Jendra Selamatkan Kang Dayat dari
Siluman Berwujud Lintah
Jurnalis Independen: Bendara
Wedana khawatir akan kesanggupan Jendra. Barangkali Bendara Wedana ini khawatir
akan nasib pegawainya ini. Namun karena
yang lain diam saja, maka Bendara Wedana terpaksa mengiyakannya.
"Yang penting kau hati-hati.
Bawa Jang Dayat dengan tak kurang suatu apa dan begitu pun dirimu, "kata
Bendara Wedana.
"Saya akan junjung tinggi pesan
ini, Gamparan .. . " tutur Jendra menyembah hormat. Maka
ketika rombongan berjalan ke arah
selatan, Jendra berjalan menuju arah utara kembali. "Hati hatilah Jendra!
" teriak Mang Sajum. Jendra hanya bisa mengangguk pasti.
Maka Jendra kini berjalan
sendirian, melewati jalanan setapak yang kian lama kian mengecil
dan menghilang sama-sekali.
Hingga pada suatu saat, kakinya hanya melangkah di semak belukar yang sedikit
mengandung rawa dan tanah lembek. Jendra tak bisa memastikan, apakah tadi subuh
memang benar terjadi hujan lebat dengan halilintar saling sambung menyambung?
Yang jelas, di sini hujan tak berbekas sebab sepanjang perjalanan, tanah rawa
selalu basah . Sesekali Jendra musti berhenti untuk memeriksa kakinya yang
terasa gatal. Dan bila kaki itu diperiksa, maka ketahuan rasa gatal terjadi
lantaran lintah sebesar ibu jari melekat erat menyedot darah di bagian kaki.
Jendra terus melangkah menuju
wilayah Rancabingung. Rancabingung itu memang berada di
wilayah Rawa onom. Mungkin Pulo
Handiwung pun di sekitar sini. Bila benar, maka Jendra jangan harap bisa menemukan
Kampung Handiwung, sebab di dunia nyata, tak ada Kampung Handiwung. Yang ada
hanyalah Pulo Handiwung, seperti apa yang dikatakan penduduk Kampung Babakan
tadi.
"Aku pun jangan harap
menemukan jalan pedati yang besar dan rata, atau pun bisa
menemukan deretan rumah-rumah
bagus, sebab itu semua hanya ada di dunia gaib ... "
tuturnya dalam hati. Tapi Jendra
merasa, bisa menemukan Jang Dayat di dunia nyata ini pula.
Dia berpikir berdasarkan
pengalaman yang pernah menimpanya. Beberapa hari lalu, dia pun sempat
terperosok ke dunia gaib, namun sebetulnya hanya sukmanya saja, sebab raga
kasarnya tetap utuh di dunia nyata. Maka berdasarkan pengalaman ini, Jendra
memastikan bisa menemukan tubuh Jang Dayat. "Semoga Jang Dayat tetap utuh
..." tuturnya dalam hati.
Maksudnya, Jendra memohon pada
Tuhan agar keamanan Jang Dayat dilindungi. Kalau
pun tubuh Jang Dayat ditemukan,
maka dia minta agar tubuh itu tetap utuh bergabung jiwa
dan rohnya. Rupanya doa Jendra
terkabul sebab jauh di depan, nampak tubuh Jang Dayat
meringkuk di bawah pohon besar
dan berjanggut.
Jang Dayat masih hidup sebab
tubuhnya bergerak-gerak. Gerakannya bahkan sedikit keras,
bukan sekedar menggigil. Yang
membuat Jendra terkejut, tubuh Jang Dayat sekujurnya
dikerubuti oleh puluhan bahkan
ratusan ekor lintah dan lipan. Binatang menjijikkan itu tampak
menyedot tubuh Jendra. Ada darah
meleleh di setiap wilayah tubuh yang disedotnya. Jendra
berupaya sekuat tenaga mencabuti
tubuh lintah dan lipan.
Jendra seperti bertarung keras
melawan ratusan lintah atau lipan yang mengerubuti tubuh
Jang Dayat. Kalau dia telat
mencabuti binatang itu, maka darah Jang Dayat akan terkuras
disedot binatang haus itu.
Lintah-lintah itu sungguh keras dan bandel. Ketika ada yang bisa
dicabut, maka ketika dilempar,
lintah itu melata memburu tubuh Jang Dayat kembali. Begitu
seterusnya. Itulah sebabnya Jendra
hampir kewalahan. Akal satu-satunya, Jendra menghunus
golok yang ada di pinggang Jang
Dayat.
Dengan mata golok, maka lintah
lintah itu diserutnya seperti membersihkan lumut di dinding. Dengan begitu,
banyak lintah bisa diusir pergi seketika. Setiap lintah yang jatuh ke tanah,
segera dibabat habis dengan goloknya, begitu berulang-ulang. Begitu seluruh
lintah bisa diusir pergi, begitu pula kesadaran Jang Dayat tumbuh. Tubuh Jang
dayat menggeliat. Namun setelah celingukan dan bisa menatap Jendra, segera dia
memeluk tubuh Jendra sambil berteriak-teriak histeris. "Aduh, Jendra!
Tolong aku! Selamatkan nyawaku! Selamatkan nyawaku!" teriaknya terlongong-longong.
"Kau sudah aman! Kau sudah
aman!" jawab Jendra menepis-nepis pipi Jang Dayat agar
kesadarannya segera pulih.
Beberapa saat kemudian, kesadaran Jang Dayat bisa pulih secara
utuh. Namun demikian, untuk
beberapa saat dia tak bisa ditanya. Kerjanya hanya melongo saja sambil sesekali
bergidik ngeri. Sesudah berselang lama, barulah Jang Dayat bisa ditanya.
"Apa yang kau alami selama
ini, Dayat?" tanya Jendra memegangi tengkuk Jang Dayat.
"Aku dikepung satu pasukan
bersenjata. Mereka mencecarku dengan berbagai senjata tajam.
Darahku sudah berceceran di
setiap bagian tubuhku. Untung kau membantu mengusir
penyerang-penyerang itu ...
" kata Jang Dayat sambil kembali bergidik.
"Engkau diserang oleh Tim
Galuh, Jang Dayat?" tanya Jendra.
"Diserbu Tim Galuh? Sungguh
edan dan sungguh sulit dimengerti. Penyerang itu malah
menuduhku bagian dari Pasukan
Galuh. Serbu prajurit Galuh. Bunuh prajurit Galuh! Begitu
teriak mereka. "
"Kalau begitu, kau pasti
diserbu oleh Tim Pemerintah Pulo Majeti, Jang Dayat ... "
"Ya, benar. Mereka mengaku
sebagai prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Tapi eh ... dari mana
engkau tahu, Jendra? " tanya
Jang Dayat heran. Jendra hanya tersenyum tipis.
"Mari kita pulang saja ke
Rancah ..." ajak Jendra berjingkat.
Dengan agak lemah, Jang Dayat pun
berdiri. Beberapa bagian tubuhnya yang berbintik merah
dan ada noda darah, dia seka satu
persatu. "Jendra, apakah aku ini mimpi atau apa? Kapan
disebut mimpi, kok tubuhku penuh
luka? " tanya Jang Dayat terheran-heran. "Biar kita obrolkan nanti di
rumah saja ..." tutur Jendra berjalan duluan. Jang Dayat ikut berlari
kecil di belakangnya seperti takut tertinggal.
"Kau musti hati-hati dengan
perempuan, Jendra ..."
"Oh, ya ...?"
"Kalau permintaannya tak
diturut, perempuan suka ngadat, memaksa , bahkan menekan. "
"Oh, ya?"
"Nyi Tarsih bahkan memanggil
beberapa prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Dia katakan aku
pengkhianat dari Galuh. "
tutur Jang Dayat kembali bergidik.
"Nyi Tarsih?" @bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar