Kamis, 04 Juli 2013

Siluman Rawa Onom (13)


Jendra Selamatkan Kang Dayat dari Siluman Berwujud Lintah

Jurnalis Independen: Bendara Wedana khawatir akan kesanggupan Jendra. Barangkali Bendara Wedana ini khawatir akan  nasib pegawainya ini. Namun karena yang lain diam saja, maka Bendara Wedana terpaksa mengiyakannya.


"Yang penting kau hati-hati. Bawa Jang Dayat dengan tak kurang suatu apa dan begitu pun dirimu, "kata Bendara Wedana.
"Saya akan junjung tinggi pesan ini, Gamparan .. . " tutur Jendra menyembah hormat. Maka
ketika rombongan berjalan ke arah selatan, Jendra berjalan menuju arah utara kembali. "Hati hatilah Jendra! " teriak Mang Sajum. Jendra hanya bisa mengangguk pasti.

Maka Jendra kini berjalan sendirian, melewati jalanan setapak yang kian lama kian mengecil
dan menghilang sama-sekali. Hingga pada suatu saat, kakinya hanya melangkah di semak belukar yang sedikit mengandung rawa dan tanah lembek. Jendra tak bisa memastikan, apakah tadi subuh memang benar terjadi hujan lebat dengan halilintar saling sambung menyambung? Yang jelas, di sini hujan tak berbekas sebab sepanjang perjalanan, tanah rawa selalu basah . Sesekali Jendra musti berhenti untuk memeriksa kakinya yang terasa gatal. Dan bila kaki itu diperiksa, maka ketahuan rasa gatal terjadi lantaran lintah sebesar ibu jari melekat erat menyedot darah di bagian kaki.

Jendra terus melangkah menuju wilayah Rancabingung. Rancabingung itu memang berada di
wilayah Rawa onom. Mungkin Pulo Handiwung pun di sekitar sini. Bila benar, maka Jendra jangan harap bisa menemukan Kampung Handiwung, sebab di dunia nyata, tak ada Kampung Handiwung. Yang ada hanyalah Pulo Handiwung, seperti apa yang dikatakan penduduk Kampung Babakan tadi.

"Aku pun jangan harap menemukan jalan pedati yang besar dan rata, atau pun bisa
menemukan deretan rumah-rumah bagus, sebab itu semua hanya ada di dunia gaib ... "
tuturnya dalam hati. Tapi Jendra merasa, bisa menemukan Jang Dayat di dunia nyata ini pula.
Dia berpikir berdasarkan pengalaman yang pernah menimpanya. Beberapa hari lalu, dia pun sempat terperosok ke dunia gaib, namun sebetulnya hanya sukmanya saja, sebab raga kasarnya tetap utuh di dunia nyata. Maka berdasarkan pengalaman ini, Jendra memastikan bisa menemukan tubuh Jang Dayat. "Semoga Jang Dayat tetap utuh ..." tuturnya dalam hati.

Maksudnya, Jendra memohon pada Tuhan agar keamanan Jang Dayat dilindungi. Kalau
pun tubuh Jang Dayat ditemukan, maka dia minta agar tubuh itu tetap utuh bergabung jiwa
dan rohnya. Rupanya doa Jendra terkabul sebab jauh di depan, nampak tubuh Jang Dayat
meringkuk di bawah pohon besar dan berjanggut.

Jang Dayat masih hidup sebab tubuhnya bergerak-gerak. Gerakannya bahkan sedikit keras,
bukan sekedar menggigil. Yang membuat Jendra terkejut, tubuh Jang Dayat sekujurnya
dikerubuti oleh puluhan bahkan ratusan ekor lintah dan lipan. Binatang menjijikkan itu tampak
menyedot tubuh Jendra. Ada darah meleleh di setiap wilayah tubuh yang disedotnya. Jendra
berupaya sekuat tenaga mencabuti tubuh lintah dan lipan.

Jendra seperti bertarung keras melawan ratusan lintah atau lipan yang mengerubuti tubuh
Jang Dayat. Kalau dia telat mencabuti binatang itu, maka darah Jang Dayat akan terkuras
disedot binatang haus itu. Lintah-lintah itu sungguh keras dan bandel. Ketika ada yang bisa
dicabut, maka ketika dilempar, lintah itu melata memburu tubuh Jang Dayat kembali. Begitu
seterusnya. Itulah sebabnya Jendra hampir kewalahan. Akal satu-satunya, Jendra menghunus
golok yang ada di pinggang Jang Dayat.

Dengan mata golok, maka lintah lintah itu diserutnya seperti membersihkan lumut di dinding. Dengan begitu, banyak lintah bisa diusir pergi seketika. Setiap lintah yang jatuh ke tanah, segera dibabat habis dengan goloknya, begitu berulang-ulang. Begitu seluruh lintah bisa diusir pergi, begitu pula kesadaran Jang Dayat tumbuh. Tubuh Jang dayat menggeliat. Namun setelah celingukan dan bisa menatap Jendra, segera dia memeluk tubuh Jendra sambil berteriak-teriak histeris. "Aduh, Jendra! Tolong aku! Selamatkan nyawaku! Selamatkan nyawaku!" teriaknya terlongong-longong.

"Kau sudah aman! Kau sudah aman!" jawab Jendra menepis-nepis pipi Jang Dayat agar
kesadarannya segera pulih. Beberapa saat kemudian, kesadaran Jang Dayat bisa pulih secara
utuh. Namun demikian, untuk beberapa saat dia tak bisa ditanya. Kerjanya hanya melongo saja sambil sesekali bergidik ngeri. Sesudah berselang lama, barulah Jang Dayat bisa ditanya.

"Apa yang kau alami selama ini, Dayat?" tanya Jendra memegangi tengkuk Jang Dayat.
"Aku dikepung satu pasukan bersenjata. Mereka mencecarku dengan berbagai senjata tajam.
Darahku sudah berceceran di setiap bagian tubuhku. Untung kau membantu mengusir
penyerang-penyerang itu ... " kata Jang Dayat sambil kembali bergidik.

"Engkau diserang oleh Tim Galuh, Jang Dayat?" tanya Jendra.
"Diserbu Tim Galuh? Sungguh edan dan sungguh sulit dimengerti. Penyerang itu malah
menuduhku bagian dari Pasukan Galuh. Serbu prajurit Galuh. Bunuh prajurit Galuh! Begitu
teriak mereka. "

"Kalau begitu, kau pasti diserbu oleh Tim Pemerintah Pulo Majeti, Jang Dayat ... "
"Ya, benar. Mereka mengaku sebagai prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Tapi eh ... dari mana
engkau tahu, Jendra? " tanya Jang Dayat heran. Jendra hanya tersenyum tipis.
"Mari kita pulang saja ke Rancah ..." ajak Jendra berjingkat.

Dengan agak lemah, Jang Dayat pun berdiri. Beberapa bagian tubuhnya yang berbintik merah
dan ada noda darah, dia seka satu persatu. "Jendra, apakah aku ini mimpi atau apa? Kapan
disebut mimpi, kok tubuhku penuh luka? " tanya Jang Dayat terheran-heran. "Biar kita obrolkan nanti di rumah saja ..." tutur Jendra berjalan duluan. Jang Dayat ikut berlari kecil di belakangnya seperti takut tertinggal.

"Kau musti hati-hati dengan perempuan, Jendra ..."
"Oh, ya ...?"
"Kalau permintaannya tak diturut, perempuan suka ngadat, memaksa , bahkan menekan. "
"Oh, ya?"
"Nyi Tarsih bahkan memanggil beberapa prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Dia katakan aku
pengkhianat dari Galuh. " tutur Jang Dayat kembali bergidik.
"Nyi Tarsih?" @bersambung

Tidak ada komentar: