Senin, 11 Februari 2013

Kiai Kholil Waliyullah Kesebelas Tanah Jawa (3)


Howang Huwing Doa Kaya Kiai Kholil 

Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat seraya berucap: "Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih ..... sugih ..... sugih ..... ",


Pada suatu malam hari menjelang pagi, seorang santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah. Dalam benaknya tentu pagi itu ia tidak bisa melaksanakan sholat subuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar pada sholat subuh berjamaah bukan karena malas. Tetapi karena hambatan junub. Semalaman Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya.

Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: "santri kurang ajar ..., santri kurang ajar ..." Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya. Ada apa gerangan sehingga Kiai Kholil terlihat marah seperti itu. Para santri hanya bertanya dalam hati, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.

Subuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi ia justru bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: Siapa santri yang tidak ikut berjamaah? " tanya Kiai Kholil dengan nada menyelidik. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar seorang. Sejenak kemudian Kiai Kholil memerintahkan santrinya mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya.

Setelah diketemukan, Bahar segera dibawa ke masjid dan dihadapkan kepada Kiai Kholil. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata: "Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka kamu harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini," perintah Kiai Kholil (Petok adalah sejenis pisau kecil dipakai untuk menyabit rumput). Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus.

Dapat di bayangkan, bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu hanya dengan menggunakan alat bernama petok. Pisau kecil ini hanya bias digunakan sebagai pemotong benda lunak bukan sebagai pemotong batang bambu. Sudah dipastikan bahwa bahar akan menemui kesulitan besar. Namun, sebagai hukuman atas ketidakhadirannya pada sholat subuh, Bahar harus menjalani hukuman itu dengan memotong dua batang bambu dengan pisau kecil itu. Walau membutuhkan banyak waktu dan tenaga, dua batang bambu itu akhirnya bisa ditebangnya.

Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik. "Alhamdulillah, sudah selesai Kiai," ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati saat menghadap gurunya Kiai Kholil. "Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis," perintah Kiai kepada Bahar. Sekali lagi santri bernama Bahar itu dengan patuh dan gembira menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar menerima hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di sebuah nampan. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap: "Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri orang ini," ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar dan Kiai Kholil pun meminta Bahar untuk pulang kampung halamannya. Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat sinyal mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi seorang Kiai yang alim, yang memimpin sebuah pesantren besar di Jawa Timur. Kiai yang beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.

Kiai Kholil Masuk Penjara
Beberapa pengungsi pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda, rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda berupaya keras untuk menangkap pejuang kemerdekaan yang bersembunyi di Pesantren Kiai Kholil itu. Rencana penangkapan diupayakan secepatnya. Setelah yakin bersembunyi di pesantren, tentara Belanda memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren digrebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar, karena kejengkelannya akhirnya mereka membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap dengan ditahannya Kiai Kholil, para pejuang segera dating dan menyerahkan diri.

Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil mulai muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Pertama ketika Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup. Dengan demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus-menerus. Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara terus-menerus dan bergantian. Sebab, jika tidak maka tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan orang dari Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan ke Kiai Kholil.

Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Pembesuk silih berganti berdatangan setiap hari tiada hentinya. Karena kewalahan, akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung ke tahanan bernama Kiai Kholil. Pelarangan itu ternyata tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud membesuk ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan tidak sedikit para pembesuk yang minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda makin kewalahan.

Penjajah kompeni itu merasa khawatir, jika dibiarkan berlarut-larut suasana akan semakin parah, justru bisa membahayakan pihak Belanda. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni Belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja. Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar penjara kembali pulang kerumahnya masing-masing.

Residen Belanda Minta Tolong Kiai Kholil
Suatu hari Residen Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah kolonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai Residen di Bangkalan. Padahal, jabatan itu masih diinginkannya dalam beberapa saat. Kastil ini sangat berbeda dengan Residen Belanda lainnya. Hati nurani Residen ini tidak pernah menyetujui adanya penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, Residen Belanda yang bersimpati kepada Indonesia ini mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan.

Kebetulan sang residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti mandraguna. Tanpa pikir panjang lagi, sang residen segera pergi menemui orang yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya itu. Maka, berangkatlah sang residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa koleganya. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sang residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya. Kiai Kholil tahu siapa yang dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya berucap: "Tuan selamat .... selamat, selamat," ucapnya dengan senyum yang khas, Residen Belanda merasa puas dengan jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.

Selang beberapa hari setelah kejadian itu, sang residen menerima surat dari pemerintah Belanda di Jakarta yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan. Sejak peristiwa itu, Kiai Kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan Kiai Kholil bisa menaiki dokar, kereta kuda seenaknya melewati daerah yang sebelumnya terlarang untuk dilewati di karesidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya. Baik residen maupun aparat Belanda semua menaruh hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai. Yang dianggap memiliki kesaktian yang luas biasa.

Santri Pencuri Pepaya
Pada suatu hari, ada seorang santri berjalan-jalan di sekitar pondok pesantren Kedemangan. Kebetulan di halaman dalam pesantren terdapat pohon pepaya yang buahnya sudah matang-matang. Entah karena lapar atau buah pepaya sedemikian merangsang seleranya, santri itu nekad mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, merasa dirinya aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling banyak buahnya. Kemudian dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang itu. Setelah cukup banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan. Baru saja kakinya menginjak tanah, ternyata sudah diketahui oleh beberapa santri, tak ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Kiai marah besar kepada santri itu.

Setelah itu disuruhnya dia memakan pepaya itu sampai habis, dan akhirnya diusir dari pondok pesantren. Tak lama setelah kejadian itu, santri yang diusir karena mencuri pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang alim. Kealiman dan ketenaran kiai tersebut sampai kepada pesantren di Kedemangan. Mendengar berita menarik itu, beberapa santri tertarik ingin mengikuti jejaknya.

Pada suatu hari, beberapa santri mencoba mencuri pepaya di pesantren. Dengan harapan agar dimarahi Sang Kiai. Begitu turun dari pohon pepaya. Kontan saja petugas santri memergokinya. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Setelah melihat beberapa saat kepada santri yang mencuri pepaya itu, seraya Kiai mengucap: "Ya sudah, biarlah" kata Kiai Kholil dengan nada datar tanpa ada marah tanpa ada pengusiran. "Wah, celaka saya tidak bisa menjadi kiai," desah santri pencuri pepaya sambil menangis menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya.

Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat maghrib, seperti biasanya, Kiai Kholil mengimami jamaah sholat berjamaah bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba ia kedatangan tamu orang berbangsa Arab, orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang. Tiba-tiba si  Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil berucap: "Kiai ..., bacaan Al Fatihah (antum) kurang fasih", tegur sang habib. "O ... begitu", jawab Kiai Kholil.

Setelah berbasa-basi, beberapa saat, Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksakan sholat maghrib. "Tempat wudlu ada disebelah masjid itu. Habib, Silahkan ambil wudlu disana", ucap Kiai sambil menunjukan arah tempat wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun habib mengucapkan bahasa arab dengan fasihnya untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.

Mendengar ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya menjadi penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata dalam bahasa arab. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat arab yang dilontarkan Kiai Kholil, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib menyadari dan memahami bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.

Tongkat Kiai Kholil dan Sumber Mata Air
Pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan kearah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, segera Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan tongkat Kiai Kholil, memancar sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu, sumber mata airnya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kolam yang bersejarah itu, hingga sekarang masih ada.

Howang-Howing Jadi Kaya
Suatu hari, seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat sowan ke Kiai Kholil. Dia bermaksud untuk meminta pertolongan kepada Kiai Kholil agar bisa terkabul hajatnya. "Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya. Saya sudah bosan hidup miskin", kata Koh Bun Fat dengan penuh harap. Melihat permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas memberi isyarat menyuruh mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil, tiba-tiba Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat seraya berucap: "Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih ..... sugih ..... sugih ..... ", suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti. Setelah mendapat doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun Fat benar-benar berubah kehidupannya, dari orang miskin menjadi kaya.@bersambung

Tidak ada komentar: