Jurnalis Independen: Bila diperhatikan, mulai dari
kejatuhan Irak yang kini dikangkangi AS dan sekutunya, ada pola yang sama dalam
memberangus dunia islam di Afrika dan Arab. Cara adu domba, perang saudara dan
penyerbuan secara brutal tanpa rasa kemanusiaan. Menjadi cara pemberangus
muslim dibelahan dunia manapun muslim berada. Kini giliran Mesir diberangus Negara
Kabbalah yaitu AS, Negara Dajjal Israel dan Antek-anteknya. Setelah selama setahun dipimpin
Muhammed Mursi dari Ikhwanul Muslimin yang terpilih secara demokratis.
Dengan Legitimasi Kudeta Militer,
Partai An Nour Dianggap Menghianati Perjuangan oleh Kalangan Islam.
Ikhwanul Muslimin Mesir menyerukan sebuah “perlawanan” di negeri
Mesir dan meminta “masyarakat
internasional untuk menghentikan” para pembantaian ” yang berawal pada pasca
kudeta militer.
Panggilan tersebut untuk menjawab
serangan Senin subuh yang menewaskan
sedikitnya 35 massa Ikhwan yang sedang melakukan sholat di depan markas
Garda Republik di Kairo.
Partai Kebebasan dan Keadilan,
lengan politik ikhwanul Muslimin menuntut ” Pemberontakan oleh orang-orang
besar dari Mesir terhadap mereka yang berusaha untuk mencuri revolusi dengan
kekuatan tank”.
Ia mendesak “masyarakat
internasional dan kelompok-kelompok internasional dan seluruh rakyat bebas dari
dunia untuk segera campur tangan untuk menghentikan pembantaian berkelanjutan
dan mencegah sebuah Suriah baru di dunia Arab.”
Sebagian kalangan di Mesir
mengatakan dibalik jatuhnya pemerinta hasil pemilu Ikhwanul muslimin ada kepentingan
Israel yang disokong penuh oleh Amerika Serikat. Laporan mengatakan, Presiden
sementara Adly Mansour cenderung untuk menunjuk tokoh kelompok sayap kiri,
Ziad Bahaa Eldin sebagai perdana menteri, dan Partai Nour menyatakan
keprihatinan atas penunjukkan Eldin dan elBaredei.
Younes Makhyoun, Pemimpin Partai
An Nour , mengatakan kepada Reuters: “Keduanya dari partai yang sama, Salvation Front Nasional, ini harus ditolak
karena saya khawatir akan menjadi
sesuatu eksklusif lainnya.” Mengacu pada
tuduhan sebelumnya bahwa Ikhwan untuk memonopoli kekuasaan.
Sementara itu, Ulama Salafi
, Yaser Borhamy mengatakan kepada Al
Jazeera bahwa ia tidak ada masalah apa
pun untuk melawan Bahaa el-Din, tapi mereka lebih suka memiliki seseorang yang
tidak ada aliansi apapun dengan partai
politik. Kami berkeinginan seorang teknokrat murni jika hal itu ada,” katanya kepada Al Jazeera .
Sedangkan AFP melaporkan bahwa
perdana menteri akan dipastikan pada
hari Senin ini , mengutip pernyataan penasihat presiden interim itu.
Nour telah menyetujui roadmap tentara untuk transisi politik,
memberikan legitimasi kudeta militer. Dimana kudeta tersebut ditolak oleh
partai-partai Islam seperti Ikhwanul
Muslimin.
Partai An Nour dituduh oleh
kalangan Islamis lainnya sebagai
mengkhianati perjuangan, Partai An Nour harus melangkah hati-hati untuk
menghindari kehilangan dukungan di antara pemilih intinya.
Sementara terkait lengsernya
Presiden Mursi, telah terjadi pembantaian pertama kelompok Ikhwanul Muslimin,
sejak dikudetanya Mursi oleh pihak militer yang menjadi antek Israel dan Negara
Kabbalah AS. Penembakan atas pendukung Ikhwanul Muslimin di Kairo, yang
menuntut kembalinya Presiden Mohamed Morsi tergulingkan, menewaskan 34 orang.
Sumber medis Mesir mengatakan 15
tewas, namun seorang juru bicara Ikhwanul mengatakan 34 pendukungnya tewas
dalam penembakan yang terjadi subuh tadi.
Mohamed Mohamed Ibrahim
El-Beltagy, anggota Ikhwan , menggambarkan insiden tersebut sebagai
“pembantaian” Senin subuh, setelah polisi menyerbu beberapa massa ikhwan yang
sedang sholat Subuh..
Militer menembak suporter yang
tengah duduk di luar barak pengaman presiden, tempat Mursi diyakini ditahan.
Dia ditahan dan diyakini berada di barak pengaman presiden. Pendukungnya protes
untuk menuntut pelepasan Mursi.
Ikhwanul Muslimin mengatakan
militer menyerbu massa ikhwan sekitar pukul 04.00 ketika banyak pendemo tengah
shalat. Salah satu pendemo, Mahmud al-Shilli mengatakan, penjaga republik
menembakkan gas air mata, tapi sekelompok pria yang berpakaian sipil menembakkan
senjata.”Kami menjadi target,” ujarnya.
Dalam insiden pembantaian yang
disengaja sekitar 500 massa Ikhwan juga dilaporkan terluka.
Seorang dokter mengatakan kepada
Al Jazeera bahwa “mayoritas korban cedera mengalami luka tembak di kepala”.
Ikhwan mengatakan mereka yang
tewas dan terluka telah dibawa ke rumah sakit darurat di Nasr City, sebuah
lingkungan di ibukota Mesir. Lantas, belumkah sadar muslimin dunia jika Dajjal
mata satu itu telah muncul dan membantai di kawasan Timur Tengah, Afrika Islam
dan Negara- Negara Arab lainnya?
Saat banyak negara bersiap
menyambut bulan suci Ramadan dengan damai awal pekan ini, Mesir justru harus
menghadapinya di tengah suasana mencekam. Krisis politik di Mesir belum
berakhir, bahkan negara itu terancam terjebak perang saudara, seperti yang sudah
mendera Suriah dalam dua tahun terakhir.
Ancaman perang saudara ini sudah
diwanti-wanti oleh Imam Besar Masjid Al-Azhar yang merupakan seorang ulama
berpengaruh di Mesir, Ahmed El-Tayeb. Sebagai ungkapan protes atas krisis
politik yang telah menjadi konflik berdarah di negerinya, El-Tayeb berencana
mengasingkan diri dari kehidupan luar sampai perdamaian tercipta.
"Saya mungkin akan terpaksa
mengucilkan diri di rumah hingga semua pihak bersedia emban tanggungjawab untuk
melindungi rakyat dan mencegah negara ini dari perang saudara," kata
El-Tayeb dalam pernyataan yang disiarkan stasiun televisi pemerintah Mesir, dan
juga dikutip kantor berita al-Ahram Senin kemarin.
Sehari sebelum Imam Besar
El-Tayeb melontarkan kegundahannya, masyarakat internasional pun sudah melihat
kekhawatiran akan ancaman perang saudara di Mesir. Presiden Rusia, Vladimir
Putin, turut khawatir akan eskalasi konflik di negara itu.
"Suriah sudah berada dalam
cengkeraman perang saudara...dan Mesir kini sedang bergerak ke arah yang sama,"
kata Putin di tengah lawatannya ke Kazakhstan seperti dikutip kantor berita
Rusia, RIA Novosti.
Lalu sejumlah media asing sudah
memaparkan potensi ancaman perang saudara di Mesir. Salah satunya harian The
Jerusalem Post, yang mengingatkan bahwa huru-hara di Mesir bisa saja berakhir
seperti yang dialami tetangganya, Aljazair, 20 tahun lalu.
Perang saudara di Aljazair
dimulai setelah militer setempat ikut campur dalam gelanggang politik dengan
menghentikan jalannya putaran kedua Pemilu pada Januari 1992.
Partai Islam terbesar di Aljazair
- Fron Penyelamat Islam - saat itu di ambang kemenangan Pemilu setelah unggul
pada putaran pertama pemungutan suara. Namun, langkah mereka dihentikan paksa
oleh militer dan berlanjut ke perang saudara selama sekian tahun yang
menewaskan sekitar 200.000 orang. "Sepertinya ini bisa terjadi juga di
Mesir," tulis koran Israel itu.
Imam Besar El-Tayeb pantas
khawatir akan potensi perang saudara di Mesir sebab bangsanya belum menemukan
titik terang dalam mengatasi krisis. Masyarakat internasional turut cemas atas
masa depan Mesir, yang masih belum pulih dari krisis ekonomi setelah
menumbangkan rezim Hosni Mubarak lewat pergolakan berdarah pada Februari 2011.
Pertentangan sektarian dan
politik antara kelompok Islam konservatif yang diwakili Ikhwanul Muslimin, yang
berada di atas panggung kekuasaan sejak Morsi menang Pemilu 2012, dengan
golongan liberal-sekuler yang beroposisi semakin tajam. Krisis pun semakin
parah karena militer kembali terlibat dalam perpolitikan dengan mengkudeta
Presiden Mursi, membekukan konstitusi, dan menunjuk pemimpin sementara, Adli
Mansour.
Bahkan jumlah korban jiwa dalam
seminggu terakhir akibat konflik itu malah bertambah. Kudeta militer atas
Presiden Mohamed Mursi dan penunjukkan Hakim Adli Mansour sebagai pemimpin
sementara untuk segera mempersiapkan Pemilu ternyata tidak langsung menjamin
konflik segera berakhir.
Para pendukung Morsi yang juga
simpatisan dan kader kelompok Ikhwanul Muslimin - yang mendukung Mursi - sejak
Jumat pekan lalu terus berdemonstrasi menentang kudeta militer di Kairo dan
kota-kota besar lainnya di Mesir.
Tanggapan brutal dari militer
Mesir, dengan menembaki para demonstran di Kairo sehingga menewaskan 51 jiwa
dan melukai 435 orang pada Senin kemarin dan merenggut nyawa tiga jiwa dan
mencederai puluhan pemrotes di kota yang sama pada Jumat pekan lalu, ternyata
tidak menyurutkan nyali para pendemo.
Bahkan seorang demonstran, Hamdi
el-Said, menyatakan akan tetap membela Mursi, presiden pilihannya pada Pemilu
lalu. "Saya akan terus mempertahankan pilihan saya hingga mati syahid,
seperti mereka yang dibunuh kemarin," kata el-Said seperti dikutip stasiun
berita BBC. Penembakan itu digambarkan sebagai suatu pembantaian atas
orang-orang tidak bersalah.
Militer tidak diam saja. Mereka
beralasan terpaksa menembak karena sebelumnya telah diserang gerombolan
bersenjata pada Senin pukul 4 dinihari, kata juru bicara militer Kolonel Ahmed
Ali. Penyerangan berlangsung di pos keamanan markas pasukan Garda Republik,
yang juga menjadi lokasi unjuk rasa.
Penyerang mengira markas itu
menjadi tempat tahanan bagi Mursi dan pimpinan Ikhwanul Muslimin. Menurut Ali,
penyerangan itu menyebabkan dua polisi dan seorang tentara tewas setelah
terjadi baku tembak dan delapan personel luka-luka.
Segera Pemilu
Entah klaim siapa yang benar,
nyatanya belum ada pihak di Mesir yang maju untuk menawarkan solusi damai.
Semua pihak yang bertikai saling menyalahkan dan saling klaim bahwa pihak
mereka sebagai korban.
Sebagai pemimpin sementara yang
tidak dipilih rakyat, Presiden Mansour sadar bahwa salah satu cara untuk
mengatasi konflik adalah segera menyiapkan pemilu untuk memilih parlemen dan
pemimpin baru.
Menurut kantor berita Reuters,
Mansour telah mengeluarkan dekrit baru yang menargetkan bahwa pemilu parlemen
harus terselenggara dalam jangka waktu enam bulan. Setelah itu segera
diselenggarakan Pemilu Presiden.
Namun, sebelum pemilu parlemen
terselenggara, Mansour juga harus mengupayakan referendum untuk menyetujui
sejumlah amandemen konstitusi Mesir, yang pemberlakuannya dicabut sementara
waktu setelah militer mengkudeta Presiden Mursi Rabu pekan lalu. Referendum ini
juga harus terselenggara dalam jangka waktu enam bulan.
Belum ada kata sepakat dari
partai-partai politik terkait dekrit terbaru dari Presiden Mansour, hakim ketua
Mahkamah Konstitusi yang baru dilantik jadi kepala negara sementara Mesir
sehari setelah kudeta militer. Masalahnya, tidak gampang untuk membujuk massa
Ikhwanul Muslimin untuk berkompromi padahal mereka saat ini adalah kelompok
politik paling berpengaruh di Mesir.
Para aktivis Ikhwanul masih geram
atas perlakuan militer Mesir kepada mantan Presiden Mursi dan pimpinan kelompok
mereka, yang ditahan sejak kudeta. Mereka menilai militer menerapkan langkah
yang inkonstitusional, dengan secara paksa menyingkirkan presiden yang dipilih
secara sah melalui Pemilu demokratis pertama di Mesir pada 2012.
"Tidak ada yang memilih
presiden ini," kata seorang simpatisan Ikhwanul, Ashraf Awad, seperti
dikutip BBC. "Dia secara tidak sah disumpah jadi pemimpin, jadi semua
keputusan yang dia buat tidak akan diakui rakyat," lanjut Awad.
Ikhwanul Muslimin sejak dulu
memang sudah jadi anak tiri, diberangus sejak pemerintahan Gamal Abdel Nasser
di tahun 50an hingga Hosni Mubarak di tahun 2000an.
Namun, seorang pejabat Ikhwanul
Muslimin mengatakan, upaya pemberantasan Ikhwanul Muslimin kali ini lebih
parah. "Ini bahkan lebih parah bagi kami dibandingkan saat berada di bawah
kepemimpinan Mubarak," kata Amr Darrag, dilansir The Independent pekan
lalu.
Hal yang sama sempat disampaikan
Mohamed Badie, ketua Ikhwanul Muslimin Mesir, hari Minggu lalu. Pemerintahan
Mansour menangkapi para petinggi Ikhwanul Muslimin, persis seperti yang
dilakukan Mubarak beberapa tahun lalu.
"Rezim tidak sah yang
berdiri melalui kudeta terus melakukan kampanye keamanan yang digunakan pada
rezim Mubarak, dengan menangkap Al-Shater, wakil ketua IM, Sheikh Hazem Salah
Abu-Ismail, anggota parlemen Mohamed Al-Omda, dan juga mantan ketua parlemen Dr
Mohamed Saad Katatni dan Dr Rashad Bayoumi, wakil ketua Ikhwanul
Muslimin," kata Badie dalam pernyataannya, dilansir dari Ikhwanweb.com,
situs resmi Ikhwanul Muslimin.@JI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar