Jurnalis Independen: Inilah bukti kesombongan negara-negara barat (AS). Setelah hampir 50 tahun tragedi penggulingan Pemerintahan Soekarno, AS membuka perannya lewat CIA, Adam Malik dan Soeharto yang menjadi begundalnya. Dengan Pongahnya, AS berusaha membersihkan peranan PKI dan penerbit Hasta Mitra yang menjadi corong Partai tak bertuhan di Indonesia. Saat itu, Presiden Pertama Indonesia yang amat ditakuti, disegani kawan maupun lawan dan mendapat ruang dihati rakyat, tidak seperti Presiden Indonesia lainnya yang menjadi jongos pemerintah asing, dijungkalkan oleh AS hingga meletus Tragedi Black September yang menjadi ikon perjuangan Yahudi seluruh dunia. Setiap penyerangan dan penjatuhan kaum muslim selalu diawali oleh tragedi pada bulan ini. Kini mereka membuka hasil kerja mereka yang hanya meninggalkan lara dan penjajahan tanpa batas waktu di negeri ini hingga kini. Dasar biadab! mengapa negeri ini masih bercengkrama dengan mereka? Mungkinkah berjibun para petinggi negeri ini telah menjadi hamba AS untuk mengeruk seluruh kekayaan yang seharusnya menjadi sumber kemakmuran rakyat negeri ini?
Semenjak kemerdekaan, Indonesia
sudah menjadi ladang operasi intelejen dari berbagai negara. Jaringan yang
cukup berpengaruh adalah M-16 dari Inggris dan CIA dari AS di samping intelejen
RRC dan KGB-nya Uni Soviet. Semua jaringan intelejen ini bekerja di bidang
pengawasan, pengaruh, pengarahan operasi, sampai pengambilalihan kekuasaan di
tahun 1965 dari Presiden Soekarno oleh Soeharto yang dilandasi dengan satu
kepentingan yang pembuktiannya hanya bisa dilihat dalam kelanjutan setelah
kudeta 1965.
Kelanjutannya adalah pembantaian
massal, pelarangan ideologi komunis, Soekarnois dan PKI, dan semua partai
maupun organisasi masyarakat yang dekat dengan Soekarno. Bagaimanapun,
kejatuhan Soekarno dari kepemimpinan nasional sebagai presiden pertama RI tetap
merupakan misteri sejarah. Namun, rentetan peristiwa setelah kejatuhan Soekarno
membuktikan peristiwa tersebut terencana sangat matang dan canggih.
Sebuah dokumen operasi Intelejen
CIA 1964 – 1966 yang lengkap dari Amerika Serikat telah dibuka pada publik
internasional. Dokumen tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan sebagai
salah satu bahan untuk meluruskan sejarah yang selama ini terdistorsi
kepentingan Orde Baru.
Indonesia di bawah kepemimpinan
Soekarno memainkan peranan penting dalam kancah perang dingin antara blok Barat
yang dipimpin AS dan blok Timur yang terdiri dari negara-negara sosialis.
Kepemimpinan Indonesia terlihat dalam menggalang kekuatan internasional dalam
Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok maupun NEFO (New Emerging Forces)
sebagai garis politiknya untuk menghadapi imperialisme dengan OLDEFO.
Dokumen CIA yang sebelumnya
merupakan dokumen rahasia yang berisi sejumlah informasi penting seputar
peristiwa tersebut kini telah terbuka untuk publik. Penerbit Hasta Mitra yang
dipimpin Joesoef Isak dan selama ini dikenal sebagai penerbit karya-karya
Pramudya Ananta Toer, menerbitkan terjemahaan dokumen CIA itu dalam sebuah buku
yang berjudul Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi
G30S-1965.
Mengomentari buku ini, Letjen (purn)
Agus Widjojo mengatakan kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa ia merupakan
dokumen otentik yang menggambarkan kepentingan negara adidaya dalam situasi
Perang Dingin. “Pada masa itu ideologi adalah panglima, sehingga dinamikanya
antara Barat dan Timur. Namun, faktor intern dalam negerilah yang menentukan
terjadinya peristiwa 1965,” ujar putra almarhum Jenderal Soetojo, yang menjadi
salah seorang korban peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Agus menegaskan secara umum teori
pertentangan antara sipil yang dipimpin Soekarno dan PKI berhadapan dengan
sebagian TNI-AD adalah faktor internal yang menjadi titik lemah bagi masuknya
kepentingan konflik perang dingin, dalam hal ini Amerika Serikat, Uni Soviet,
dan Cina, yang bukan kebetulan dimenangkan oleh Amerika yang mewakili Barat.
Karena itu, Agus Widjojo mengingatkan, bila kita bercermin pada kejadian tahun
1965 itu, dalam situasi krisis multidimensi dan ancaman disintergrasi yang
dialami oleh bangsa Indonesia pada saat ini, pilihannya hanyalah melakukan
konsolidasi dalam satu rekonsiliasi yang pasti, atau hancur berkeping-keping
dalam perang saudara dan intervensi asing di bidang ekonomi maupun politik.
Dokumen Gilchrist
Untuk membaca dokumen CIA ini
mungkin dibutuhkan satu latar belakang historis. Seorang purnawirawan perwira
tinggi TNI-AD berusaha mendudukkan alur secara kronologis. Dalam pandangannya,
peristiwa 1965 dipicu oleh sebuah dokumen yang bernama Dokumen Gilchrist.
Gilchrist—duta besar Inggris pada waktu itu—sebagai pelaksana operasi intelejen
Inggris dan AS, mengeluarkan dokumen yang berisikan situasi palsu tentang
konsolidasi TNI-AD, yang disebutnya sebagai Dewan Jenderal. Dokumen ini yang
dibawa oleh Chaerul Saleh, tokoh Partai Murba ke Soekarno, Subandrio, dan
akhirnya Adit. Dalam sebuah pesta sebelumnya di Eropa, Gilchrist pernah berkata
bahwa satu kali tembakan akan mengubah Indonesia.
Belakangan baru terungkap,
sekretaris dubes Inggris-lah yang mempersiapkan skenario operasi anti-PKI
dengan isu amoral, asusila, dan anti-agama yang kemudian dilansir ke sejumlah
koran Ibu Kota seperti Merdeka, Berita Yudha, dan Angkatan Bersenjata. Hal ini
terungkap karena ada satu dokumen telegram kampanye dengan isu tersebut ke
redaksi Merdeka. Menurut sumber itu, menanggapi situasi yang digambarkan Dokumen
Gilchrist, Soekarno memerintahkan untuk segera mengatasi persoalan ini. Kolonel
Soeparjo dan Kolonel Mursid kemungkinan menolak yang kemudian jatuh ke Letkol
Untung sebagai pelaksana G30S. Kalau benar DN Aidit ingin melakukan revolusi
dari atas, langkah itu keliru karena dia tidak melibatkan jajaran TNI yang
berpihak ke PKI, dan harus diingat Letkol Untung ternyata bukan dari kalangan
tersebut.
Ada hal menarik dalam buku itu,
seperti daftar nama 500-an pemimpin PKI yang dikeluarkan oleh CIA dan disampaikan
lewat Adam Malik ke TNI-AD yang berbobot perintah operasi pembasmian secara
cepat agar PKI benar-benar lumpuh rantai komandonya. Hanya dengan operasi cepat
inilah AS percaya dapat melumpuhkan PKI dan dapat menaikkan moral TNI-AD untuk
melawan Soekarno dan PKI. Hanya sedikit perwira yang memiliki keberanian dan
pengalaman melawan Soekarno, yaitu mereka yang terlibat di PRRI dan Permesta
semacam Zulkifli Lubis, Vence Sumual, Kawilarang, dan tentu saja Kemal Idris.
Aktivis buruh Dita Indah Sari
mengomentari bahwa dokumen-dokumen dalam buku ini memang membuktikan pendanaan
dari pemerintah AS yang dijalankan oleh CIA adalah untuk operasi penggulingan
Soekarno.
Hal ini didahului oleh tindakan
mata-mata terhadap semua kegiatan dan keputusan Soekarno, terutama sehubungan
dengan konfrontasi dengan Malaysia dan pengiriman relawan ke Malaysia. Hal-hal
itu terungkap dalam semua dokumen percakapan telepon, telegram, maupun surat
rahasia pejabat-pejabat AS baik di Amerika maupun di Indonesia seperti: Lindon
Johnson (Presiden AS), Dean Rusk (Menteri Luar Negeri), Mc Namara (Menteri
Pertahanan), Howard Jones (Dubes AS di Indonesia), V. Forrestal (Staf Dewan
Keamanan Nasional), Mc George Bundy (Assisten Khusus Presiden Urusan Keamanan).
Seperti yang tertuang dalam
halaman 156-158: Memorandum dipersiapkan CIA untuk State Department (dari Colby
untuk Bundy) 18 September 1964 tentang prospek untuk aksi tersembunyi …di
antara mereka beberapa telah menunjukkan kemampuan melakukan kegiatan politik
tersembunyi meskipun terbatas namun efektif. Lebih jauh ada terdapat sejumlah
pendekatan ke kedutaan dan komponen misi lainnya oleh
individu-individu—beberapa untuk kepenitngan diri sendiri, yang lain adalah
untuk mencari bantuan agar mereka mampu melawan komunisme di Indonesia…untuk
itu kami mengajukan sebuah program aksi tersembungi yang intensif, terbatas
pada tujuan awalnya, tapi dirancang untuk ekspansi jika situasi mengijinkan.
Cuci Tangan
Namun Dr. Salim Said, menegaskan
bahwa penerjemahan dan penerbitan buku ini jangan menjadi ajang cuci tangan PKI
terhadap peristiwa 1965. Memang Amerika terlibat, tapi aspek-aspek lain juga di
luar Amerika harus diperhitungkan, jelas buku ini diterbitkan oleh Hasta Mitra
supaya menjernihkan persoalan terutama, soal keterlibatan AS, jangan malahan
menjadikannya semakin kabur. Joesoef Isak sendiri menegaskan dalam pengantarnya
bahwa penerbitan buku ini sama sekali tidak bermaksud membangkitkan kemarahan
rakyat Indonesia kepada dunia Barat.
“Kita sepenuhnya sadar bahwa juga
di dunia barat maupun di Amerika terdapat cukup banyak unsur-unsur The New
Emerging Forces dalam semua tingkatan kehidupan mereka yang sama-sama
mendambakan persahabatan dan perdamaian di dunia ini.
Sebaliknya kita juga sadar, bahwa
kekuatan besar The Old Established Forces masih kuat bercokol dan mengacau
rumah tangga kita sendiri,” ujarnya. Ia melanjutkan bahwa itulah sebabnya
globalisasi ekonomi-politik dan globalisasi intelejen yang berwatak destruktif
bagi kemanusiaan, keadilan yang beradab, dan perdamaian bumi manusia, mutlak
juga harus dihadapi dengan kerja sama dan penggalangan globalisasi solidaritas
The New Emerging Forces sedunia.@
Sumber: History The Explorer »
Dokumen CIA Melacak Penggulingan dan Konspirasi G-30-S-1965.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar