Jurnalis Indepneden: Jokowi Beri Gelar 4 tokoh Nasional yang selama ini masih terkatung-katung.
1. KH Abdul Wahab Chasbullah
Ia adalah salah satu sosok ulama yang mendapat gelar pahlawan. Lahir di Tambak Beras, Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada 31 Maret 1888, Wahab merupakan salah satu ulama yang merumuskan Resolusi Jihad sebagai dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan bersama-sama dengan KH Hasjim As'ari juga dari Jombang dan KH Abbas dari Buntet, Cirebon.
KH Wahab Chasbullah juga tercatat sebagai pendiri Nahdalatut Tujjar pada 1918. Kemudian pendiri Forum Diskusi Taswirul Afkar pada 1919, menjadi anggota Muhammadiyah pada 1922, mendirikan organisasi Pemuda Sjubbanul Wathan, mendirikan dan menjadi penggerak Nahdatul Ulama, menjadi Rois Am Syuriah PB Nahdatul Ulama pada 1947-1971 dan sempat menjadi anggota DPR GR.
Pada 1920, Wahab bersama Dr.Soetomo mantan ketua Budi Utomo yang tinggal di Surabaya membentuk Studieclub di Surabaya. Gagasan kebangsaan dari para tokoh yang dikenalnya kemudian mendorong Wabah Chasbullah selalu menggunakan Wathan (tanah air-red) dan Nahdah (kebangkitan-red) dalam setiap organisasi atau sekolah yang dibentuknya.
Wahab Chasbullah menjadi Rois Am Nahdatul Ulama setelah KH Hasyim Asy'ari meninggal dunia. Ia dan NU mendukung penuh perjuangan kemerdekaan Indonesia dan itu memberikan dorongan yang sangat besar bagi perjuangan kemerdekaan secara nasional. KH Abdul Wahab Chasbullah meninggal di Jombang pada 29 Desember 1971. Sebelum dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada 2014, ia telah menerima tanda jasa Bintang Mahaputera Kelas III pada 1963.
2.Letnan Jenderal (Pur) Djamin Gintings
Letnan Jenderal (Pur) Djamin Gintings merupakan salah satu tokoh pejuang kemerdekaan kebanggaan masyarakat Sumatera Utara.
Djamin Gintings lahir pada 12 Januari 1921, ia memiliki peran penting pada masa-masa penumpasan pemberontakan DI/TII di Aceh dan juga pada masa-masa genting di Sumatera saat terjadinya PRRI/Permesta di dekade 1950-an.
Djamin Gintings mengawali karier kemiliterannya dengan mengikuti pendidikan calon perwira Giyugun di Siborong-borong.
Ia kemudian menjadi Komandan Peleton Istimewa di Sumatera Giyugun Blangkejeren dan merekrut pemuda di daerah Gayo.
Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, Djamin bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Kabanjahe, Sumatera Utara. Bersama pasukannya, Djamin kemudian melucuti tentara Jepang di Berastagi.
Saat pertempuran Medan Area terjadi, ia merupakan salah satu komandan tentara Indonesia yang terlibat pada salah satu pertempuran besar pascakemerdekaan di Indonesia tersebut. Pasukan Inggris meninggalkan Medan dan seluruh area Indonesia pada 1946.
Agresi militer Belanda I pada Juli 1947 membuat Djamin memimpin pasukan melawan Belanda pada mandala Tanah Karo di wilayah Sibolangit, Pancubatu, Tuntungan,Merek dan Saribudolok.
Ia juga sempat mengawal perjalanan Wakil Presiden Mohammad Hatta dari Berastagi ke Bukittinggi. Sepanjang 1947 hingga pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada 27 Desember 1949, Djamin terlibat dalam puluhan pertempuran melawan Belanda.
Pada 1966 Djamin Gintings mulai bertugas di sejumlah jabatan nonmiliter, antara lain Sekretaris Presiden/Kepala Kabinet merangkap Wakil Sekretaris Negara. Pada 1968 diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai anggota DPRGR dan MPRS mewakili eksponen 45.
Sebelum meninggal pada 1974, pemerintah menugaskan Djamin Gintings menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh RI untuk Kanada. Ia meninggal di Ottawa, Kanada saat menjalankan tugas sebagai duta besar.
3. Sukarni
Nama Sukarni sebagai tokoh pemuda mencuat setelah bersama kawan-kawannya di Asrama Menteng 31 mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di masa-masa genting periode 15 hingga 17 Agustus 1945.
Sukarni merupakan salah satu tokoh Angkatan Baru Indonesia yang bermarkas di Menteng Nomor 31 Jakarta, yang kini dikenal dengan Gedung Juang 45.
Ia bersama-sama dengan Supeno, Chairul Saleh dan Adam Malik serta pemuda lainnya saat ini mendorong perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui gerakan pemuda.
Gerakan ini terkenal ketika mendesak Soekarno dan Hatta, ikon perjuangan kemerdekaan Indonesia, untuk memproklamasikan kemerdekaan dan membawa kedua proklamator itu ke Rengasdengklok.
Pada 16 Agustus 1945 sore, mereka kemudian mengantarkan kembali Soekarno dan Hatta ke Jakarta dan malam harinya terjadi perumusan naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, rumah Laksamana Maeda.
Sukarni Kartodiwirjo lahir di Blitar, Jawa Timur pada 14 Juli 1916. Pada tahun 1930 ia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) sejak bersekolah di MULO Blitar. Ia kemudian dikirim oleh pengurus Partindo untuk mengikuti pendidikan kader di Bandung, Soekarno kemudian menjadi mentornya.
Karier politik Sukarni terus bergulir sebagai aktivis kemerdekaan dengan menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Indonesia Muda pada 1935. Ia sempat ke Banyuwangi Jawa Timur dan Kediri untuk menghindari penangkapan Polisi Hindia Belanda.
Ia pada 1938 menyeberang ke Kalimantan dengan nama samaran Maidi. Pada 1941 ia kemudian tertangkap di Balikpapan dan dipindahkan ke penjara di Samarinda, Surabaya, Batavia. Sebelum dibuang ke Boven Digul, ia sementara ditahan di penjara Garut. Ia tidak sempat ke Boven Digul karena pada 1942 Jepang masuk ke Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Sukarni memprakarsai pengambilalihan aset Jepang untuk republik dari mulai Kereta Api di Manggarai, angkutan umum dan juga stasiun Radio. Salah satu kegiatan monumental yang melibatkan Sukarni adalah apel besar di Lapangan IKADA atau Ikatan Atletik Djakarta pada September 1945.
Pada 1948 setelah pembentukan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), Sukarni terpilih sebagai Ketua Umum Partai Murba yang pertama. Partai itu menjadi salah satu partai penentang PKI.
Sejak 1960 hingga 1964 Sukarni bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Tiongkok dan Mongolia. Salah satu tugasnya adalah melobi RRT untuk membantu Indonesia dalam pembebasan Irian Barat. Sukarni wafat pada 12 Februari 1981.
4. Mr. HR Mohammad Mangoendiprojo
Mohammad Mangoendiprojo adalah ayah dari Letjen Himawan Soetanto, mertua dari mantan Menko Polkam Soesilo Soedarman, eyang dari Menko Maritim Indroyono Soesilo, dan Eyang dari anggota DPR Aroem Hadiati.
Mangoendiprodjo merupakan cicit Setjodiwirjo atau Kyai Ngali Muntoha, keturunan Sultan Demak dan Prabu Brawidjaja. Setjodiwirjo merupakan tokoh pejuang yang melakukan pemberontakan terhadap Belanda bersama-sama dengan Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta ke Kertosono, Ngawi dan Banyuwangi.
Sebelum bergabung dengan para pejuang, Mangoendiprodjo merupakan lulusan OSVIA pada 1927 dan diangkat menjadi pegawai pemerintah sebagai sebagai Wakil Kepala Jaksa dan kemudian Asisten Wedana di Jombang Jawa Timur. Namun dia memilih melepas jabatan tersebut dan memilih bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) ketika usianya masih 38 tahun.
Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Mangoendiprodjo bersama para pemimpin TKR lainnya seperti Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab, Drg Moestopo melakukan perlawanan sekutu. Pertempuran mencapai puncaknya pada akhir Oktober, hingga tentara sekutu dikepung seluruh pejuang dan rakyat.
Kondisi itu membuat sekutu memutuskan melakukan gencatan senjata. Atas perintah pimpinan TKR, Mangoendiprodjo diminta mewakili Indonesia untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Pada 29 Oktober 1945 sore, Mangoendiprodjo bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat proses gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan merah depan Gedung Internatio.
Dalam gedung tentara Inggris dari kesatuan Gurkha, sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia di luar gedung untuk diminta menyerah. Mangoendiprodjo masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Mangoendiprodjo kemudian disandera oleh tentara Ghurka dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya.
Mobil Mallaby meledak dan terbakar, Mallaby tewas di dalam mobil. Inggris dan sekutu marah dan mengultimatum tentara dan Rakyat Indonesia di Surabaya menyerah. Ultimatum ini tentunya ditolak oleh Mangoendiprodjo, serta jajaran TKR dan pemuda Surabaya sehingga terjadilah pertempuran 10 Nopember 1945.
Pertempuran di Surabaya ini berlangsung selama 22 hari dengan korban TKR 6315 pejuang. Mangoendiprodjo walaupun terkena pecahan mortir di pelipisnya, tetap terus memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu. Setelah mengakhiri karier militer, Mangoendiprodjo menerima tugas Soekarno menjadi Bupati Ponorogo.
Tugas Mangoendiprodjo adalah mengamankan daerah Madiun setelah pemberontakan PKI Muso. Ia kemudian menerima tugas sebagai Residen (Gubernur) pertama Lampung, untuk juga mengendalikan keamanan di daerah ini. Mangoendiprodjo meninggal Pada 13 Desember 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di kota Bandar Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar