Mungkin penulis bukan orang pertama
yang menulis tentang sejarah nama Indonesia. Mungkin sebelum kita merdeka, tanpa bermaksud memberikan informasi basi, penulis mengingatkan lagi tentang
nama “Indonesia” yang menunjukkan kita sudah hidup sejak jaman purba.
Bangsa
Tionghoa, India, Arab punyaistilah sendiri untuk Indonesia. Sebuah nama yang
sudah sangat familiar kita ucap dan dengar, tetapi ternyata nama ini mempunyai
sejarah tersendiri. Nama Indonesia, yang pada masa sebelum kemerdekaan adalah
istilah untuk menyebut Kepulauan di Tanah Air ini.
Sebutan Untuk kepulauan Indonesia
Dari Berbagai Bangsa di Jaman Purbakala
1. Bangsa Tionghoa : “Nan-Hai”
Dalam catatan bangsa Tionghoa
kawasan kepulauan kita dinamai “Nan-hai” (Kepulauan Laut Selatan).
2. Bangsa India : “Dwipantara
Berbagai catatan kuno bangsa
India menamai kepulauan ini “Dwipantara” Kepulauan Tanah Seberang), nama yang
diturunkan dari kata Sansekerta “Dwipa” (pulau) dan “antara” (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga
Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama
yang diculik Ravana, sampai ke “Suwarnadwipa” (Pulau Emas, yaitu Sumatra
sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
3. Bangsa Arab : “Alza’ir Al-Jawi
Bangsa Arab menyebut tanah air
ini “Jaza’ir al-Jawi” (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah
“benzoe”, berasal dari bahasa Arab “luban jawi” (kemenyan Jawa), sebab para
pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon “Styrax sumatrana” yang
dahulu hanya tumbuh di Sumatra.
Sebutan Untuk Kepulauan Indonesia
oleh Tokoh di Yunani (484-425 SM)
Herodotus : ” Hindia”
Nama Hindia ini adalah buatan
dari Herodotus, seorang ahli ilmu sejarah berkebangsaan Yunani (484-425 SM)
yang dikenal sebagai bapak Ilmu Sejarah. Adapun nama Hindia ini baru digunakan
untuk kepulauan ini, oleh Polomeus (100-178), seorang ahli ilmu bumi yang
terkenal. Dan nama Hindia ini menjadi terkenal, sesudah Bangsa Portugis di
bawah pimpinan : Vasco da Gama mendapati kepulauan ini dengan menyusur sungai
Indus tahun 1948 M.
Masa Bangsa Eropa ke Asia
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama
kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India ,
dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina
semuanya adalah Hindia. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan
daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita
memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago,
l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost
Indie, East Indies , Indes
Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische
Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Pada akhirnya tanah air bangsa
Belanda datang dan menjajah tanah air ini, nama resmi yang digunakan adalah
“Nederlandsch- Indie” (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang
1942-1945 memakai istilah “To-Indo” (Hindia Timur).
Nama Untuk Indonesia Atas Ide
Beberapa Tokoh
1. Eduard Douwes Dekker :
“Insulinde“
Eduard Douwes Dekker (1820-1887),
dikenal dengan nama samaran Multatuli, mengusulkan nama untuk tanah air yaitu
“Insulinde“, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti
pulau). Namun sebutan “Insulinde” ini kurang populer.
2. Alfred Russel Wallace : “The
Malay Archipelago
Alfred Russel Wallace tahun 1869,
setelah mengadakan perlawanan ke tanah air, dari tahun 1854-1862, beliau
menamai Kepulauan Indonesia dengan “The Malay Archipelago. Adapun
“Malay”-artinya ialah Melayu, sedangkan “Archipelago” dari Bahasa Belanda atau
Perancis ; “Archipel” yang berasal dari Bahasa Yunani; “Archipelagus” (dari
asal kata Archi = memerintah; plagues = laut). Dengan demikian berarti menguasai
laut, atau berarti kumpulan pulau-pulau Melayu
3. Ernest Francois Eugene Douwes
Dekker : “Nusantara”
Pada tahun 1920-an, Ernest
Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), atau dikenal sebagai Dr. Setiabudi
(cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang
tidak mengandung unsur kata India. Nama itu adalah “Nusantara”, suatu istilah
yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.
Setiabudi mengambil nama itu dari
Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad
ke-19 Lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas
Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian “Nusantara” yang
diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian “Nusantara” zaman Majapahit.
Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar
Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari
Jawadwipa ( Pulau Jawa).
Kita tentu pernah mendengar
Sumpah Palapa dari Gajah Mada, ”Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti
palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati
istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi
jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli
antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “Nusa di antara dua
benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara
yang modern.
Istilah nusantara dari Setiabudi
ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama
Hindia Belanda. Hingga kini istilah “Nusantara” masih dipakai untuk menyebutkan
wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan
negara tetap Indonesia.
4. James Richardson Logan :
“Indunesia” atau “Malayunesia” menjadi “Indonesia”
Pada tahun 1847 di Singapura
terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, “Journal of the Indian Archipelago and
Eastern Asia ” (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869),
orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian
pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor
Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850,
halaman 66-74, Earl menulis artikel “On the Leading Characteristics of the
Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”. Dalam artikelnya itu Earl
menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau
Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama “Hindia”
Tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl
mengajukan dua pilihan nama: “Indunesia” atau “Malayunesia” ( nesos dalam
bahasa Yunani berarti Pulau).
Pada halaman 71 artikelnya itu
tertulis: “… the inhabitants of the Indian Archipelago or malayan Archipelago
would become respectively Indunesians or Malayunesians.”
Earl sendiri menyatakan memilih
nama “Malayunesia” (Kepulauan Melayu) daripada “Indunesia” (Kepulauan Hindia),
sebab “Malayunesia” sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan “Indunesia” bisa
juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata
Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya
itu Earl memang menggunakan istilah “Malayunesia” dan tidak memakai istilah
“Indunesia”. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson
Logan menulis artikel “The Ethnology of the Indian Archipelago.” Pada awal
tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air
ini, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan.
Logan memungut nama “Indunesia”
yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih
baik.
Untuk pertama kalinya kata
Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan
: “Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in
favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which
is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago.”
Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di
kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara.
Sejak saat itu Logan secara
konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan
lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang
etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas
Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku “Indonesien oder
die Inseln des Malayischen Archipel” sebanyak lima volume, yang memuat hasil
penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang
memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat
timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang
tidak benar itu, antara lain tercantum dalam “Encyclopedie van
Nederlandsch-Indie” tahun 1918.
Padahal Bastian mengambil istilah
“Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan. Putra ibu pertiwi yang mula-mula
menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan
sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Muncul Nama “Hindia Belanda”
Pada dasawarsa 1920-an, nama
“Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu
diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga
nama itu memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang
memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan
waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas
inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi
Ekonomi) di Rotterdam , organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda
(yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama
menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka,
Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam
tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije
Indonesische staat) mustahil disebut Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja,
sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli.
“Menurut kami nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya.” Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische
Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia
berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong
Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij
(Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah
air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia”
dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan
Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah
Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR
zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardji
Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama
“Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”.
Kongres
Pemuda
Tetapi Belanda keras kepala
sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Lenyapnya Nama “Hidia Belanda”
dan Kembali Pada Nama “Indonesia”
Setelah 350 tahun Indonesia
diatas penjajahan Belanda, pada akhirnya tanah air kita jatuh ke tangan Jepang
pada tanggal 8 Maret 1942, maka lenyaplah nama “Hindia Belanda” di bumi pertiwi
ini.
Pada tanggal 14 Agustus 1945
Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945,
Indonesia diberi kemerdekaan. Setelah Indonesia menjadi Negara Kesatuan
republik Indonesia, maka sejak itu nama “Indonesia” mengumandang hingga detik
ini.@fitri tasfiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar