Murkanya Prabu
Airlangga
Jurnalis Independen: Sang Prabu juga menyampaikan pesan kepada rombongan
Desa Girah sesampai di rumah nanti, beritahukan kepada seluruh rakyatku
semuanya. Tenanglah, bersabarlah dan selalulah memuja kebesaran Ida Betara Tri
Sakti yang berstana di Pura Kayangan Tiga.
Selalulah berjaga-jaga di perbatasan
desa sambil menghidupkan api obor sebagai penerangan dan sekaligus mohon
perlindungan kehadapan Hyang Betara Brahma. Sebelum itu jangan lupa
menghaturkan canang atau sesajen di sanggah atau tempat suci keluarga
masing-masing agar para leluhur kita juga ikut membantu melindungi dari bahaya
ini. Kemudian mohonlah sesikepan atau sarana magis yang bersarana bawang putih,
jangu, benang tri datu, dan pipis bolong, sebagai sarana penolak leak.
Demikian
perintah dan sekaligus pesan Raja Kediri kepada rakyat beliau yang sedang
ditimpa bencana gerubug dan salanjutnya para penghadap tersebut diijinkan untuk
pamit kembali pulang. Tidak diceritakan perjalanan mereka, maka sampailah
rombongan tersebut di rumah, dan segera memberitahukan apa yang menjadi titah
Raja Kediri.
Raja Kediri
Murka
Kembali
diceritakan Prabu Airlangga Raja Kediri. Sepeninggalan rombongan Desa Girah,
maka beliau sendirian duduk termenung di bale penangkilan. Pandangannya
menerawang jauh kemana-mana, tangannya dikepalkan, dan tampak gelisah. Duduk
bangun, demikianlah Sang Prabu sendirian di Istana. Tampaknya Sang Prabu tak
kuasa menahan amarah dan panas hati beliau akibat ulah Calonarang.
Sangat
menakutkan sekali perangai beliau ketika itu. Diibaratkan macan gading atau
harimau kuning yang akan menerkam mangsanya. Tak seorang pun parekan atau
punakawan di puri atau istana yang berani menyapa beliau. Istri dan parekan
atau punakawan di puri atau istana semuanya terdiam takut melihat gelagat Sang
Prabu yang lagi murka. Tidak ada yang berani menghampiri dan menemani beliau
ketika itu. Suguhan wedang atau kopi dan juga hidangan yang lainnya tidak
disentuh sama sekali. Pikiran beliau hanya tertuju kepada upaya bagaimana
mengalahkan Calonarang yang sakti tersebut.
Ketika hari
menjelang siang, Sang Prabu belum juga beranjak dari tempat beliau duduk sejak
pagi. Kemudian secara tak disangka-sangka datang Ki Patih Madri menghadap Sang
Prabu ke Istana. Ia adalah seorang tabeng dada atau pengawal Istana. Ki Patih
Madri berperawakan tinggi besar, pintar ilmu silat atau bela diri, dan
menguasai beberapa ilmu kanuragan. Ia sangat berpengaruh di kalangan
orang-orang di Kerajaan Kediri, namun ia sendiri berpenampilan sangat
sederhana, polos, dan sangat setia kepada Istana terutama kehadapan
junjungannya yakni Prabu Airlangga Raja Kediri.
Sangat gembira
sekali perasaan Sang Prabu ketika Ki Patih Madri muncul di Istana, dan segera
Sang Prabu menyuruhnya mendekat untuk diajak bertukar pikiran. Bagaikan
diperciki embun pagi yang sejuk perasaan Raja Airlangga ketika Ki Patih Madri
datang pada saat yang diperlukan sekali. Sambil menikmati hidangan kopi yang
telah disuguhkan, Sang Prabu berkata kepada Ki Patih Madri : “aku hari ini
sangat kesal, marah dan bercampur sedih dalam hatiku. Yang menyebabkan adalah
ulah onar Calonarang yang telah menebar penyakit gerubug di desa-desa pesisir
wilayah Kerajaan Kediri. Banyak rakyatku yang sakit dan meninggal di sana. Ia
ingin menghancurkan Kerajaan Kediri, serta menghancurkan kekuasaanku.
Sekarang karena
kebetulan sekali Patih Madri datang ke Istana, maka aku ingin mendapatkan
masukan dari engkau mengenai masalah yang menimpa desa tersebut. Bagaimana
caranya menumpas dan melenyapkan Calonarang beserta sisya-sisyanya atau
murid-muridnya yang telah berbuat onar tersebut. Sebab kalau tidak ditangani
segera, maka rakyat desa Kerajaan Kediri akan habis, bahkan ia akan
merencanakan untuk menghancurkan Kerajaan Kediri secara keseluruhan”. Demikian
kata pembukuan yang cukup panjang dari Sang Prabu kepada Ki Patih Madri.
Mendengar semua
itu, merasa kaget Ki Patih Madri, sebab sebelumnya ia sama sekali tidak
mendengar adanya masalah ini. Ki Patih Madri berpikir sejenak, kemudian
menjawab apa yang dikatakan Sang Prabu. “Mohon ampun Paduka, tidak patut
rasanya hamba sebagai patih yang jugul punggung atau sangat bodoh memberikan
masukan kehadapan Paduka. Namun atas titah Paduka, maka hamba akan mencoba
untuk ikut urun pendapat mengenai masalah ini.
Namun hamba
bagaikan nasikin segara atau membuang garam ke laut begitulah ibaratnya”. Lebih
lanjut Ki Patih Madri menyampaikan haturnya kehadapan Sang Prabu “Kalau
mendengar tingkah laku Calonarang tersebut, maka inilah yang disebut dalam
sastra agama sebagai Atharwa yang artinya melakukan pembunuhan yang sangat
kejam terhadap orang lain yang tidak berdosa dengan menggunakan Ilmu Hitam”.
“Mereka telah
menebar cetik atau racun niskala di wilayah desa. Ini pula digolongkan sebagai
Himsa Karma yakni perbuatan membunuh makhluk lain secara sewenang-wenang. Para
pelaku dari semua ini harus dihukum berat dan setimpal”. Demikian hatur Ki
Patih Madri kehadapan Sang Prabu”.
Kemudian Ki
Patih Madri menambahkan haturnya sekarang Paduka jangan terlalu bersedih dan
khawatir. “Hamba akan menjalankan Swadharmaning Kawula (kewajiban sebagai
rakyat) bersama dengan rakyat Kediri yang lainnya. Hamba akan mengabdikan jiwa
dan raga hamba untuk Kediri. Kita akan gempur Calonarang Rangda Nateng Girah,
kita hancurkan antek-antek, dan kita musnahkan Calonarang”.
Demikian Ki
Patih Madri memompa semangat junjungannya. Sungguh lega hati Sang Prabu
mendengar apa yang diucapkan oleh Ki Patih Madri. Raja Airlangga kemudian
membuat keputusan untuk menggempur Calonarang Rangda Nateng Girah, dan
mempercayakan kepada Ki Patih Madri sebagai pimpinan penyerangan. @bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar