Melawan Si Leak
Calonarang dengan Astiti Bhakti
Jurnalis Independen: Adanya musibah yang menakutkan bercampur dengan
sedih, para penduduk mencoba untuk berpasrah diri dan menyerahkan semuanya
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Setiap saat mereka memuja dan memohon kehadapan
beliau agar bencana grubug ini segera berakhir, dan semua penduduk yang masih
hidup diberkahi keselamatan dan kekuatan.
Di samping itu
perlindungan-perlindungan magis dipasang di depan pintu masuk pekarangan dan
pintu rumah. Sesuai dengan petunjuk orang pintar atau sesuai dengan kebiasaan
para tetuanya terdahulu. Penduduk memasang sesikepan atau pelindung magis
seperti daun pandan berduri yang ditulisi tapak dara atau tanda palang dari
kapur sirih, berisi bawang merah, bawang putih, jangu, juga benang tri datu
yaitu benang warna merah, putih, hitam, dan pipis bolong atau uang kepeng. Jadi
pada dasarnya semua dilakukan untuk menolak penyakit, dan memohon perlindungan
kehadapan Hyang Maha Kuasa.
Setelah
berberapa hari mengalami kepanikan, kebingungan dan ketakutan, akhirnya para
prajuru desa atau Pengurus Desa, para penglingsir atau tetua, dan para
pemangku, mengadakan pertemuan di salah satu Balai Banjar di Desa Girah. Pada
intinya mereka membicarakan mengenai masalah atau penyakit gerubug yang
menyerang desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Kalau seandainya masalah
ini dibiarkan begitu saja, sudah pasti penduduk desa akan habis semuanya.
Mereka tetap
berharap agar semua masyarakat meningkatkan Astiti Bhaktinya atau pemujaan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan agar diberikan keselamatan,
kesehatan, perlindungan, dan umur panjang. Disamping itu pula para prajuru desa
para penglingsir atau tetua desa beserta dengan para pemangku sepakat untuk
melaporkan masalah ini kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri. Mereka berencana
memohon kehadapan Raja Airlangga agar beliau berkenan untuk datang ke desa-dewa
wilayah pesisir Kerajaan Kediri meninjau rakyatnya yang sedang ditimpa musibah
penyakit atau gerubug. Karena beliau sebagai penguasa atau sebagai Raja Kediri
berhak tahu dan wajib untuk melindungi rakyatnya dari bencana. Demikian
kesepakatan mereka dan merencanakan akan berangkat ke Istana besok pagi.
Ketika para
tetua desa dan prajuru disertai dengan para pemangku masih berada di Bale
pertemuan, tiba-tiba saja muncul seseorang yang bertubuh tinggi, kepala kribo,
berkumis tebal dan brewok. Orang ini berjalan sempoyongan, dengan mata merah,
dan bicaranya ngawur. Rupanya orang ini dalam keadaan mabuk. Orang tersebut
datang di bale pertemuan dan berkata bahwa anaknya telah meninggal karena
muntah mencret. Pemabuk itu kemudian berkata : mana Leak Calonarang yang telah
memakan anakku, akan aku santap bola matanya mentah-mentah. Demikian orang
tersebut sesumbar dihadapan para sesepuh desa. Ketika setelah mengatakan
sesumbar tersebut Si Brewok tiba-tiba saja muntah mencret tak tertahankan, dan
akhirnya tewas di tempat.
Setelah beberapa
saat Si Brewok tergeletak, kemudian para tetua desa tersebut menjadi teringat
dengan kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu ketika di Desa Girah. Mereka
baru ingat bahwa Si Brewok inilah yang menjadi biang keladi dari kejadian yang
menimpa Diah Ratna Manggali anak Ibu Calonarang. Bersama-sama dengan orang
banyak, Si Brewok ini telah membuat fitnah Diah Ratna Mengali bisa ngeleak
karena Ibunya Calonarang adalah orang sakti dan bisa ngeleak. Jangan-jangan hal
itu yang menjadi penyebab dari penyakit gerubug yang melanda desa-desa pesisir
wilayah Kerajaan Kediri sekarang ini. Karena Calonarang merasa tersinggung dan
terhina tidak akan tinggal diam. Mungkin saja ia akan membalas dendam sesuai
dengan kemampuannya. Apalagi Calonarang adalah seorang yang sangat sakti dan
memiliki murid yang sangat banyak. Sehingga dengan ilmu yang dimiliki mereka
mencoba untuk menghancurkan desa-desa di Kerajaan Kediri dengan menebar
penyakit gerubug. Rupanya mereka yang ada di sana mempunyai pikiran yang sama,
dan sepakat untuk segera melaporkan hal tersebut kehadapan Prabu Airlangga Raja
Kediri.
Keesokan harinya
para prajuru desa beserta rombongan berangkat menuju Istana Kediri. Sangat
cepat perjalanan mereka, sehingga tidak diceritakan sampailah rombongan
tersebut di bencingah atau alun-alun Istana Raja. Ketika di Istana rombongan
tersebut menyaksikan suatu keadaan yang tenang, damai, dan biasa saja, jauh
dari kesusahan, kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di desa sekarang
ini. Di bencingah puri tampak sekelompok masyarakat yang sedang duduk-duduk di
bawah rimbunnya daun beringin yang sangat besar yang tumbuh di becingah,
seolah-olah memayungi rakyat Kediri dari terik sinar matahari. Bangsingnya atau
akarnya yang menjulur sampai menyentuh tanah seolah-olah menjulurkan tangannya
untuk menolong rakyat Kediri yang kesusahan. Mereka seperti biasa yang
laki-laki beristirahat, sambil mengecel atau mengelus ayam aduan. Di sampingnya
tampak berderet ayam aduan dengan beraneka warna, dan mekruyuk atau berkokok
saling bersahutan. Disana, ada pula dagang kopi, dagang kue, dagang nasi,
dengan be guling nyodog atau babi guling yang utuh dan diletakkan di atas meja
dagangan.
Rombongan
tersebut disapa oleh orang-orang yang ada di bencingah. Mereka kemudian segera
masuk ke dalam Istana Raja melalui pemedalan atau pintu keluar candi bentar
yang megah, disandingkan dengan bale kulkul yang menjulang tinggi, dan bale
bengong yang tampak mempesona, membuat mereka menjadi klangen atau kagum. Di
hulu sebelah timur laut terdapat pemerajan puri atau tempat suci keluarga Raja
yang sangat disucikan.
Mereka kemudian
menghadap Prabu Airlangga di Bale penangkilan atau balai penghadapan. Setelah
memberikan penghormatan kehadapan Sang Prabu, rombongan tersebut kemudian
menjelaskan segala sesuatu maksud dan tujuannya mengahap ke Istana. Dijelaskan
pula secara panjang lebar mengenai masalah yang sedang melanda desa-desa
pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Mereka kemudian memohon agar Sang Prabu
berkenan untuk meninjau ke desa-desa. Demikian hatur mereka semua kehadapan
Sang Prabu. Kemudian Sang Prabu menjawab dengan kata-kata yang agak berat, dan
dengan roma muka yang agak tegang ketika itu.
“Kalau begitu
keadaannya, penyebar gerubug di desa-desa wilayah pesisir tidak lain dan tidak
bukan adalah Ibu Calonarang. Aku tidak akan meninjau ke desa lagi. Tetapi aku
akan segara berupaya untuk menyelesaikan masalah kalian, dan menghadapi
Calonarang yang sakti tersebut”.
“Pengerusakan
dan penyebaran penyakit di desa-desa oleh Calonarang sebenarnya adalah
tantangan langsung bagiku sebagai penguasa di Kerajaan Kediri. Aku akan
menghadapi bagaimanapun ririh atau saktinya Calonarang. Calonarang sangat
berani kepadaku, dan sangat besar dosanya karena telah membunuh banyak rakyatku
yang tidak berdosa. Sangat besar dosanya terhadap kerajaan, sehingga orang
tersebut harus mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal”. Demikian sabda Raja
Kediri yang menabuh genderang perang terhadap Calonarang.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar