Senin, 29 Juli 2013

Leak dan Sejarah Kitab Sihir Calonarang (5)

Murkanya Prabu Airlangga

Jurnalis Independen: Sang Prabu juga menyampaikan pesan kepada rombongan Desa Girah sesampai di rumah nanti, beritahukan kepada seluruh rakyatku semuanya. Tenanglah, bersabarlah dan selalulah memuja kebesaran Ida Betara Tri Sakti yang berstana di Pura Kayangan Tiga.
Selalulah berjaga-jaga di perbatasan desa sambil menghidupkan api obor sebagai penerangan dan sekaligus mohon perlindungan kehadapan Hyang Betara Brahma. Sebelum itu jangan lupa menghaturkan canang atau sesajen di sanggah atau tempat suci keluarga masing-masing agar para leluhur kita juga ikut membantu melindungi dari bahaya ini. Kemudian mohonlah sesikepan atau sarana magis yang bersarana bawang putih, jangu, benang tri datu, dan pipis bolong, sebagai sarana penolak leak.

Demikian perintah dan sekaligus pesan Raja Kediri kepada rakyat beliau yang sedang ditimpa bencana gerubug dan salanjutnya para penghadap tersebut diijinkan untuk pamit kembali pulang. Tidak diceritakan perjalanan mereka, maka sampailah rombongan tersebut di rumah, dan segera memberitahukan apa yang menjadi titah Raja Kediri.


Raja Kediri Murka
Kembali diceritakan Prabu Airlangga Raja Kediri. Sepeninggalan rombongan Desa Girah, maka beliau sendirian duduk termenung di bale penangkilan. Pandangannya menerawang jauh kemana-mana, tangannya dikepalkan, dan tampak gelisah. Duduk bangun, demikianlah Sang Prabu sendirian di Istana. Tampaknya Sang Prabu tak kuasa menahan amarah dan panas hati beliau akibat ulah Calonarang.

Sangat menakutkan sekali perangai beliau ketika itu. Diibaratkan macan gading atau harimau kuning yang akan menerkam mangsanya. Tak seorang pun parekan atau punakawan di puri atau istana yang berani menyapa beliau. Istri dan parekan atau punakawan di puri atau istana semuanya terdiam takut melihat gelagat Sang Prabu yang lagi murka. Tidak ada yang berani menghampiri dan menemani beliau ketika itu. Suguhan wedang atau kopi dan juga hidangan yang lainnya tidak disentuh sama sekali. Pikiran beliau hanya tertuju kepada upaya bagaimana mengalahkan Calonarang yang sakti tersebut.

Ketika hari menjelang siang, Sang Prabu belum juga beranjak dari tempat beliau duduk sejak pagi. Kemudian secara tak disangka-sangka datang Ki Patih Madri menghadap Sang Prabu ke Istana. Ia adalah seorang tabeng dada atau pengawal Istana. Ki Patih Madri berperawakan tinggi besar, pintar ilmu silat atau bela diri, dan menguasai beberapa ilmu kanuragan. Ia sangat berpengaruh di kalangan orang-orang di Kerajaan Kediri, namun ia sendiri berpenampilan sangat sederhana, polos, dan sangat setia kepada Istana terutama kehadapan junjungannya yakni Prabu Airlangga Raja Kediri.

Sangat gembira sekali perasaan Sang Prabu ketika Ki Patih Madri muncul di Istana, dan segera Sang Prabu menyuruhnya mendekat untuk diajak bertukar pikiran. Bagaikan diperciki embun pagi yang sejuk perasaan Raja Airlangga ketika Ki Patih Madri datang pada saat yang diperlukan sekali. Sambil menikmati hidangan kopi yang telah disuguhkan, Sang Prabu berkata kepada Ki Patih Madri : “aku hari ini sangat kesal, marah dan bercampur sedih dalam hatiku. Yang menyebabkan adalah ulah onar Calonarang yang telah menebar penyakit gerubug di desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Banyak rakyatku yang sakit dan meninggal di sana. Ia ingin menghancurkan Kerajaan Kediri, serta menghancurkan kekuasaanku.

Sekarang karena kebetulan sekali Patih Madri datang ke Istana, maka aku ingin mendapatkan masukan dari engkau mengenai masalah yang menimpa desa tersebut. Bagaimana caranya menumpas dan melenyapkan Calonarang beserta sisya-sisyanya atau murid-muridnya yang telah berbuat onar tersebut. Sebab kalau tidak ditangani segera, maka rakyat desa Kerajaan Kediri akan habis, bahkan ia akan merencanakan untuk menghancurkan Kerajaan Kediri secara keseluruhan”. Demikian kata pembukuan yang cukup panjang dari Sang Prabu kepada Ki Patih Madri.

Mendengar semua itu, merasa kaget Ki Patih Madri, sebab sebelumnya ia sama sekali tidak mendengar adanya masalah ini. Ki Patih Madri berpikir sejenak, kemudian menjawab apa yang dikatakan Sang Prabu. “Mohon ampun Paduka, tidak patut rasanya hamba sebagai patih yang jugul punggung atau sangat bodoh memberikan masukan kehadapan Paduka. Namun atas titah Paduka, maka hamba akan mencoba untuk ikut urun pendapat mengenai masalah ini.

Namun hamba bagaikan nasikin segara atau membuang garam ke laut begitulah ibaratnya”. Lebih lanjut Ki Patih Madri menyampaikan haturnya kehadapan Sang Prabu “Kalau mendengar tingkah laku Calonarang tersebut, maka inilah yang disebut dalam sastra agama sebagai Atharwa yang artinya melakukan pembunuhan yang sangat kejam terhadap orang lain yang tidak berdosa dengan menggunakan Ilmu Hitam”.

“Mereka telah menebar cetik atau racun niskala di wilayah desa. Ini pula digolongkan sebagai Himsa Karma yakni perbuatan membunuh makhluk lain secara sewenang-wenang. Para pelaku dari semua ini harus dihukum berat dan setimpal”. Demikian hatur Ki Patih Madri kehadapan Sang Prabu”.

Kemudian Ki Patih Madri menambahkan haturnya sekarang Paduka jangan terlalu bersedih dan khawatir. “Hamba akan menjalankan Swadharmaning Kawula (kewajiban sebagai rakyat) bersama dengan rakyat Kediri yang lainnya. Hamba akan mengabdikan jiwa dan raga hamba untuk Kediri. Kita akan gempur Calonarang Rangda Nateng Girah, kita hancurkan antek-antek, dan kita musnahkan Calonarang”.


Demikian Ki Patih Madri memompa semangat junjungannya. Sungguh lega hati Sang Prabu mendengar apa yang diucapkan oleh Ki Patih Madri. Raja Airlangga kemudian membuat keputusan untuk menggempur Calonarang Rangda Nateng Girah, dan mempercayakan kepada Ki Patih Madri sebagai pimpinan penyerangan. @bersambung

Tidak ada komentar: