang terjadi justru timbul dengan
alasan yang tidak masuk akal. Hanya karena carger
poncelnya dihilangkan, seorang saudara sepupu tega membunuh kakaknya dengan
keroyokan. Tragedi ini terjadi di Bolodewo, Surabaya (12/1/2008). Gara-gara
adiknya digoda tetangga, seorang kakak membunuh tetangganya dari belakang
(Arimbi, Surabaya1999). Gara-gara istrinya yang sudah dicerai 4 tahun silam,
menikah dengan temannya, mantan suaminya mengeroyok suami mantan istrinya
tersebut bahkan membunuh sang mantan istri (Nyamplungan, Surabaya 1993).
Carok yang
terjadi sekarang berbeda dengan Carok pada masa kejayaannya. Carok yang
dilakukan sekarang sistimnya keroyokan yang tidak berimbang. Kadang 1 lawan 3
atau 1 lawan 5. Celakanya lagi carok sekarang kebanyakan menggunakan pembunuh
bayaran yang rela masuk penjara atas nama uang Rp 100.000,-. Contoh lagi yang
sangat menggemparkan terjadi di tahun 2005 di desa Galis. Ramai tersiar kabar
pembunuhan massal karena kalah jadi calon lurah.
Yang membuat
esensi Carok menjadi terlihat pengecut justru terjadi apabila yang membunuh
masuk penjara, maka yang akan menjadi incaran pembunuhan pihak korban adalah
anaknya yang masih usia belasan atau saudara lainnya yang masih ada hubungan
darah meski jauh. Dan ini kerap terjadi. Sekarang seorang tewas, maka dalam
tempo 5 jam saudara atau keluarga pihak yang membunuh akan tewas dibantai di
tempat lain. Karena itu tak jarang apabila seseorang telah melakukan pembunuhan
pada orang lain, yang was-was justru keluarga lainnya, karena takut dibantai
pula.
Tamperamental
watak suku Madura yang keras dengan kondisi pulau yang panas, hampir penuh
dengan perbukitan batu gamping dengan kontur tanah yang nyaris tandus dan
sedikit sumber mata air, jelas mempengaruhi kondisi fisik maupun watak keras
suku ini. Meski tidak semuanya demikian, namun hampir rata-rata berwatak keras
dan bersuara lantang kadang suka ngomong ngelantur.
Cara berbicara
seperti inilah yang kerap menjadi pemicu terjadinya Carok. Contoh kasus yang
terjadi di Jakarta pada tahun 2006. Seorang Madura yang ditagih uang
kontrakannya justru menjawab dengan “nanti saya bayar dengan clurit” membuat
tuan rumah geram dan membantainya dengan 16 tusukan dan tewas seketika. Ini
semua merupakan awal dari carok.
Meski iklim
pesantren cukup membuat suasana watak suku Madura dingin, namun hal itu tak
bertahan lama. Karena rata-rata para tokoh agamawan di Madura cenderung diam
bila bicara soal harga diri. Hampir 90 persen masyarakat Madura memilih anaknya
di didik dalam lingkungan pondok atau pesantren ketimbang disekolah umum. Hal
ini menurut beberapa sumber juga jadi penyebab tingkat pendidikan yang kurang,
akhirnya menimbulkan pikiran pendek masyarakatnya. Tak jarang beberapa tokoh
agamawan memberikan semacan azimat atau ijazah kepada mereka untuk keselamatan,
celakanya yang terjadi justru adalah keselamatan bagi pembunuhnya bukan bagi
target yang akan dibunuh.
Namun demikian,
sekarang ini seiring dengan intelektual masyarakat Madura yang mulai banyak
mengerti karena berpendidikan tinggi, menjadikan Carok mulai pudar sedikit demi
sedikit. Carok yang awalnya bukan budaya Madura, kemudian bermetamorfosa dengan
kondisi dan menjadi lekat dengan tradisi Madura, kini sedikit demi sedikit
mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.@zoe
‘Oto-Oto’ Sarana Mencari Saudara yang Membingungkan
Tingkat
pendidikan masyarakat Madura memang dipandang sebagai pemicu utama munculnya
Carok yang tidak berkesudahan. Hal ini terbukti di daerah Sumenep. Nyaris
masyarakat Madura di daerah ini yang merupakan pusat keraton Sumenep pada masa
kerajaan Pajajaran, Tumapel hingga Majapahit tidak terdengar soal perselisihan
yang mengakibatkan carok. Di Sumenep rata-rata masyarakatnya memiliki
pendidikan yang tinggi disamping pengetahuan agama relative lebih baik
dibandingkan dengan daerah lain di Madura. Tingkat kematian atas nama carok
didaerah tersebut nyaris tak ada. Asumsi beberapa ahli kriminalitas mengatakan
dan berpendapat sama soal yang satu ini. Meski sama-sama suku Madura, namun orang
Sumenep jauh lebih modern ketimbang daerah lainnya.
Ada budaya lain
yang pada awal berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater Madura untuk
mengurangi pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Oto’-oto’ adalah sejenis
kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung
yang diisi dengan acara saling membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan.
Sumbangan yang berupa uang itu dikumpulkan dan menjadi modal usaha bagi
penerimanya. Oto’-oto’ ini persis sama dengan arisan.
Pada awalnya
budaya ini cukup topcer dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok
antara satu dengan yang lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka
masing-masing tetuah blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan
bermusyawarah untuk mencari penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti
banyak bermanfaat.
Sayangnya
kegiatan ini kemudian bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru.
Yakni bagi mereka yang punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan
ini terjadi dibeberapa kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian
kabur menjadi TKI. Celakanya lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, ternyata
ikut-ikutan memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian
membingungkan. Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan
sebuah ajang yang baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah
permasalahan baru.
Kaum Blateran
juga turut mewarnai politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah
yang jadi Klebun/Lurah itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan
banyak maling. Namun kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah
didesa tersebut, masih banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.
Banyak klebun
Blater tersebut justru sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya
sehingga malas mengurus desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi
sebagian lurah memelihara maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.
Dewasa ini kaum
blateran sudah mulai sedikit dan lurah dari kaum blateran sudah mulai terkikis.
Hal tersebut terjadi oleh karena tingkat pendidikan mereka yang kini mulai
memadai. Selain itu peraturan seorang lurah yang harus lulusan SLTA cukup
mendongkrak kredibilitas lurah Madura.@zoe
Sakera Pahlawan Bangil Berpusaka Clurit
Sakera paling senang tayuban. Akhirnya Sakera pun
keluar dari persembunyiaannya, terjebak dan dilumpuhkan ilmunya dengan pukulan
menggunakan Bambu Apus
Sakera adalah seorang mandor
kebun tebu di Pasuruan. Sakera merupakan sebuah julukan atas keberaniannya
menentang kolonialisme Belanda di Nusantara khususnya kawasan Bangil, Pasuruan.
Pemilik julukan Sakera bernama asli Sadiman. Dalam tugasnya ia hampir tak
pernah meninggalkan clurit setiap ia pergi ke perkebunan tebu Kancil Mas untuk
mengawasi para pekerja, clurit untuk Sadiman merupakan simbol perlawanan rakyat
kepada kesewenangan penindas Pemerintah penjajah Belanda.
Pabrik gula milik perusahaan penjajah
Belanda pada waktu itu membutuhkan banyak lahan baru. Lahan baru itu akan
digunakan untuk menanam tebu yang pada saat itu menjadi komoditi paling
menguntungkan penjajah. Karena kepentingan itu Belanda ingin membeli lahan
perkebunan yang seluas-luasnya dengan harga semurah-murahnya. Dengan cara licik
penjajah Belanda memerintahkan Carik Rembang (setingkat dibawah Lurah) untuk
bisa menyediakan lahan baru dalam jangka waktu singkat dan murah. Tentu saja dengan
iming-iming harta dan kekayaan hingga carik Rembang bersedia memenuhi keinginan
tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam
mengupayakan tanah untuk perusahaan penjajah Belanda tersebut.
Sakera melihat ketidakadilan,
lalu mencoba membela rakyat kecil dan berulang kali menggagalkan upaya carik
Rembang. Carik Rembang melaporkan perlawanan Sakera kepada pemimpin perusahaan.
Pemimpin perusahaan marah kemudian memerintahkan seorang pegawai pabrik
(Jagoan) bernama Markus untuk merencanakan membunuh Sakera. Pada saat karyawan
sedang istirahat Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang
Sakera. Sakera yang dilapori oleh para pekerja di Pabrik Gula tersebut marah
dan juga berniat ingin membunuh Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak pembunuhan
Markus oleh Sakera, sejak saat itu pula Sakera pun menjadi buronan pemerintah penjajah
Belanda.
Suatu hari, Sakera berkunjung ke
rumah ibunya, disanalah ia dikeroyok oleh Carik Rembang yang dibantu beberapa
tentara penjajah Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka Sakera
ahirnya menyerah, Sakera pun masuk penjara Bangil.
Siksaan demi siksaan dilakukan
polisi belanda kepada sakera setiap hari. selama dipenjara Pak Sakera mengkhawatirkan
keluarganya dirumah. Sakera memiliki istri yang sangat cantik bernama Marlena
dan seorang keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang memiliki jiwa
patriotik, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi, mabok-mabokan.
Tragisnya, secara sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri pamannya yang
bernama Sakera. Berkali kali Brodin berusaha untuk mendekati Marlena.
Sementara Sakera ada dipenjara,
Brodin berhasil berselingkuh dengan Marlena. Ketika kabar itu sampai di telinga
Sakera maka Sakera marah dan kabur dari penjara. Brodin pun tewas dibunuh
Sakera. Sakera kemudian melakukan balas dendam secara berturut turut, dimulai
Carik Rembang dibunuh, dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi perkebunan
yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tanganya dengan
senjata khusus 'clurit' nya. Kejadian itu terjadi ketika kepala polisi Bangil
yang Belanda itu mencoba menangkap Sakera.
Tak berhasil menangkap Sakera
dengan cara ksatria, penjajah Belanda menggunakan cara lama, yaityu politik adu
domba. Pemerintah penjajah Belanda mendatangi teman seperguruan Sakera yang
bernama Aziz. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan oleh Government penjajah Belanda di Bangil Aziz menjebak
Sakera. Penjebakan itu dilakukan dengan mengadakan tayuban. Sebab aziz tahu jika
Sakera paling senang tayuban. Akhirnya Sakera pun keluar dari
persembunyiaannya, terjebak dan dilumpuhkan ilmunya dengan pukulan menggunakan Bambu
Apus. Setelah penjajah Belanda berhasil mernangkap kembali Sakera yang kemudian
diadili oleh Government Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung. Sakera
gugur sebagai pahlawan DIGANTUNG oleh pemerintah penjajah Belanda di penjara
Bangil. Pahlawan Sadiman alias Sakera dimakamkan di Bekacak, Kelurahan
Kolursari, daerah paling selatan Kota Bangil.
Masih banyak keturunan Sakera
hingga kini. Mereka tersebar diantaranay di Pasuruan, Tampong, Bangil, Rembang
dan Surabaya. Bahkan salah satu keturunan Sakera yang merupakan simbol
perlawanan pemerintah penjajahan Belanda dari Bangil ini, pernah menduduki
Deputi Kementrian Percepatan Daerah Tertinggal pada masa pemerintahan Presiden
Abdurraham Wahid (Gus Dur).@Zoe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar