Jurnalis Independen: Kecamatan pesanggaran merupakan satu satunya wilayah
di kabupaten Banyuwangi yang menyimpan sejuta harta karun berupa gunung Emas.
Hal ini bukan sebuah mitos belaka karena memang realitanya saat ini di sana
tepatnya di Gunung Tumpang Pitu Pulau Merah Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi
ada aktifitas penambangan emas yang dilakukan oleh PT Indo Multi Niaga dan
ratusan penambang liar yang 24 jam.
Saiful Hadi dilahirkan
dan di besarkan di desa Ringin Agung Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.
Sejak kecil Hadi sering di dongengi oleh orang tua dan kakeknya jika suatu hari
nanti Desa Pesanggaran akan menjadi kota. Orangnya akan kaya-kaya karena adanya
emas di Tumpang Pitu, konon katanya di jaga oleh Ular yang bertapa, ular itu
sangat besar dan melingkari gunung.
Cerita tersebut
memang berasal dari lisan kelisan atau mungkin memang kisah tersebut berasal
turun-temurun dari nenek moyang warga Pesanggaran Banyuwangi. Namun bagi
generasi muda disana saat itu memang tidak percaya dan menganggap hanya sebagai
dongeng pengantar tidur saja karena memang hingga Saiful Hadi dewasa belum
pernah terbukti adanya orang yang menemukan Emas di daerah tersebut.
Tapi seiring
berjalannya waktu sekitar tahun 2009 hingga 2010 lalu, banyak masyarakat
berbondong bondong ke sana untuk melakukan aktifitas penambangan liar. Sebabnya,
ada seseorang yang menemukan butiran emas di kawasan itu. oleh pemerintah
daerah setempat, diberi Patok/tanda dan
kabarnya akan dilakukan aktifitas pertambangan.
Sejak saat
itulah kawasan Gunung Tumpang Pitu Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi mulai
dikenal oleh masyarakat diluar daerah kabupaten bahkan propinsi. Mereka datang
untuk melakukan aktifitas pertambangan liar sehingga lambat laun menyulut
konflik sosial baik antara sesama penambang, masyarakat setempat maupun dengan
pihak aparat.
Ketika liburan Saiful
biasanya mencari informasi terkait perkembangan terkini kondisi pertambangan
emas Tumpang Pitu tersebut. Dari beberapa informasi yang sempat didapat, ada
beberapa cerita dibalik penambangan emas Tumpang Pitu. Terlepas itu benar atau
tidak atau mungkin hanya sekedar mitos.
Penemuan awal
tambang emas ini di daerah Kucur (Sumber mata air di pegunungan yang tidak
pernah kering meskipun musim kemarau) namanya petak 56. Kawasan ini terletak di
Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.
Daerah Kucur ini merupakan lereng pegunungan yang sejak dahulu digunakan
masyarakat Pesanggaran dan sekitarnya untuk bercocok tanam. Bahkan sebagai tempat untuk mencari bambu wuluh
(Pohon Bambu kecil-kecil) serta mencari Rebung (Bambu muda untuk sayur). Pokoknya
daerah kucur ini merupakan lahan mata pencaharian penduduk Pesanggaran
sehari-hari.
Sejak dahulu
wilayah Kucur ini terkenal singit dan kisah mistis. Hal ini dibuktikan oleh
beberapa orang yang ingin mencari sarang wallet di gunung Tumpang Pitu. Karena memang
ditempat itu menjadi kawasan hidup burung wallet. Bahkan karena banyaknya
sampai-sampai burung surga itu menutupi awan. Sehingga orang berjalan di bawahnya
seperti berada dibawah payung karena tidak tersinari oleh cahaya matahari.
Namun anehnya setelah ditunggu beberapa saat sedikit demi sedikit burung walet
tersebut menghilang tanpa jejak. Anehnya para pencari sarang burung walet
tersebut tidak menemukan dimana letak sarang burung walet tersebut.
Cerita lain,
dikisahkan oleh seorang penambang liar yang mengambil tanah disana untuk dibawa
pulang guna dilakukan pengayaan. Pengayaan dimaksudkan untuk mencari emas dari
bongkahan batu yang didapatnya. Namun anehnya mereka malah bermimpi di datangi
penunggu Tumpang Pitu untuk mengembalikan tanah yang telah di ambil tersebut.
Ada cerita lagi,
dikisahkan ada seorang penambang dari daerah Silir baru yang telah mendapatkan
emas yang cukup melimpah. Namun pada malam harinya saat tidur, dia bermimpi
didatangi oleh seorang yang pemuda yang memberikan arahan kepadanya dimana
letak emas tersebut. Ketika ditanya dalam mimpi pemuda tersebut mengaku bernama
WAKIJO. Tentu saja penambang tersebut kaget dan sebagai rasa terima kasihnya
tersebut ia mencari seseorang yang bernama wakijo. Beberapa hari kemudian baru bertemu
dengan pemuda bernama Wakijo. Ternyata Wakijo itu adalah tetangga Saiful Hadi
dan kondisi kejiwaannya sangat labil alias gila. Betapa kagetnya penambang itu,
bagaimana mungkin sebelumnya ia belum pernah bertemu Wakijo namun ia
dipertemukan dengan Wakijo di alam mimpi, yang di alam nyata Wakijo adalah
orang gila.
Supiah
Dipercayai Jelmaan Nyi Blorong dan Simbol Malapetaka
Keanehan lain
juga dialami oleh seorang nenek. Seperti biasanya si nenek selalu menunggu sang
suami yang memiliki pekerjaan mencari ikan. Sehari-hari selalu pulang tepat
waktu, yaitu menjelang sore hari. Sore itu, si suami hingga menjelang masuk
waktu Mahgrib, belum pulang juga. Lantaran khawatir terjadi sesuatu pada
suaminya, si nenek menyusul sang suami. Akhirnya sang nenek tersebut menyusul
ke pantai Grajakan. Tepat waktu Mahgrib ada salah seorang nelayan yang melihat
nenek tersebut jalan diatas air. Selangkah demi selangkah menuju ke tengah laut.
Namun ketika di pergoki dia mengaku agak linglung dan marah-marah jika rumahnya
di ganggu. Si nenek mengaku bahwa rumahnya yang berada di Tumpang Pitu telah
dihancurkan oleh para penambang.
Si Nenek
tersebut dikenal sebagai Supiah. Nama Supiah saat
itu sempat menjadi buah bibir. Ada yang meragukan namun tak sedikit juga yang
mempercayai. Nenek yang dipergoki duduk mengambang di laut Pelawangan,
Grajagan, Banyuwangi itu dipercaya disusupi penghuni laut selatan dan bahkan
kehadirannya bisa menimbulkan musibah.
Pandangan itu
diungkap Mbah Syaid, tokoh yang dituakan dari Kecamatan Genteng, Banyuwangi.
Menurut pria yang mampu melakukan peneropongan secara gaib ini, Supiah
sejatinya adalah perempuan berkepala manusia berbadan ular. Atau biasa disebut
oleh masyarakat Jawa selama ini sebagai Nyi Blorong.
"Makhluk
halus yang dikenal kejam itu sudah lama ada di dalam tubuh Supiah. Supiah itu
sejatinya Nyi Blorong," ungkapnya.
Dijelaskan juga,
tujuan Supiah ke laut bukan untuk mencari anaknya saja. Tapi meminta bantuan
sesama makhluk halus, akibat pemukiman mereka (makhluk halus) di Gunung Tumpang
Pitu rusak akibat penambangan emas. Sebab itu pula, sudah mulai ada tanda-tanda
jika permintaan Supiah direspon oleh rekan-rekannya di laut selatan.
"Tak akan
lama lagi akan ada goro-goro (masalah) yang berawal dari tambang emas, penghuni
laut selatan dan Alas Purwo mulai turun gunung," jelas dia seakan
memperingatkan. Apalagi sebelumnya Supiah mengaku berasal dari Gunung Tumpang
Pitu. Padahal dia sehari-harinya tinggal di Dusun Selorejo Desa Temurejo
Kecamatan Bangorejo. Pernyataan serupa juga disampaikan Syueb Akbar, sesepuh
Pesisir Grajagan. Laki-laki yang terkenal dekat dengan para penunggu laut
Grajagan itu, mengaku, jika dirinya sudah ditemui Ki Ageng Wilis, penunggu
Gunung Tumpang Pitu.
Dalam
pertemuannya itu, Ki Ageng Wilis yang dulunya penunggu laut Pelawangan tersebut
mengingatkan, jika akan ada masalah besar akibat adanya tambang emas. "Ki
Ageng Wilis bertemu dengan saya, beliau sesaat turun dari kudanya, bilang jika
dalam waktu dekat akan ada marabahaya yang disebabkan dari tambang emas,"
ungkap Syueb. @
Penambangan
Emas dan dampak sosial
Biasanya ketika
melakukan penambangan emas masyrakat menggali tanah sedalam mungkin untuk
mengambil butiran-butiran emas dengan menggunakan alat jenset dan betel. Saat itu
ada sekitar 9 orang yang mengambil sampel tanah untuk diteliti. Setelah
diteliti, kesembilan orang tersebut menyatakan bahwa tanah yang mereka bawa
tersebut tidak memiliki kandungan emas sedikitpun. Setelah tanah tersebut
dianggap tidak berharga, maka dibuanglah tanah tersebut. Anehnya, setelah
dibuang, menjadi rebutan banyak orang dan tanah tersebut mengandung butiran
emas yang tak ternilai banyaknya.
Disamping
kisah-kisah yang bernuansa mistis mengiringi mereka ternyata ada dampak sosial
yang menimpa mereka akibat penambangan emas Tumpang Pitu. Dari banyak cerita
tersebut antara lain beberapa orang dari masyarakat pesanggaran saat ini mulai
malas melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti Tahlilan, Jumatan atau
selamatan dengan masyarakat sekitar. Mereka lebih disibukan melakukan
pengubangan untuk mencari emas yang memang amat menjanjikan. Dampaknya, warga
atau para pemburu illegal emas Tumpang Pitu, melupakan altivitas ibadah dan
aktivitas sosial lainnya demi memburu emas. Akibatnya, aktifitas masjid menjadi
sepi.
Sejak ditemukan
tambang Emas di Tumpang Pitu, matapencaharian masyarakat, yaitu mencari bamboo
wuluh dan bertani, menjadi terbengkalai. Warga Pesanggrahan lebih memilih
menjadi penambang emas dari pada menjadi petani dan pencari bamboo yang
penghasilannya tidak seberapa dibanding hasil dari tambang emas. Penghasilan
ratusan juta dalam waktu relatif singkat, merubah gaya hidup masyarakat.
Pemenuhan kebutuhan sekunder, menjadi mimpi nyata khususnya warga Pesanggrahan.
Kasus perselingkuhan seakan meledak tak terkendali, seiring naiknya pendapatan
warga. Akibatnya, banyak kasus perceraian terjadi dan menjadi hal biasa bagi
warga Pesanggrahan.
Tak berhenti
sampai disitu, pertengkaran antar keluarga, seperti ayah dan anak juga tak
terhindarkan. Seorang ayah dan anak bisa bertengkar memperebutkan sebongkah
tanah yang memiliki kandungan emas. Mereka saling berebut di area penambangan.
Melakukan ibadah sholat, khususnya waktu Dhuhur, menjadi ujian yang tak ringan
bagi warga di sana. Seorang penambang mengalaminya sendiri, ia bernama Samad. Jika
saat Dhuhur tiba, tanah yang digali kelihatan kekuning-kuningan menandakan ada
kandungan emas. Lalu Samad keluar dari sumur penggalian, membersihkan diri dan
melakukan sholat Dhuhur di kamp nya. Selesai melakukan sholat, makan dan
istirahat sebentar, ia kembali menuruni galian pertambangan. Wal hasil, setelah
dodalam sumur, ia tidak mendapati lagi bongkahan-bongkahan batu yang mengandung
emas. Kelipan emas di dinding sumur telah sirna seiring waktu sholat Dhuhur.
Samad mengatakan
kepada Saiful, “memang kebanyakan sepengetahuan saya, yang mendapatkan emas
disana adalah orang yang gak pernah melakukan aktifitas keagamaan,” jelas Samad.
Dampak sosial
lain adalah tumbuh suburnya pelacuran. Pelacuran-pun juga semakin merebak. Hal ini
terlihat adanya fenomena pelacuran terjadi di area pertambangan. Mungkin hal
ini terjadi karena menurut para PSK adalah sebuah peluang untuk mendapatkan
keuntungan. Mungkin karena banyaknya pria kurang belaian karena memang banyak
perantau yang datang disana dan jauh dari sang istri. “Sebenarnya banyak
pendududk setempat miris melihat kondisi ini. Orang yang sudah tua-tua sekitar
umur 35-40 an masih berdandan menor dan menjadi seorang penghibur dengan
berkedok jual makanan. Meskipun gak semua penjual makanan disana sebagai
pengibur. Warga berharap mudah-mudahan fenomena ini segera berakhir dan
masyarakat Pesanggaran bisa beraktifitas dengan tenang, jelas Saiful.@
Walet
Siluman
Wilayah
Banyuwangi memang di identikkan dengan banyak misteri. Sebagian besar
masyarakat di luar wilayah ujung timur Pulau Jawa tesebut selalu
mengindentikkan peninggalan wilayah Kerajaan Blambangan ini dengan santet.
Suatu hari,
seorang penduduk setempat menemukan banyak sarang burung walet di sekitar hutan
Gunung Tumpang Pitu, Pesanggaran, Banyuwangi. Ketika ia akan memanen keesokan
harinya, ternyata sarang walet itupun sirna entah ke mana.
Sejak dahulu
wilayah kucur ini terkenal dengan berbagai kisah mistis hal ini dibuktikan oleh
beberapa orang yang ingin mencari sarang walet di gunung tumpang pitu karena memang
saat itu banyak burung walet berterbangan di udara pada siang hari bahkan
saking banyaknya sampai-sampai menutupi langit sehingga orang berjalan di
bawahnya seperti berada dibawah payung raksasa karena tidak tersinari oleh
cahaya matahari. Namun anehnya setelah ditunggu beberapa saat sedikit demi
sedikit burung walet tersebut menghilang tanpa jejak sehingga pencari sarang
burung wallet tersebut tidak menemukan dimana letak sarang burung wallet
tersebut.
Pada malam harinya
beberapa pencari sarang walet tersebut ditemui oleh sepasang kakek nenek yang
mengaku sebagai sepasang suami istri dari jogja. Beliau berpesan agar tidak
mengganggu tempat itu karena menurutnya pemilik tumpang pitu belum mengijinkan
untuk mengambil harta karunnya suatu hari nanti jika sudah saatnya akan
diberikan kepada masyarakat pesanggaran dan sekitarnya. Akhirnya dengan tangan
hampa mereka pulang tanpa membawa hasil harta karun berupa sarang wallet yang
ada hanya kelelahan karena harus begadang berhari-hari untuk mendapatkan
wangsit.
Cerita tentang
penemuan sarang walet oleh penduduk di sekitar Gunung Tumpang Pitu yang
kemudian hilang, juga diceritakan si penjual bakso. Cerita si penjual bakso
tentang keberadaan sarang burung walet di sekitar gunung, ternyata bukan hanya
monopoli masyarakat awam di sana. Hasnan pun mengatakan, bahwa di sana terdapat
banyak sarang burung walet, tetapi dalam dimensi mistis.
Jika seseorang
menemukan sarang walet tersebut pada saat tertentu, maka ia harus memanennya
saat itu juga. Namun bila ia menunggu untuk memanennya di hari berikutnya, bisa
dipastikan sarang tersebut akan lenyap seperti ditelan bumi.
Hal ini bukan
terjadi lantaran ada orang terlebih dahulu memanen sarang tersebut. Sarang
walet yang ditemukan, syaratnya memang harus dipanen saat itu juga. Cerita ini
sangat dipercaya dan dipahami banyak penduduk di sana.
Namun kenyataannya
pemandangan pada siang hari amat berbeda dengan cerita mistik yang menyelimuti
wilayah Banyuwangi umumnya. Jalan berkelok-kelok dengan lebatnya hutan di kanan
dan kiri jalan kawasan Alas Mrawan semakin memperlihatkan keindahan wilayah
tersebut. Kesan mistis atau angker sama-sekali tidak mampu mengalahkan keindahan
alam dan tatapan ramah penduduk di tepi jalan.
Setelah sekitar
tiga jam menempuh perjalanan dari kota Jember, kita akan sampai, tepatnya di
kawasan Pantai Pulau Merah, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa
Timur. Di atas pantai itu, berdiri dengan tegap jajaran perbukitan bernama
Gunung Tumpang Pitu. Disanalah terdapat penambangan emas, konon pemodalnya asal
Jakarta yang kini dampaknya dicemaskan sebagian masyarakat di wilayah tersebut.
Di sekitar
Pantai Pulau Merah, terdapat banyak penjual makanan, diantaranya penjual bakso.
Berjejer para penjual bakso yang berusaha mengais rejeki dari para pelancong
maupun para penambang yang sedah rehat dari aktivitasnya. Salah satu penjual
bakso dilokasi itum terdapat seorang perempuan yang belum terlalu tua. Dari
perempuan itulah, cerita-cerita mistis di sekitar Banyuwangi meluncur deras,
terutama yang terkait dengan tambang emas Tumpang Pitu.
Ia bercerita
tentang banyaknya harta karun di Gunung Tumpang Pitu. Perempuan itu juga
menunjukkan contoh uang berbentuk koin berwarna keemasan yang sempat ditemukan
dalam jumlah banyak.
Bagi pendatang
yang baru menginjakkan kakinya di kawasan itu, tentu dicurigai akan melakukan
penambangan seperti yang lainnya. Dan itu akan doianggap sebagai pesaing bahkan
akan mengurangi jatah penambangan, para penambang kawak alias lawas. Hingga tak
jarang para penambang terdahulu juga menyebarkan isu, jika diatas pegunungan
itu banyak terdapat binatang buas dan liar. Bahkan cerita mistik yang amat
menakutkan bagi pendatang bernyali ciut.
Tak jarang suara
bisik-bisik terdengar dari kumpulan pemuda. “Kasih tahu kalau di atas (Gunung
Tumpang Pitu) ada macan.” Perkataan seperti ini kerap dilontarkan sebagai
refleksi ketidaksenangan atas kehadiran orang asing di wilayah tersebut.
Jika ada
rombongan baru naik ke punggung gunung Tumpang Pitu, para penambang seakan
bersepakat melakukan gerakan tutup mulut. Mereka tak mau memberikan sedikitpun
informasi kepada pendatang baru. Tidak satupun dari mereka mau memberikan
informasi terkait penambangan emas di gunung tersebut. Meski di antara mereka
ada yang menyempatkan diri berbicara, tapi tak ada jawaban memuaskan muncul
dari mereka.
Pura
Segara Tawang Alun
Jika dilihat
sekilas, pura tersebut tidak berbeda dengan kebanyakan pura lainnya. Akan
tetapi letakknya yang berada di kaki gunung dan hanya berjarak beberapa meter
saja dari pantai laut selatan, posisi ini jelas menunjukkan bahwa pura tersebut
bukan pura biasa.
Ternyata, Pura
Segara Tawang Alun memang bukan pura biasa. Budayawan Banyuwangi, Hasnan
Singodimayan menuturkan, bahwa di kawasan tersebut dahulunya merupakan tempat
pertapaanWong Agung Wilis.
“Di wilayah
Banyuwangi sebelah selatan, dulunya tempat pertapaan Wong Agung Wilis. Tokoh
setelah Prabu Tawang Alun pada abad 16. Beliau adalah pejuang melawan kompeni
Belanda di daerah Grajagan sampai wilayah selatan hingga ke Pulau Merah,”
demikian pemaparan Hasnan.
Masih menurut
Hasan, hutan di sekitar pantai selatan, tepatnya di sepanjang Meru Betiri dan
Alas Purwo sangat dipercaya masyarakat Banyuwangi sebagai tempat yang banyak
menyimpan kekuatan mistis.
Begitu pula
dengan keberadaan harta karun berupa koin emas yang ditemukan dalam jumlah
besar, menurut Hasnan, koin emas tersebut merupakan sesaji persembahan
masyarakat tempo dulu ketika melakukan upacara keagamaan.
“Akibat
banyaknya sesaji itu, maka sekarang para kapitalis Jakarta termasuk Bupati
Banyuwangi pun ikut-ikutan menganggap ada tambang emas padahal tidak ada sama
sekali,” begitu lanjut Hasnan.
Jika pendapat sang
budayawan Banyuwangi saja seperti itu, yakni yakin tentang tidak adanya potensi
tambang batuan emas di sana, maka bisa dibayangkan bagaimana keyakinan
masyarakat di sana terkait potensi kandungan emas di gunung tersebut.
Masyarakat di
sana tentu lebih yakin lagi, bahwa tidak ada potensi tambang batuan emas di
sana. Bagi mereka, emas yang ada di Gunung Tumpang Pitu hanyalah emas berbentuk
harta karun.
Sehingga untuk
mendapatkan emas tersebut diperlukan “laku batin” bagi mereka yang
menginginkannya. Masyarakat awam di sana tentu tidak ada yang menyangkalnya,
apalagi cerita itu telah ratusan kali turun temurun dari generasi ke generasi
berikutnya.
Seorang bernama
Kartono, juga menceritakan kemesteriusan harta karun Tumpang Pitu. Pria paruh baya yang ditemui setelah pendakian
Gunung Tumpang Pitu juga menceritakan tentang adanya petilasan keramat dan gua
di ketinggian gunung tersebut.
Menurut pria itu,
goa tersebut merupakan lokasi meletakkan sesaji berbentuk koin emas. Harta
karun berbentuk koin emas inilah yang banyak diburu masyarakat di sana.
Anehnya,
pernyataan si budayawan ternyata berbeda dengan kondisi sesungguhnya di
lapangan. Pada kenyataannya menunjukkan, bahwa di Gunung Tumpang Pitu memang
sedang ada aktivitas penambangan batuan emas.
Di wilayah
penambangan tersebut, terdapat tak kurang sekitar seratus pekerja. Beberapa di
antaranya terlihat orang kulit putih, konon mereka berasal dari Belanda dan
Australia. Mereka dengan sebuah bendera perusahaan pertambangan tampak aktif
mengebor batuan dari perut bumi di gunung tersebut.
Tampaknya
masyarakat sekitar gunung dan Pantai Pulau Merah kecolongan. Emas yang menurut
mereka hanya bisa didapatkan dengan upaya spiritual, ternyata justru bisa
didapatkan lewat upaya rasional berbentuk pertambangan batuan emas.
Ya, perut bumi
di Gunung Tumpang Pitu ternyata menyimpan kandungan batuan emas dengan potensi
menggiurkan. Kini, sebuah perusahaan penambangan besar telah menikmati kilauan
emas sesungguhnya. Lalu bagaimana nasib masyarakat di sana? Akankah nasib
mereka sama dengan nasib saudara kita yang memiliki harta tambang super
fantastis Freeport di Papua yang amat dijaga bahkan oleh Presiden Pertama
Republik Indonesia Ir. Soekarno atau Bung Karno? Semua tergantung pada
Pemerintah Indonesia dan para pemimpin bangsa.
Penambang
Emas Mimpi Didatangi Penunggu Gunung Tumpang Pitu
Pemburu emas di
Sungai Gonggo, lembah Gunung Tumpang Pitu, Desa/Kecamatan Pesanggaran,
Banyuwangi saat itu ketakutan. Pasalnya, saat rehat dari aktivitas penambangan,
saat tidur, mereka mengaku mimpi didatangi wujud kakek dan putri yang diyakini
penunggu kawasan Gunung Tumpang Pitu.
Dalam mimpi itu
warga diminta untuk segera mengembalikan tanah yang diambil. Jika tidak,
musibah atau bencana akan terus menghantui sepanjang hidupnya. Sejak mendapat
mimpi tersebut, diam-diam mereka mengembalikan tanah hasil ‘jarahan’ ke tempat
asalnya.
“Saya mimpi
ditemui kakek-kakek yang mengaku penunggu Tumpang Pitu dan menyuruh
mengembalikan tanah yang saya ambil dari Sungai Gonggo. Jika tidak saya kembalikan,
katanya akan kualat,” jelas seorang warga yang sempat ikut mendulang emas,
sesaat menyerahkan tanah yang sempat diambilnya ke Petugas yang berjaga. Kisah
itu terjadi pada Jumat, (1/5/2009) siang.
Anehnya, tak
hanya satu dua orang saja yang bermimpi serupa. Rata-rata pendulang emas asal
Kecamatan Pesanggaran juga mengaku mimpi yang sama. Karena mendapat wangsit
itulah, warga secara sukarela mengembalikan tanah yang diduga mengandung emas
tersebut. Namun, untuk mengembalikan tanah itu mereka harus dikawal polisi atau
petugas dari TNI.
“Saya jadi malu,
tapi dari pada kualat mending saya kembalikan saja,” jelas salah seorang warga
asal Desa Sumbermulyo Kecamatan Pesanggaran Samsuri di lokasi.
Sedangkan
Kapolsek Pesanggaran, AKP Jodana merasa geli mendengar pengakuan warga
tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan Danramil Pesanggaran, Lettu Zainuri,
saat memimpin anggotanya berjaga di pintu masuk antara kampung 56 dan hutan
produksi.
“Ada-ada saja
mereka ini, kemarin ngotot nambang emas. Tapi tidak mengapa kalau memang hal
itu membuat mereka sadar untuk tidak menambang emas lagi,” jelas Jodana
setengah menahan tawa.
Sementara jika
sebagian penambang emas tradisional mengembalikan tanah dan perburuannya, namun
banyak warga luar Pesanggrahan justru sebaliknya. Mereka berusaha terus mencari
emas melalui hutan lindung, sekitar 3 kilometer, timur dari lokasi awal
penambangan. Tepatnya, melalui petak 25 dan Pantai Lampon yang memang tidak
dijaga oleh petugas.
“Kami pergoki
mereka di perbatasan hutan produksi dan hutan lindung, timur petak 79. Mereka
langsung semburat lari saat mengetahui kedatangan kami,” jelas Sastriyadi,
salah satu petugas Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Batas antara pemukiman dan
areal hutan produksi kampung 56, memang menjadi pos penjagaan bagi pihak Perhutani.
Dari sekian
puluhan penambang emas tradisional yang bandel tersebut, identitas mereka
sempat diketahui oleh anggota perhutani yang memergokinya. Meski hanya dari
bahasa yang digunakan dalam percakapan mereka.
“Saya dengar
percakapan mereka itu pakai bahasa Sunda,” jelas Sastriyadi lagi saat
berkoodinasi dengan petugas dari Polri dan TNI.
Merasa
kecolongan, petugas Polri/TNI yang berjaga di beberapa titik langsung melakukan
pengejaran. Beberapa petugas dengan menggunakan sepeda motor, masuk ke hutan
menuju lokasi yang dimaksud.
“Kita kejar
mereka, siapa tahu masih ada yang di lokasi,” jelas Danramil Pesanggaran, Lettu
Zainuri didampingi Kapolsek Pesanggaran AKP Jodana Gunadi.
Kejadian ini
terjadi pada pertengahan tahun 2009, kini lokasi pegunungan Tumpang Pitu telah
terkapling menjadi milik banyak perusahaan. Bahkan perusahaan asal Australia
memiliki puluhan ribu dan menjadi “pengelolah” pegunungan emas Tumpang Pitu. @
1 komentar:
JUAL BONGKAHAN BACAN DOKO SUPER
ASLI DARI HALMAHERA SELATAN ( PULAU KASIRUTA )
BAHAN BACAN SUPER KRISTAL MALUKU UTARA.
Kondisi bahan ;.
- Bahan / rough bacan doko asli bukan sintetis.
- Bahan tua (galian lama).
- Kualitas super kristal- Sudah tembus.
- Bahan keras dan padat.
- Siap gosok poles.
- Daging utuh, tanpa kapur.
- Tidak rapuh, tidak mudah pecah / retak.
- Deskipsi sesuai apa adanya, harap diperhatikan dengan baik
Daftar harga :
1 0ns ; Rp 750.000
5.ons Rp.2.500.000
1.kg Rp 3.750.000
5 kg Rp 10.000.000
10 Kg Rp 17.500.000
15,kg Rp.20,000,000,
Melayani Pembelian Per Kilo Dan Per Ons Untuk Bongkahan
Kita Juga Melayani Pembelian Luar Daerah Dan Luar Kota
setiap pembelian perkilo dapat bonus 1 permata batu bacan dan bongkahan batu bacan ukuran kecil Origin,
untuk yg mau pesan hub ;
Hp.; 0812 4195 6724
pin : 27BD397E
adapun cara transakai,anda bisa datang langsung ke rumah kami. alamatnya di jl buana seli rt 016 rw 002,
desa/kel ;labuhan, kec ;bacan, kab ; halmahera selatan, prov ; maluku utara.
barang juga bisa kami kirim lewat jasa pengiriman tiki,jne,pos,muatan udara dan lewat kargo bandara.setelah barang
dikirim, kami akan berikan bukti resi pengirimannya.
INGAT..!!!!! HATI-HATI PENIPUAN DENGAN HARGA MURAH SALAH ORANG ANDA BISA TERTIPU.
Posting Komentar