Jurnalis Independen: Jamilah Kolocotronis, itulah nama
muslimnya kini. Melalui jalan berliku, mempelajari agama satu ke agama lainnya
demi mencapai tujuan hidup dan pengenalan hakiki tentang akidah dan Tuhan. Bercita-cita
menjadi penginjil dan pengkristen banyak manusia, terutama dari warga muslim. Uniknya,
ia mendapatkan hidayah dari Allah swt mengikrarkan dua kalimat syahadat, justru
saat ia menempuh pendidikan demi mewujudukan cita-citanya menjadi seorang
pendeta agama Kristen Lutheran yang dianutnya.
Kisah Jamilah berawal pada tahun
1976. Meski kuliah di sebuah universitas negeri, ia masih memendam keinginan
untuk menjadi pendeta. Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja
Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di gereja.
Pastor itu kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara piknik untuk
para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam acara ini, untuk pertamakalinya
Jamilah bertemu dengan seorang Muslim.
Muslim itu bernama Abdul Mun’im
dari Thailand. “Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami
berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah,” kata Jamilah.
Jamilah mengaku agak aneh
mendengar Mun’im menyebut nama Tuhan, karena sejak kecil ia diajarkan bahwa
orang di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, Jamilah merasa
bahwa Mun’im adalah golongan orang yang akan masuk neraka, meski Mun’im percaya
pada Tuhan dan berperilaku baik. Jamilah bertekad untuk bisa mengkristenkan
Mun’im.
Jamilah pun mengundang Mun’im
datang ke gereja. Tapi betapa malu hatinya Jamilah ketika melihat Mun’im datang
ke gereja dengan membawa al-Quran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun’im
berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya mendengar
istilah “Muslim” dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak
era tahun 1960-an warga kulit putih di AS meyakini bahwa warga Muslim kulit
hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.
Selama dua tahun, Jamilah tetap
melakukan kontak dengan Mun’im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub
International, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya. Jamilah
tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan
masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era tahun
’70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.
Waktu terus berjalan, kebijakan
pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari
Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi
barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta.
Tapi, cuma satu semester Jamilah
merasakan semangat belajarnya di seminari itu. Jamilah sangat kecewa dengan
kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi
dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang
biasa. Jamilah makin kecewa ketika seorang profesor mengatakan bahwa para
cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitab bukan kitab suci yang sempurna, tapi
sebagai pendeta mereka tidak boleh mengungkapkan hal itu pada para jamaah
gereja. Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia
diminta menerima saja keyakinan itu.
Jamilah akhirnya memutuskan meninggalkan
seminari dan pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk lebih meluangkan waktu untuk
mencari kebenaran. Di tengah pencariannya itu, Jamilah diterima kerja sebagai
sekretaris di daerah pinggiran St. Louis tak jauh dari rumahnya.
Mencari Kesalahan al-Quran
Suatu hari Jamilah masuk ke
sebuah toko buku dan menemukan al-Quran di toko buku itu. Jamilah tertarik
untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam al-Quran. Jamilah
berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan agama
serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan
kelemahan-kelemahan al-Quran sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman
Muslimnya bahwa mereka salah.
“Saya baca al-Quran dan mencari
kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam al-Quran. Tapi saya sama sekali tak
menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An’am ayat 73. Untuk
pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam,” ujar
Jamilah.
Jamilah memutuskan untuk kembali
ke universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama.
Pada saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja, Jamilah juga
datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, Jamilah mengaku belum siap
menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya.
Namun Jamilah tetap melanjutkan
pencariannya tentang agama. Ia banyak mendapat penjelasan dari teman-temannya
di universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan dalam Kristen yang selama
ini ketahui. Selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha.
“Saya cuma ingin menemukan kebenaran,” kata Jamilah.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Seiring berjalannya waktu,
Jamilah merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Satu hal
yang masih mengganggu pikirannya ketika itu adalah mengapa orang Islam harus
berwudhu sebelum salat. Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya
bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun pertanyaan yang mengganggu
itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.
Akhirnya, malam itu Jamilah
membulatkan tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah
masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah
mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh sejumlah pengunjung masjid.
“Butuh beberapa hari untuk
beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian
begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai,” tukas
Jamilah.
Setelah menjadi seorang Muslim,
awalnya Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan
keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang
Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika ia ingin mengenakan
jilbab. Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah
sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah
di Salam School, Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya,
Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika. readingislam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar