Senin, 22 Juli 2013

Ada Surya Paloh di Bukit Tambang Emas Tumpang Pitu

Jurnalis Independen: Tumpang Pitu yang terletak di tepi Pantai Pulau Merah, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, berdiri dengan tegap. Kini bukit atau Gunung Tumpang Pitu itu sejak 2008 lalu menjadi ajang perebutan oleh beberapa pengusaha pertambangan. Pasalnya, di dalam perut bumi Gunung Tumpang Pitu menyimpan kandungan batuan emas dengan potensi menggiurkan.


PT PT Indo Multi Niaga (IMN) yang telah mengantongi izin kuasa eksplorasi pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu menyebut, potensi emas di gunung tersebut mencapai 2 juta ounce. Adapun potensi perak mencapai 80 juta ounce. Nilai tambangnya ditaksir sekitar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 50 triliun. Sangat, menggiurkan memang.

IMN yang mengeksplorasikan tambang emas Gunung Tumpang Pitu di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jatim hingga 2015, merupakan perusahaan penanaman modal dalam negeri yang sejak 2007. IMN mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) tahap eksplorasi seluas 11,6 ribu ha di Banyuwangi bagian selatan, berdasarkan SK Bupati Banyuwangi No 188/05/KP/429.012/2007. Selain Tumpang Pitu dengan luasan 1.700 ha, konsesi IMN juga mencakup areal Katak, Candrian, Gunung Manis, Salakan, Gumuk Genderuwo, dan Rajeg Besi.

Lalu, sejak eksplorasi pertama kali pada 20 September 2007 sampai 29 Februari 2012, IMN sudah membor di 367 titik dengan kedalaman total 116.495 meter. Terdiri atas 16 titik sedalam 4.172 m yang dikerjakan PT Hakman Platina Metalindo dan IMN 351 titik dengan kedalaman 112.322 m. IMN pun sudah mendapat izin eksploitasi dari Bupati Banyuwangi melalui SK 188/10/KEP/429.011/2010 dengan luas 4.998 ha.

Masalah muncul, terutama karena adanya tumpang tindih atau sengketa kepemilikan saham perusahaan di IMN. Awalnya, IMN menjalin kerjasama dengan mitranya asal Australia, Intrepid Mines Limited. Di IMN, Interpid bertindak sebagai penyandang dana dari seluruh kegiatan operasional perusahaan. Sebagai penyandang dana, intrepid dijanjikan keuntungan hingga 80% dari produksi IMN. Saat kerjasama diteken, undang-undang belum membolehkan perusahaan asing memiliki saham di perusahaan kuasa pertambangan, sehingga disepakati membentuk perusahaan modal asing (PMA).

Tahun 2009 pemerintah menetapkan UU Minerba No 4/2009 yang mengizinkan perusahaan asing menanamkan modal langsung dalam perusahaan pemegang IUP (ijin Usaha Pertambangan). Alhasil PT IMN dan Intrepid sepakat membentuk struktur perusahaan baru sesuai dengan kesepakatan kerja sama sebelumnya. Selama kerjasama, Intrepid mengklaim telah menggolontorkan dana hingga AU$ 100 juta untuk mendanai proyek IMN. Akan tetapi di tengah jalan saham PT IMN berpindah tangan secara misterius. “Kami dapat informasi kalau mereka mengalihkan saham yang seharusnya menjadi komitmen kami,” ujar Executive General Manager Tony Wenas. Dalam sebuah pernyataan kepada bursa saham Australia, Intrepid menyebutkan, 80% saham IMN itu diyakini sudah berpindah tangan.

Perselisihan menjadi ruwet dan berujung pada ancaman untuk memperkarakan sengketa ke pengadilan, lantaran Intrepid merasa dikhianati IMN. Sejak memutuskan bergandengan tangan pada Agustus 2007, Intrepid, yang masuk melalui anak usahanya, Emperor Mines Limited, mengaku sudah merogoh kocek sekitar US$ 100 juta alias hampir Rp 1 triliun. Tapi, di tengah jalan, mereka melihat ada tanda-tanda mitranya bermain belakang, bahkan ada kabar telah mengalihkan sahamnya ke perusahaan lain.
Dalam sebuah pernyataan kepada bursa saham Australia, Intrepid menyebutkan soal pengalihan itu. Mereka mengatakan 80 persen saham IMN diyakini telah berpindah tangan dari pemegang sebelumnya, yakni pasangan suami-istri Andreas Reza Nazaruddin dan Maya Miranda Ambarsari. Pemilik terbaru disebut-sebut adalah PT Cinta Kasih Abadi, PT Selaras Karya Indonesia, Andreas Tjahjadi, dan Rahmad Deswandy.
Andreas Tjahjadi tercatat sebagai presiden komisaris di IMN, sekaligus direktur non-eksekutif di Seroja Investment, perusahaan yang berbasis di Singapura, yang menangani pengangkutan batu bara produksi PT Adaro Energy Tbk. Selain Andreas, direktur di Seroja Investment adalah Edwin Soeryadjaya, presiden komisaris di Adaro Energy.
Pemimpin eksekutif Intrepid, Brad Gordon, mengatakan masuknya juragan Media Group itu ke perusahaannya bertujuan membantu mempromosikan perusahaan dan kepentingan bisnisnya di Indonesia. Surya Paloh, kata Gordon, memiliki bisnis yang beragam, dari perminyakan dan gas sampai hotel dan properti.
Para analis pertambangan di Australia mengatakan posisi Surya tak lain merupakan beking bagi Intrepid. Maklum, bekas politikus Golkar yang kini mendirikan dan menjadi Ketua Umum Nasional Demokrat (Nasdem) itu ”dihadiahi” saham di tengah memanasnya sengketa antara Intrepid dan IMN. ”Masuknya Surya Paloh dimaksudkan untuk mendapat dukungan pengaruh dalam bernegosiasi dengan pihak-pihak lain yang beperkara,” ujar Peter Gray, analis dari Hartley's Ltd, seperti yang Pernah ditulis Australian Associated Press.
Hubungan panas itulah yang memunculkan dugaan kuat di kalangan petinggi Intrepid bahwa ada pengaruh Edwin di balik pengalihan saham IMN.  Kemunculan Surya Paloh dalam pilpres tahun 2014 juga ditengarai ada keterkaitan dengan Emas Timpang Pitu.

Sementara itu, eksplorasi tambang emas di tengah alas jati Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, mulai membawa dampak yang merugikan bagi masyarakat. Pengeboran di tambang emas seluas 11,6 ribu hektare membuat hutan jati itu gundul dan limbahnya mengotori laut.

Ngadeni, 68 tahun, sesepuh Desa Pesanggaran, yang rumahnya hanya sekitar 50 meter dari area pertambangan, masih ingat betapa asrinya alas jati Tumpang Pitu dahulu kala. ”Sekarang tanahnya rusak akibat penambangan,” katanya.

Beberapa bagian hutan kini gundul. Warna hijau dedaunan berganti jadi cokelat tanah liat. Celakanya, banyak penambang meninggalkan lubang bekas galian dalam kondisi tetap menganga. Berbagai perlengkapan tambang tradisional dan sampah plastik berserakan.

Kondisi itu menyulut protes lembaga swadaya masyarakat, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, dan Islamic Centre for Democracy and Human Rights Empowerment (ICDHRE) Banyuwangi. Empat tahun terakhir, mereka mempertanyakan pemberian izin tambang untuk IMN.

Wahana Lingkungan Hidup dan Jaringan Advokasi Tambang berfokus pada kekhawatiran terhadap bencana lingkungan. Adapun ICDHRE, yang satu dasawarsa terakhir mendampingi kelompok tani dan nelayan, gelisah terhadap nasib potensi ekonomi lokal. ”Kami bukan anti-pembangunan, tapi jangan membunuh kawasan ini!” kata Rosdi Bahtiar Martadi, anggota Komunitas Pemuda Pencinta Alam, yang berafiliasi dalam Jaringan Advokasi Tambang.

Sebagian lahan untuk kegiatan eksplorasi itu berada di kawasan hutan lindung. Batas terluar dari kuasa pertambangan IMN hanya 4,7 kilometer dari Taman Nasional Meru Betiri, yang dikenal sebagai rumah terakhir bagi harimau Jawa (Panthera tigris sondaica).

Tak hanya itu. Gunung Tumpang Pitu juga berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan debit 30 liter per detik, sangat tinggi untuk menjamin ketersediaan air bawah tanah dan sungai-sungai di sekitarnya. Rusaknya lingkungan dikhawatirkan mengganggu pasokan air untuk sungai-sungai yang selama ini mengairi lahan pertanian di Banyuwangi bagian selatan.

Masalahnya, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) IMN menyebutkan, setiap hari perseroan butuh 2,04 juta liter air untuk memisahkan bijih emas. Kebutuhan itu akan disedot dari Sungai Kalibaru dan Gonggo. Sungai Kalibaru dan Setail selama ini mengairi sawah di enam kecamatan di sekitar Gunung Tumpang Pitu. ”Pasti berebut. Belum ada tambang saja kadang kurang,” kata Edhi Sujiman, Koordinator Daerah ICDHRE yang juga petani di Kecamatan Tegal Delimo.

Limbah tambang IMN juga berpotensi merembes ke laut. Proses pemurnian emas dari logam lain menggunakan sianida. Laporan amdal PT IMN menyebutkan perseroan akan membuang limbah pemurnian (tailing) sebanyak 2.361 ton per hari ke Teluk Pancer di sebelah barat Tumpang Pitu.

Dia yakin nelayan dan industri perikanan di selatan Banyuwangi akan kolaps kalau zat kimia itu mencemari laut. Padahal, selama ini, tangkapan ikan lima pelabuhan di pantai yang berdekatan dengan Tumpang Pitu, yakni Muncar, Pancer, Grajagan, Blimbingsari, dan Wongsorejo, lebih dari 50 ribu ton setahun.

Salah seorang pemilik perusahaan pembekuan ikan di Muncar, Muhammad Jakfar, berikrar menolak penambangan emas di Tumpang Pitu. ”Sampai kapan pun akan tetap kami tolak,” ujarnya Jumat pekan lalu. Menurut dia, ada 50 usaha pembekuan ikan di pesisir pantai selatan Banyuwangi. Di Muncar berdiri sedikitnya 100 perusahaan ikan, dari pembekuan, sarden, penepungan, hingga produksi minyak ikan. ”Ribuan karyawan akan menganggur kalau sampai bisnis ini tutup.”

Pramono Triwahyudi, Community Development Manager IMN, menilai kekhawatiran masyarakat terlalu dini. Saat itu IMN baru melakukan eksplorasi, dan untuk menuju eksploitasi harus melewati beberapa tahapan, termasuk yang terpenting melakukan studi kelayakan. ”Di situ kami akan menguji kelayakan teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan proyek ini,” katanya Jumat pekan lalu. ”Yang sudah pasti, kami berkomitmen akan meminimalisasi dampak negatif.”

Beberapa tahun terakhir, Gunung Tumpang Pitu layaknya gadis cantik di tengah kerumunan jejaka. Bukan hanya perusahaan emas raksasa yang mengadu peruntungan di hutan jati itu. Ratusan bahkan ribuan penambang liar bekerja berkelompok, sebanyak 5-10 orang, di lubang-lubang galian beratapkan terpal. Sebagian penambang itu datang dari Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.

Perebutan emas itu makin seru dan membuat para penambang liar juga kian bersemangat. Purwanto adalah contohnya. Siang itu, lampu kecil yang ter­ikat di kepala Purwanto masih menyala ketika pria 34 tahun itu keluar dari lubang berdiameter satu meter di tengah alas jati Gunung Tumpang Pitu. Baju dan celananya compang-camping berlumuran tanah liat. Bersama dua rekannya, warga Pesanggaran itu baru selesai memahat dinding batu di ceruk sedalam lebih dari 20 meter. Untuk bernapas, mesin blower mini memompa oksigen lewat selang ke dasar lubang.

Tiga kawannya bertugas di atas untuk mengerek timba berisi potongan batu yang mungkin mengandung logam incaran mereka: emas. ”Sudah setahun, tapi belum dapat,” kata Purwanto. Toh, lelaki yang meninggalkan profesi lamanya sebagai petani itu bersumpah tak putus asa. ”Kami akan terus mencari sampai dapat.”

Nasib Gafur, 40 tahun, lebih baik ketimbang Purwanto dan kawan-kawan. Delapan bulan menggali, dia dan sembilan rekannya sukses mendulang 1,7 kilogram bijih emas. Hasilnya dijual kepada seorang penadah di Pesanggaran seharga Rp 350 ribu per gram.

Dua pertiga duit hasil penjualan menjadi jatah ”bos” yang selama ini memodali berbagai alat tambang tradisional. Sisanya dibagi rata, sekitar Rp 17 juta per orang. ”Saya pakai untuk membeli sepeda motor,” kata warga Pesanggaran yang dulu karyawan alih daya pembangunan menara seluler ini.

Jauh sebelum penambangan liar marak, giri yang terletak sekitar 65 kilometer ke arah barat daya dari pusat Kota Banyuwangi ini sudah menarik perhatian tambang modern. Itu berawal dari survei potensi mineral oleh Lebong Tandai Group, milik pengusaha Jusuf Merukh, pada medio 1980-an di pesisir selatan Jember dan Banyuwangi. Dua wilayah ini diduga bagian dari wilayah kaya emas yang berjejer hingga Nusa Tenggara Timur.

Perhutani Banyuwangi Selatan mencatat empat proposal masuk sejak 1996. Dua perusahaan yang pertama masuk secara berturut-turut adalah PT Hakman Platina Metalindo dan PT Banyuwangi Mineral, yang juga milik Jusuf Merukh. Proyek kedua perusahaan batal, hingga pada 2006 muncul permohonan PT Indo Multi Niaga (IMN) dan PT Pitung Gunung, yang bersaing memperoleh konsesi.@


Tidak ada komentar: