Jurnalis Independen: Mungkin
hanya ‘malaikat’ yang belum mengunjungi perbatasan. Demikian kata rekan saya
Jamli Panago yang tulisannya dimuat siaga.co pada 24 Sptember 2013. Baca juga
Anak Perbatasan Jagoi Pilih Sekolah di Malaysia Karena Biaya Murah.
Padahal wilayah tersebut
merupakan wilayah strategis. Sebab saat konfrontasi antara Indonesia dan
Malaysia, wilayah perbatasan di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang,
Kalimantan Barat, menjadi garda depan perjuangan rakyat dan Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Berbulan-bulan, warga setempat menjadi relawan dengan hidup di hutan
perbatasan untuk menjaga kedaulatan NKRI.
Tetapi sejak rekan saya bilang
‘malaikat’ belum mengunjungi perbatasan, alih-alih berbicara soal kedaulatan
NKRI dan kepahlawanan, saya kemudian menjadi seorang apatis. Apalagi, banyak
cerita miring soal perbatasan yang tidak semua orang tahu.
Yah, posisi perbatasan yang
langsung dekat dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia ini, kini menjadi wilayah
yang terisolasi. Pendidikan, infrastruktur, pelayanan kesehatan dan kebutuhan
dasar lain, sangat jauh dari yang dibayangkan.
Wajar, jika kemudian mereka
mengais rejeki dari negara tetangga. Bahkan tidak sedikit dari mereka justru
memilih menjadi warga negara Malaysia ketimbang Indonesia.
Pasalnya, di Indonesia, biaya
sekolah dan kesehatan mahal. Sebaliknya, di negara sebelah mereka bisa
mendapatkan biaya sekolah gratis. Untuk biaya kesehatan tentu lebih murah,
cepat dan pelayanannya memuaskan. Tak hanya itu pelayanan kesehatan juga memadai,
bahkan untuk operasi, pasien hanya dikenakan Satu Ringgit Malaysia atau sekitar
Rp 3.000. Murah kan!
Bicara soal perbatasan, saya
banyak mendengar cerita dari Jamli, bahwa orang-orang bebas melakukan apa saja.
Cerita miring yang saya dengar, wilayah perbatasan Jagoi Babang kerap dijadikan
perdagangan ilegal antara Malaysia dan orang-orang pribumi. Salah satunya impor
gula.
Impor gula ilegal Malaysia ini
menjadi mata pencaharian bagi sekelompok orang pribumi (suku Dayak). Dari sini
mereka mendapat keuntungan berlipat. Namun demikian, sejak pemerintah provinsi
menetapkan aturan baru, impor gula tiba-tiba distop. Peredaran gula ilegal di
perbatasan langsung berhenti. Malaysia tidak lagi memasok barang.
Sekelompok orang pribumi langsung
menimpakan kekesalannya terhadap wartawan. Rekan saya Jamli Panago pada Sabtu
(2/11/2013) menelpon kalau dia baru saja dianiaya 20 orang. Sepele masalahnya.
Dia cerita aksi pengeroyokan itu disebabkan perdagangan ilegal gula distop.
Beruntung rekan saya masih
selamat meski harus kehilangan satu gigi depan dan lebam di sekujur tubuh.
Adanya kekerasan yang menimpa
wartawan, membuktikan betapa dahsyat dan bebasnya peredaran barang ilegal di
wilayah perbatasan. Jamli cerita ke saya, aparatur negara selama ini tidak bisa
berbuat apa-apa untuk menyetop laju perdagangan ilegal di perbatasan.
Dimana peran TNI dan polisi?
Tidak ada. Keluar masuknya
barang-barang terlarang di perbatasan bukan bagian dari tugas TNI dan polisi,
demikian sindir rekan saya.
Dia juga menceritakan, sewaktu
dikeroyok, saat itu ada 9 anggota TNI yang melihat. Tetapi, mereka tidak bisa
berkutik. Kan tugasnya hanya menjaga perbatasan bukan melerai pengeroyokan.
Cerita TNI penjaga perbatasan,
kalau benar demikian, tentu ironis sekali. Lalu apa yang mereka lakukan di
perbatasan? Mengapa barang-barang terlarang tersebut bisa keluar masuk
perbatasan tanpa pengawasan?
Jangankan perdagangan ilegal
dalam bentuk barang, pedagangan hantu, setan dan jin saja ada. Diakui rekan
saya, perdagangan bebas di wilayah perbatasan tidak terkendali. Di sana bahan
peledak dengan mudahnya masuk wilayah NKRI. Perdagangan manusia apalagi. Narkoba,
seperti angin yang bebas keluar masuk.
Selama bertugas di perbatasan,
tidak banyak yang diperbuat TNI dan polisi. Polisi yang menjadi pelindung
masyarakat, selama di perbatasan tidak bisa bertugas maksimal. Setiap ada
peristiwa, polisi selalu lambat menangani. Polisi juga, katanya, tidak bisa
sembarangan masuk wilayah perbatasan. Demikian juga TNI. Mereka hanya
ditugaskan menjadi tentara penjaga perbatasan, bukan mengurusi urusan sipil.
Wajar jika mereka tidak mau ambil pusing saat wartawan kami dipukuli.
Saya jadi teringat cerita saudara
saya TNI yang ditugaskan di Poso. Di sana dia dan rekan-rekannya pernah
mengamankan satu kapal yang dianggap mencurigakan. Tetapi kemudian mereka
mendapatkan tembakan dari warga. Beberapa anggota langsung berlindung
mengamankan diri. Begitu juga saudara saya. Mereka tidak melakukan kontak
senjata. Sebab, katanya, urusannya bisa merabe.
Membalas tembakan dengan tembakan
tidak masuk dalam agenda mereka. Memang, komando pimpinan sebelumnya
memerintahkan agar jangan menembak dulu sebelum ditembak. Melihat kondisi saat
itu, sebenarnya mereka bisa membalas dengan tembakan. Tetapi hal itu tidak
dilakukan. Apa katanya? Percuma. Kalau pun dibalas dan jatuh korban, TNI lagi
yang disalahkan. Padahal mereka jelas-jelas ditembak duluan. Sebaliknya, kalau
sudah jatuh korban di pihak sipil, seperti biasa pucuk pimpinan selalu lepas
tangan.
Hampir seluruh personel TNI yang
ditugaskan di daerah konflik seperti Aceh, Ambon, dan Timor Timur (Sekarang
Timor Leste)–dari yang saya dengar–selalu diakhiri dengan cerita-cerita ironis.
Karena itu saya maklum jika TNI
perbatasan Jagoi Babang tidak bertugas maksimal. Di satu sisi, mereka selalu
miss komunikasi dengan komando pimpinan, di sisi lain mereka kerap jadi
bulan-bulanan masyarakat ketika mengambil keputusan yang salah.
Cuma yang disayangkan, pemerintah
sendiri belum punya solusi mengatasi masalah di perbatasan. Mereka yang berada
di pusat selama ini hanya gembar-gembor ingin mengentaskan wilayah atau daerah
tertinggal. Janji tinggal janji. Terbukti, dana pendidikan dan kesehatan yang
diperuntukan bagi daerah tertinggal tidak pernah sampai.
Wajar, jika kemudian orang-orang
di daerah terpencil seperti perbatasan membuat aturan main sendiri. Mereka
ingin mandiri tanpa bantuan dari pemerintah. Mereka ingin mengembangkan
daerahnya sendiri dengan caranya sendiri. Dan, mereka tidak peduli apakah yang
dilakukan melanggar hukum atau tidak.
Perlu diketahui, di wilayah
perbatasan, masalah melanggar hukum sudah jadi hal yang lumrah. Jangankan pedagangan
ilegal, membunuh orang saja begitu mudah. Usai membunuh, mereka tinggal masuk
negara Malaysia. Kalau sudah begitu polisi tak bisa berbuat apa-apa. Jangankan
mengekstradisi, menyebrang wilayah perbatasan saja susah apalagi menangkap
pelaku.
Kalau dilihat dari sisi
perbatasan negara, sebenarnya perbatasan ini masih mempunyai 10 permasalahan
atau OBP (Outstanding Boundary Problem), yakni lima di kalbar dan 5 kaltim.
Sementara dari 5 yang ada di Kalbar, empat diantaranya terdapat di Kabupaten
Bengkayang. Yakni masalah di Titik D.400, Batu Aum, Gunung Raya, dan Gunung
Jagoi (Sungai Boan). Dihadapkan dengan dinamika perkembangan daerah, sebenarnya
wilayah ini memerlukan perhatian khusus dan selayaknya mendapatkan prioritas
pembangunan. Tapi kenyataan di lapangan tidak demikian. (noviyanto Aji)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar