Jurnalis Independen: Ketegasan, keberanian Pemerintah Indonesia dan Presiden Joko Widodo mengeksekusi mati Enam pelaku penyelundup Narkotika di awal pemerintahannya, membuat panik, ketakutan bahkan mengguncang dunia.
Presiden Jokowi, tanpa ampun menolak grasi terkait terpidana narkotika, walau di depannya menantang adanya prahara diplomatik yuang dihasilkan dari ketegasan pemberantasan narkoba.
Terkait kebijakan Jokowi, Pemerintah Australia berupaya menyelamatkan warganya dari gelombang eksekusi kedua. Hebatnya, Jokowi Penghuni Istana Negara ke 7 ini tak bergeming sedikitpun.
Sedikitnya lima puluh nota diplomatik dan pembicaraan telepon dibuat antara Canberra dan Jakarta dalam delapan tahun terakhir, kata Menteri Australia Julie Bishop. Isinya adalah permohonan pengampunan buat dua warga negeri Kanguru itu yang terlibat kasus penyeludupan narkoba dan divonis mati oleh Pengadilan Indonesia.
Kini, setelah pemerintah memerintahkan eksekusi mati terhadap enam terpidana narkoba pada Minggu (18/1), "Perdana Menteri kembali mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi," kata Bishop ihwal upaya atasannya itu buat menghentikan langkah regu tembak.
Upaya serupa sebenarnya telah pula dibuat oleh Presiden Brasil, Dilma Roussef dan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte serta raja Wilem-Alexander. Seperti juga Tony Abott, ketiganya menghubungi langsung Jokowi untuk meminta pengampunan bagi warga negaranya.
Tapi apa daya, Istana Negara membatu. Marco Archer Cardoso Moreira (Brasil), Ang Kiem Soei (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo (Nigeria) dan Rani Andriani (Indonesia) akhirnya melepas nyawa di tangan algojo.
Joko Widodo di akun facebooknya, 18 Januari pukul 13:19 ·
mengatakan, "Perang terhadap Mafia Narkoba tidak boleh setengah-setengah, karena Narkoba benar-benar sudah merusak kehidupan baik kehidupan penggunanya maupun kehidupan keluarga pengguna narkoba.
Tak ada kebahagiaan hidup yang didapat dari menyalahgunakan Narkoba. Negara harus hadir dan langsung bertempur melawan sindikat Narkoba.
Indonesia Sehat, Indonesia tanpa Narkoba...."
Perlu diketahui, Negeri Tirai Bambu, Cina, termasuk yang paling getol menjalankan eksekusi mati. Tahun 2013 saja tercatat sebanyak 2400 tahanan menemui ajal di tangan algojo. Kendati mayoritas penduduk mendukung hukuman mati, suara-suara yang menentang mulai bermunculan.
Presiden Joko Widodo yang naik tahta Oktober silam menolak mengampuni ke-enam terpidana mati. Dan eksekusi tersebut sekaligus menjadi prahara diplomatik pertama yang dibuatnya.
Brasil mengecam. Langkah pemerintah "menciptakan batu dan akan selamanya membayangi hubungan bilateral," antara kedua negara, kata Marco Aurelio Garcia, penasehat presiden untuk urusan luar negeri Brasil. "Tidak ada sensitivitas dari pemerintah Indonesia dalam hal ini," ujarnya.
Lantaran sikap tegas Presiden Indonesia ke 7 Joko Widodo, beberapa pemimpin negara produksen narkotika seperti, Brasil dan Belanda memprotes kebijakan Indonesia dengan menarik duta besarnya.
Nasib buruk juga sedang menanti Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Warga negara Australia itu dibekuk aparat saat hendak menyeludupkan 8,3 kilogram heroin di Bali bersama tujuh lainnya. Sukumaran dan Chan divonis mati. Sementara sisanya dikurung untuk waktu lama.
Pemerintah berdalih, eksekusi mati diperlukan untuk menciptakan efek jera. Indonesia, tukas Jaksa Agung HM Prasetyo, sedang dalam kondisi darurat narkoba.
Banyak yang tidak sepakat dengan alasan pemerintah itu. Eskekusi mati dinilai tidak berdampak apapun terhadap peredaran obat-obatan terlarang di Indonesia atau angka pecandu narkoba. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bahkan menilai, pemerintah cuma "mengeksekusi kurir," sementara bandar besar dibiarkan tak tersentuh, kata Koordinator Kontras Haris Azhar kepada Kompas.
Kini kejaksaan sedang menyiapkan gelombang kedua eksekusi mati. Sebanyak 64 nama masuk dalam daftar terpidana yang menunggu ajal di penjara. Hingga kini belum jelas siapa yang akan giliran menghadap regu tembak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar