Jurnalis Independen: Ketika perhatian bangsa Indonesia lagi tertuju pada hasil Pilpres dan Hari Raya Idul Fitri, tiba-tiba secara tak terduga pemerintah Indonesia melakukan penandatangganan MoU dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) pada 25 Juli 2014 lalu, yang berupa renegosiasi (baca: perpanjangan) kontrak karya. Anehnya, renegosiasi kontrak karya itu dilakukan setelah mantan Presiden AS Bill Clinton berkunjung ke Jakarta dan bertemu Presiden SBY.
Bill Clinton yang dikenal ahli diplomasi itu telah berhasil melaksanakan dua misi utamanya, yakni berhasil menekan Presiden SBY untuk melakukan renegosiasi dengan perusahaan emas terbesar di dunia dari AS itu serta memuluskan Jokowi menuju kursi RI-1 menggantikan SBY. Sebab nantinya Jokowi bisa dikendalikan AS, sementara Prabowo dikhawatirkan bagaikan kuda liar sehingga akan sulit disetir negara super power tersebut.
Renegosiasi yang ditandatanggani Dirjen Minerba Kementerian ESDM, R Sukhyar dengan Presdir Freeport Indonesia, Roziq B Sutjipto itu seharusnya baru dilakukan tahun 2019 nanti, yakni 2 tahun sebelum masa berakhirnya kontrak karya tahun 2021. Namun anehnya, mengapa seolah-olah rezim SBY yang umurnya tinggal menghitung hari ini nekat menandatangganinya. Dengan adanya renegosiasi tersebut berarti pemerintah Indonesia setuju memperpanjang kontrak karya Freeport hingga tahun 2041 mendatang. Pertanyaan lainnya adalah apakah ada benang merah antara kasus korupsi Menteri ESDM Jero Wacik dengan renegosiasi Freeport ? Kalau memang ada benang merahnya, seharusnya KPK juga memeriksa Presiden SBY dan para pejabat Kementerian ESDM termasuk R Sukhyar yang terlibat dalam kasus tersebut.
Sebenarnya renegosiasi kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) ini bukanlah hal baru. Pada tahun 1991 lalu di era Orde Baru juga telah dilaksanakaan renegosiasi kontrak karya. Perusahaan pertambangan emas yang berkantor pusat di Phoenix, Arizona, AS tersebut, Freeport McMoran Copper & Gold Inc, memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia (PTFI). Selain PTFI, anak perusahaan lainnya adalah PT Irja Eastern Minerals and Atlantic Copper SA. Sejak 1967, Freeport telah melakukan Perjanjian Kontrak Karya (KK) dengan pemerintah Indonesia untuk menambang tembaga (bukan emas dan perak) di Gunung Ertsberg. Perjanjian KK berlangsung selama 30 tahun dengan luas areal pertambangan 30 km persegi. Namun dengan dalih akan berakhir 1997, Freeport sudah mengajukan Perjanjian KK baru pada 1991 selama 50 tahun sampai 2041, sehingga arealnya diperluas menjadi 25.000 km persegi yang mencakup Gunung Grasberg yang juga di Kabupaten Mimika. Namun sebenarnya Perjanjian KK baru antara pemerintah Indonesia dengan Freeport tahun 1991 itu bukan perjanjian untuk memperpanjang KK tetapi perjanjian terselubung untuk mengeksplorasi emas, perak dan tembaga di Gunung Grasberg, dekat Ertsberg.
Setelah mengeksplorasi emas, perak dan tembaga lebih dari 44 tahun di Papua (Freeport baru mengakui mengeksplorasi emas dan perak tahun 2005, sebelumnya hanya mengakui tembaga), saat ini Freeport McMoran Copper & Gold Inc, telah berubah menjadi perusahaan raksasa pertambangan emas terkaya sekaligus terbesar di dunia, dimana sahamnya diperjualbelikan di New York Stock Exchange (NYSE) AS. Sementara penduduk asli Papua yang berada disekitar Freeport seperti suku Amungme, Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni dan Ekari masih dililit kemiskinan dan hanya menyaksikan gemerlapan Freeport yang mengeruk kekayaan emas mereka untuk diangkut ke AS. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya dapat pembagian hasil 1 persen, selebihnya 99 persen milik Freeport. Dengan demikian, pembagian hasilnya jelas sangat menguntungkan Freeport dan merugikan rakyat Indonesia.
Berdasarkan data selama 10 tahun terakhir, aset Freeport bertambah rata-rata 41,3 persen pertahun dan kenaikan produksi rata-rata 30 persen pertahun. Sementara total keuntungan bruto Freeport dari 2004-2008 sebesar 10,762 miliar dollar, sedangkan total penerimaan pemerintah Indonesia berupa pajak dan royalti hanya 4,441 miliar dollar. Pada 2009, Freeport mengaku memperoleh keuntungan sebesar 4,074 miliar dollar dan tahun 2010 sebesar 4,2 miliar dollar.
Freeport tidak ikut bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup termasuk pembuangan jutaan ton tailing (limbah tambang emas) di berbagai sungai di Kabupaten Mimika seperti sungai Ajkwa, selain mencemari perairan dengan air asam sehingga mengkontaminasi habitat mahluk hidup. Tidak hanya sungai Akjwa, lingkungan sekitar pertambangan dan laut dekat Kota Timika juga tercemar dengan hebatnya.
Maka tidaklah mengherankan jika pemerintah melalui Menko Perekonomian Rizal Ramli pada 2001 pernah menuntut ganti rugi 5 miliar dollar atas besarnya kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat operasi penambangan sejak 1967, dimana waktu itu Freeport sudah menyanggupi membayar 3 miliar dollar. Namun belum sempat terjadi negosiasi kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi, Presiden Gus Dur keburu lengser. Sehingga sampai sekarang belum diketahui apakah telah terjadi kesepakatan besarnya pembayaran ganti rugi dan apakah sudah dibayarkan kepada pemerintah Indonesia.
Perjanjian Kontrak Karya yang ditandatanggani pemerintah Indonesia dengan PTFI tahun 1991 lalu jelas tidak adil dan harus segera diadakan renegosiasi kembali untuk memperbesar bagi hasil bagi pemerintah Indonesia dari 1 persen minimal menjadi 10 persen. Sementara renegosiasi kontrak karya tahun 2014 ternyata masih sangat menguntungkan Freeport, dimana royalti tembaga hanya sebesar 4 persen, emas 3,75 persen dan perak 3,25 persen. Padahal di lokasi pertambangan di Gunung Ertsberg dan Garsberg juga mengandung uranium, tetapi tidak pernah diakui Freeport.
Terbukti pada Juli tahun 2010 lalu, sempat muncul berita di berbagai media massa Indonesia, dimana Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPRD Propinsi Papua, Yan Permenas Mandenas menuding Freeport telah menambang uranium selain emas, perak dan tembaga di Kabupaten Mimika, Papua. Kegiatan itu dilakukan secara tersembunyi dan telah berlangsung sejak akhir 2009. Selain itu Freeport telah mencuri hasil kekayaan masyarakat Papua dan membohongi pemerintah dengan hasil tambang yang disalurkan lewat jaringan pipa-pipa bawah tanah. Sayangnya, berita tersebut akhirnya menghilang karena kalah populer dengan kasus Bank Century dan Gayus.
Pertama, KK ditandatanggani pada era pemerintahan Orde Baru (1967 dan 1991), sementara pemerintahan yang dikenal tidak demokratis itu sudah lengser, sehingga KK perlu diperbaharui lagi. Namun ternyata rezim SBY di era reformasi (2014) juga melakukan renegosiasi namun tetap menguntungkan Freeport dan merugikan bangsa Indonesia.
Kedua, hasil renegosiasi KK (1991 dan 2014), bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, dimana hasil keuntungan pertambangan bukan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, tetapi hanya memperkaya perusahaan pertambangan emas terbesar dan terkaya di dunia dari AS tersebut.
Ketiga, karena Freeport telah memulai menambang emas dan perak di Ertsberg sejak 1973 dan baru mengakuinya pada 2005, maka selama 22 tahun kekayaan alam Indonesia berupa emas dan perak telah dicuri Freeport. Untuk itu pemerintah Indonesia harus menuntut Freeport ke Pengadilan Arbitrase Internasional untuk mengembalikan harta karun yang telah dicuri tersebut. Diperkirakan hingga sekarang Freeport telah mengeruk 724.700.000 ton emas murni dan 7.300.000 ton tembaga dari gunung Ertsberg dan Garsberg. Diperkirakan masih terdapat cadangan emas sebesar 1.430 ton dan tembaga 18.000.000 ton hingga berakhirnya KK tahun 2041. Setiap hari Freeport mengeruk 700.000 ton material yang menghasilkan 225.000 ton bijih emas. Sedangkan volume emas diperkirakan sebesar 2.500.000.000 ton.
Keempat, pemerintah Indonesia wajib kembali menuntut ganti rugi yang lebih besar lagi dari sebelumnya atas hebatnya kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan eksploitasi dan eksplorasi pertambangan yang dilakukan Freeport selama ini. Kalau sebelumnya pemerintah menuntut 5 miliar dollar, sekarang tuntutannya bisa mencapai 50 miliar dollar, juga sebagai kompensasi atas pencurian emas dan perak selama 22 tahun oleh Freeport di Papua.
Kelima, pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Muhammad Jusuf Kalla harus berani melakukan renegosiasi kontrak karya ulang dengan PT Freeport Indonesia sehingga menguntungkan bangsa Indonesia. Jangan sampaai terulang kembali tiga kontrak karya (tahun 1967, 1991 dan 2014) yang semuanya merugikan bangsa Indonesia dan menguntungkan perusahaan emas terbesar di dunia dari negeri penjajah Afghanistan dan Irak tersebut. Jelas ini suatu penghianatan terhadap Pasal 33 UUD 1945. [Abdul Halim/adivammar/Voa-Islam.Com]
Oleh: Abdul Halim
Ketika perhatian bangsa Indonesia lagi tertuju pada hasil Pilpres dan Hari Raya Idul Fitri, tiba-tiba secara tak terduga pemerintah Indonesia melakukan penandatangganan MoU dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) pada 25 Juli 2014 lalu, yang berupa renegosiasi (baca: perpanjangan) kontrak karya. Anehnya, renegosiasi kontrak karya itu dilakukan setelah mantan Presiden AS Bill Clinton berkunjung ke Jakarta dan bertemu Presiden SBY.
Bill Clinton yang dikenal ahli diplomasi itu telah berhasil melaksanakan dua misi utamanya, yakni berhasil menekan Presiden SBY untuk melakukan renegosiasi dengan perusahaan emas terbesar di dunia dari AS itu serta memuluskan Jokowi menuju kursi RI-1 menggantikan SBY. Sebab nantinya Jokowi bisa dikendalikan AS, sementara Prabowo dikhawatirkan bagaikan kuda liar sehingga akan sulit disetir negara super power tersebut.
Renegosiasi yang ditandatanggani Dirjen Minerba Kementerian ESDM, R Sukhyar dengan Presdir Freeport Indonesia, Roziq B Sutjipto itu seharusnya baru dilakukan tahun 2019 nanti, yakni 2 tahun sebelum masa berakhirnya kontrak karya tahun 2021. Namun anehnya, mengapa seolah-olah rezim SBY yang umurnya tinggal menghitung hari ini nekat menandatangganinya. Dengan adanya renegosiasi tersebut berarti pemerintah Indonesia setuju memperpanjang kontrak karya Freeport hingga tahun 2041 mendatang. Pertanyaan lainnya adalah apakah ada benang merah antara kasus korupsi Menteri ESDM Jero Wacik dengan renegosiasi Freeport ? Kalau memang ada benang merahnya, seharusnya KPK juga memeriksa Presiden SBY dan para pejabat Kementerian ESDM termasuk R Sukhyar yang terlibat dalam kasus tersebut.
Sebenarnya renegosiasi kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) ini bukanlah hal baru. Pada tahun 1991 lalu di era Orde Baru juga telah dilaksanakaan renegosiasi kontrak karya. Perusahaan pertambangan emas yang berkantor pusat di Phoenix, Arizona, AS tersebut, Freeport McMoran Copper & Gold Inc, memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia (PTFI). Selain PTFI, anak perusahaan lainnya adalah PT Irja Eastern Minerals and Atlantic Copper SA. Sejak 1967, Freeport telah melakukan Perjanjian Kontrak Karya (KK) dengan pemerintah Indonesia untuk menambang tembaga (bukan emas dan perak) di Gunung Ertsberg. Perjanjian KK berlangsung selama 30 tahun dengan luas areal pertambangan 30 km persegi. Namun dengan dalih akan berakhir 1997, Freeport sudah mengajukan Perjanjian KK baru pada 1991 selama 50 tahun sampai 2041, sehingga arealnya diperluas menjadi 25.000 km persegi yang mencakup Gunung Grasberg yang juga di Kabupaten Mimika. Namun sebenarnya Perjanjian KK baru antara pemerintah Indonesia dengan Freeport tahun 1991 itu bukan perjanjian untuk memperpanjang KK tetapi perjanjian terselubung untuk mengeksplorasi emas, perak dan tembaga di Gunung Grasberg, dekat Ertsberg.
Setelah mengeksplorasi emas, perak dan tembaga lebih dari 44 tahun di Papua (Freeport baru mengakui mengeksplorasi emas dan perak tahun 2005, sebelumnya hanya mengakui tembaga), saat ini Freeport McMoran Copper & Gold Inc, telah berubah menjadi perusahaan raksasa pertambangan emas terkaya sekaligus terbesar di dunia, dimana sahamnya diperjualbelikan di New York Stock Exchange (NYSE) AS. Sementara penduduk asli Papua yang berada disekitar Freeport seperti suku Amungme, Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni dan Ekari masih dililit kemiskinan dan hanya menyaksikan gemerlapan Freeport yang mengeruk kekayaan emas mereka untuk diangkut ke AS. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya dapat pembagian hasil 1 persen, selebihnya 99 persen milik Freeport. Dengan demikian, pembagian hasilnya jelas sangat menguntungkan Freeport dan merugikan rakyat Indonesia.
Berdasarkan data selama 10 tahun terakhir, aset Freeport bertambah rata-rata 41,3 persen pertahun dan kenaikan produksi rata-rata 30 persen pertahun. Sementara total keuntungan bruto Freeport dari 2004-2008 sebesar 10,762 miliar dollar, sedangkan total penerimaan pemerintah Indonesia berupa pajak dan royalti hanya 4,441 miliar dollar. Pada 2009, Freeport mengaku memperoleh keuntungan sebesar 4,074 miliar dollar dan tahun 2010 sebesar 4,2 miliar dollar.
Freeport tidak ikut bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup termasuk pembuangan jutaan ton tailing (limbah tambang emas) di berbagai sungai di Kabupaten Mimika seperti sungai Ajkwa, selain mencemari perairan dengan air asam sehingga mengkontaminasi habitat mahluk hidup. Tidak hanya sungai Akjwa, lingkungan sekitar pertambangan dan laut dekat Kota Timika juga tercemar dengan hebatnya.
Maka tidaklah mengherankan jika pemerintah melalui Menko Perekonomian Rizal Ramli pada 2001 pernah menuntut ganti rugi 5 miliar dollar atas besarnya kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat operasi penambangan sejak 1967, dimana waktu itu Freeport sudah menyanggupi membayar 3 miliar dollar. Namun belum sempat terjadi negosiasi kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi, Presiden Gus Dur keburu lengser. Sehingga sampai sekarang belum diketahui apakah telah terjadi kesepakatan besarnya pembayaran ganti rugi dan apakah sudah dibayarkan kepada pemerintah Indonesia.
Perjanjian Kontrak Karya yang ditandatanggani pemerintah Indonesia dengan PTFI tahun 1991 lalu jelas tidak adil dan harus segera diadakan renegosiasi kembali untuk memperbesar bagi hasil bagi pemerintah Indonesia dari 1 persen minimal menjadi 10 persen. Sementara renegosiasi kontrak karya tahun 2014 ternyata masih sangat menguntungkan Freeport, dimana royalti tembaga hanya sebesar 4 persen, emas 3,75 persen dan perak 3,25 persen. Padahal di lokasi pertambangan di Gunung Ertsberg dan Garsberg juga mengandung uranium, tetapi tidak pernah diakui Freeport.
Terbukti pada Juli tahun 2010 lalu, sempat muncul berita di berbagai media massa Indonesia, dimana Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPRD Propinsi Papua, Yan Permenas Mandenas menuding Freeport telah menambang uranium selain emas, perak dan tembaga di Kabupaten Mimika, Papua. Kegiatan itu dilakukan secara tersembunyi dan telah berlangsung sejak akhir 2009. Selain itu Freeport telah mencuri hasil kekayaan masyarakat Papua dan membohongi pemerintah dengan hasil tambang yang disalurkan lewat jaringan pipa-pipa bawah tanah. Sayangnya, berita tersebut akhirnya menghilang karena kalah populer dengan kasus Bank Century dan Gayus.
Pertama, KK ditandatanggani pada era pemerintahan Orde Baru (1967 dan 1991), sementara pemerintahan yang dikenal tidak demokratis itu sudah lengser, sehingga KK perlu diperbaharui lagi. Namun ternyata rezim SBY di era reformasi (2014) juga melakukan renegosiasi namun tetap menguntungkan Freeport dan merugikan bangsa Indonesia.
Kedua, hasil renegosiasi KK (1991 dan 2014), bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, dimana hasil keuntungan pertambangan bukan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, tetapi hanya memperkaya perusahaan pertambangan emas terbesar dan terkaya di dunia dari AS tersebut.
Ketiga, karena Freeport telah memulai menambang emas dan perak di Ertsberg sejak 1973 dan baru mengakuinya pada 2005, maka selama 22 tahun kekayaan alam Indonesia berupa emas dan perak telah dicuri Freeport. Untuk itu pemerintah Indonesia harus menuntut Freeport ke Pengadilan Arbitrase Internasional untuk mengembalikan harta karun yang telah dicuri tersebut. Diperkirakan hingga sekarang Freeport telah mengeruk 724.700.000 ton emas murni dan 7.300.000 ton tembaga dari gunung Ertsberg dan Garsberg. Diperkirakan masih terdapat cadangan emas sebesar 1.430 ton dan tembaga 18.000.000 ton hingga berakhirnya KK tahun 2041. Setiap hari Freeport mengeruk 700.000 ton material yang menghasilkan 225.000 ton bijih emas. Sedangkan volume emas diperkirakan sebesar 2.500.000.000 ton.
Keempat, pemerintah Indonesia wajib kembali menuntut ganti rugi yang lebih besar lagi dari sebelumnya atas hebatnya kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan eksploitasi dan eksplorasi pertambangan yang dilakukan Freeport selama ini. Kalau sebelumnya pemerintah menuntut 5 miliar dollar, sekarang tuntutannya bisa mencapai 50 miliar dollar, juga sebagai kompensasi atas pencurian emas dan perak selama 22 tahun oleh Freeport di Papua.
Kelima, pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Muhammad Jusuf Kalla harus berani melakukan renegosiasi kontrak karya ulang dengan PT Freeport Indonesia sehingga menguntungkan bangsa Indonesia. Jangan sampai terulang kembali tiga kontrak karya (tahun 1967, 1991 dan 2014) yang semuanya merugikan bangsa Indonesia dan menguntungkan perusahaan emas terbesar di dunia dari negeri penjajah Afghanistan dan Irak tersebut. Jelas ini suatu penghianatan terhadap Pasal 33 UUD 1945. (Abdul Halim/Voa-Islam.Com)
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/syariahbiz/2014/09/19/32959/kontroversi-renegosiasi-kontrak-karya-freeport/#sthash.wgqRR7GQ.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar