Howang Huwing Doa Kaya Kiai Kholil
Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan
memegangnya erat-erat seraya berucap: "Saafu lisanatan. Howang-howang,
hoing-hoing, Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih .....
sugih ..... sugih ..... ",
Pada suatu malam
hari menjelang pagi, seorang santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah.
Dalam benaknya tentu pagi itu ia tidak bisa melaksanakan sholat subuh
berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar pada sholat subuh berjamaah bukan karena
malas. Tetapi karena hambatan junub. Semalaman Bahar bermimpi tidur dengan
seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar sebab wanita itu adalah istri
Kiai Kholil, istri gurunya.
Menjelang subuh,
terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:
"santri kurang ajar ..., santri kurang ajar ..." Para santri yang
sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya. Ada
apa gerangan sehingga Kiai Kholil terlihat marah seperti itu. Para santri hanya
bertanya dalam hati, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar
memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi ia justru bersembunyi di belakang
pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah Kiai Kholil menghadapkan wajahnya
kepada semua santri seraya bertanya: Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?
" tanya Kiai Kholil dengan nada menyelidik. Semua santri merasa terkejut,
tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke
kanan kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak hadir
waktu itu hanyalah Bahar seorang. Sejenak kemudian Kiai Kholil memerintahkan santrinya
mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya.
Setelah
diketemukan, Bahar segera dibawa ke masjid dan dihadapkan kepada Kiai Kholil.
Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata: "Bahar,
karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka kamu harus dihukum.
Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini," perintah Kiai Kholil (Petok adalah sejenis pisau kecil dipakai untuk menyabit rumput).
Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus.
Dapat di
bayangkan, bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu hanya dengan menggunakan
alat bernama petok. Pisau kecil ini hanya bias digunakan sebagai pemotong benda
lunak bukan sebagai pemotong batang bambu. Sudah dipastikan bahwa bahar akan
menemui kesulitan besar. Namun, sebagai hukuman atas ketidakhadirannya pada
sholat subuh, Bahar harus menjalani hukuman itu dengan memotong dua batang
bambu dengan pisau kecil itu. Walau membutuhkan banyak waktu dan tenaga, dua
batang bambu itu akhirnya bisa ditebangnya.
Hukuman ini
akhirnya diselesaikan dengan baik. "Alhamdulillah, sudah selesai
Kiai," ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati saat menghadap gurunya Kiai
Kholil. "Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu
sampai habis," perintah Kiai kepada Bahar. Sekali lagi santri bernama Bahar
itu dengan patuh dan gembira menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar
menerima hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai
habis yang ada di sebuah nampan. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai
Kholil seraya berucap: "Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri orang
ini," ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar dan Kiai Kholil pun
meminta Bahar untuk pulang kampung halamannya. Memang benar, tak lama setelah
itu, santri yang mendapat sinyal mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi seorang Kiai
yang alim, yang memimpin sebuah pesantren besar di Jawa Timur. Kiai yang
beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang
diasuhnya di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
Kiai Kholil Masuk Penjara
Beberapa
pengungsi pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di pesantren Kiai Kholil.
Kompeni Belanda, rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda berupaya keras
untuk menangkap pejuang kemerdekaan yang bersembunyi di Pesantren Kiai Kholil
itu. Rencana penangkapan diupayakan secepatnya. Setelah yakin bersembunyi di
pesantren, tentara Belanda memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren
digrebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah
besar, karena kejengkelannya akhirnya mereka membawa pimpinan pesantren, yaitu
Kiai Kholil untuk ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap dengan ditahannya
Kiai Kholil, para pejuang segera dating dan menyerahkan diri.
Ketika Kiai
Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil mulai
muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Pertama ketika Kiai Kholil
masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup. Dengan
demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus-menerus. Kompeni Belanda
harus berjaga siang dan malam secara terus-menerus dan bergantian. Sebab, jika
tidak maka tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil
ditahan, ribuan orang dari Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan
mengirim makanan ke Kiai Kholil.
Kejadian ini
membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Pembesuk silih
berganti berdatangan setiap hari tiada hentinya. Karena kewalahan, akhirnya,
kompeni membuat larangan berkunjung ke tahanan bernama Kiai Kholil. Pelarangan
itu ternyata tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap
harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud membesuk ke Kiai Kholil
bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan tidak sedikit para pembesuk yang
minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini
jelas membuat Belanda makin kewalahan.
Penjajah kompeni
itu merasa khawatir, jika dibiarkan berlarut-larut suasana akan semakin parah,
justru bisa membahayakan pihak Belanda. Akhirnya, daripada pusing memikirkan
hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni Belanda melepaskan Kiai Kholil
begitu saja. Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua
kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara
sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar
penjara kembali pulang kerumahnya masing-masing.
Residen Belanda Minta Tolong Kiai Kholil
Suatu hari Residen
Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat surat yang cukup mengejutkan
dari pemerintah kolonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang
pemberhentian dirinya sebagai Residen di Bangkalan. Padahal, jabatan itu masih
diinginkannya dalam beberapa saat. Kastil ini sangat berbeda dengan Residen
Belanda lainnya. Hati nurani Residen ini tidak pernah menyetujui adanya
penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, Residen Belanda yang
bersimpati kepada Indonesia ini mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku
jabatan di Bangkalan.
Kebetulan sang
residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti
mandraguna. Tanpa pikir panjang lagi, sang residen segera pergi menemui orang
yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya itu. Maka,
berangkatlah sang residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa
koleganya. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sang residen Belanda langsung
menyampaikan hajatnya. Kiai Kholil tahu siapa yang dihadapinya itu, lalu
dijawab dengan santai seraya berucap: "Tuan selamat .... selamat,
selamat," ucapnya dengan senyum yang khas, Residen Belanda merasa puas
dengan jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang beberapa
hari setelah kejadian itu, sang residen menerima surat dari pemerintah Belanda
di Jakarta yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas
dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih
tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan. Sejak peristiwa itu, Kiai Kholil
diberi kebebasan melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan Kiai Kholil bisa
menaiki dokar, kereta kuda seenaknya melewati daerah yang sebelumnya terlarang untuk
dilewati di karesidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya. Baik residen
maupun aparat Belanda semua menaruh hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai.
Yang dianggap memiliki kesaktian yang luas biasa.
Santri Pencuri Pepaya
Pada suatu hari,
ada seorang santri berjalan-jalan di sekitar pondok pesantren Kedemangan.
Kebetulan di halaman dalam pesantren terdapat pohon pepaya yang buahnya sudah
matang-matang. Entah karena lapar atau buah pepaya sedemikian merangsang
seleranya, santri itu nekad mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan
dan ke kiri, merasa dirinya aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling
banyak buahnya. Kemudian dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang
itu. Setelah cukup banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan. Baru
saja kakinya menginjak tanah, ternyata sudah diketahui oleh beberapa santri,
tak ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu dilaporkan kepada Kiai Kholil.
Kiai marah besar kepada santri itu.
Setelah itu
disuruhnya dia memakan pepaya itu sampai habis, dan akhirnya diusir dari pondok
pesantren. Tak lama setelah kejadian itu, santri yang diusir karena mencuri
pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang alim. Kealiman dan ketenaran kiai
tersebut sampai kepada pesantren di Kedemangan. Mendengar berita menarik itu,
beberapa santri tertarik ingin mengikuti jejaknya.
Pada suatu hari,
beberapa santri mencoba mencuri pepaya di pesantren. Dengan harapan agar
dimarahi Sang Kiai. Begitu turun dari pohon pepaya. Kontan saja petugas santri
memergokinya. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Setelah melihat
beberapa saat kepada santri yang mencuri pepaya itu, seraya Kiai mengucap:
"Ya sudah, biarlah" kata Kiai Kholil dengan nada datar tanpa ada
marah tanpa ada pengusiran. "Wah, celaka saya tidak bisa menjadi
kiai," desah santri pencuri pepaya sambil menangis menyesali perbuatannya
dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari
menjelang sholat maghrib, seperti biasanya, Kiai Kholil mengimami jamaah sholat
berjamaah bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil
mengimami sholat, tiba-tiba ia kedatangan tamu orang berbangsa Arab, orang
Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui
tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang. Tiba-tiba si Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil
berucap: "Kiai ..., bacaan Al Fatihah (antum) kurang fasih", tegur
sang habib. "O ... begitu", jawab Kiai Kholil.
Setelah
berbasa-basi, beberapa saat, Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk
melaksakan sholat maghrib. "Tempat wudlu ada disebelah masjid itu. Habib,
Silahkan ambil wudlu disana", ucap Kiai sambil menunjukan arah tempat
wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba Habib dikejutkan dengan munculnya
macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya yang fasih untuk
mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun habib mengucapkan bahasa
arab dengan fasihnya untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi
juga.
Mendengar
ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada
macan yang tampaknya menjadi penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan
sepatah dua patah kata dalam bahasa arab. Anehnya, sang macan yang mendengar
kalimat arab yang dilontarkan Kiai Kholil, macan tutul bergegas menjauh. Dengan
kejadian ini, Habib menyadari dan memahami bahwa sebetulnya Kiai Kholil
bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak
antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam
ungkapan itu.
Tongkat Kiai Kholil dan Sumber Mata Air
Pada suatu hari.
Kiai Kholil berjalan kearah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya.
Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai
Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, segera
Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan tongkat
Kiai Kholil, memancar sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin
besar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum
dan mandi. Lebih dari itu, sumber mata airnya dapat menyembuhkan berbagai macam
penyakit. Kolam yang bersejarah itu, hingga sekarang masih ada.
Howang-Howing Jadi Kaya
Suatu hari,
seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat sowan ke Kiai Kholil. Dia bermaksud untuk meminta
pertolongan kepada Kiai Kholil agar bisa terkabul hajatnya. "Kiai, saya
minta didoakan agar cepat kaya. Saya sudah bosan hidup miskin", kata Koh
Bun Fat dengan penuh harap. Melihat permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas
memberi isyarat menyuruh mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil,
tiba-tiba Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat
seraya berucap: "Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak Wang,
Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih ..... sugih ..... sugih .....
", suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti. Setelah mendapat
doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun Fat benar-benar berubah kehidupannya, dari
orang miskin menjadi kaya.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar