Jurnalis Independen: Saya adalah seorang perempuan
biasa yang sempat bercita-cita menjadi seorang wartawan. Menjadi wartawan TEMPO
tepatnya. Kekaguman saya terhadap sosok Goenawan Mohamad yang menjadi alasan
utamanya. Dimulai dari mengoleksi coretan-coretan beliau yang tertuang dalam
‘Catatan Pinggir’ hingga rutin membaca Majalah TEMPO sejak masih duduk di
bangku pelajar, membulatkan tekad saya untuk menjadi bagian dalam grup media
TEMPO.
Dengan polos, saya selalu
berpikir, salah satu cara memberikan kontribusi yang mulia kepada masyarakat,
mungkin juga negara adalah dengan menjadi bagian dalam jejaring wartawan TEMPO.
Apalagi, sebagai awam saya selalu melihat TEMPO sebagai media yang bersih dari
praktik-praktik kotor permainan uang. Permainan uang ini, dikenal dalam dunia
wartawan dengan istilah ‘Jale’ yang merupakan perubahan kata dari kosakata
‘Jelas’.
“Jelas nggak nih acaranya?”
“Ada kejelasan nggak nih?”
“Gimana nih broh, ada jale-annya
nggak?”
Kira-kira begitu pembicaraan yang
sering saya dengar di area liputan. Istilah ‘Jelas’ berarti acara liputannya
memberikan ongkos transportasi alias gratifikasi kepada wartawan, dengan imbal
balik tentunya penulisan berita yang positif. Dari kata ‘Jelas’, kemudian
bergeser istilah menjadi ‘Jale’ yang menjadi kosakata slank untuk ‘Uang Transportasi
Wartawan’.
Perilaku menerima uang sudah
menjadi sangat umum dalam dunia wartawan. Saya pribadi jujur sangat jijik
dengan perilaku tersebut.
Ketika (akhirnya) saya bergabung
dengan grup TEMPO di tahun 2006, sebagaimana cita-cita saya dulu sekali, saya
merasa lega.
“Setidaknya, saya tidak menjadi
bagian dari media-media ecek-ecek yang kotor dan sarat permainan uang” pikir
saya.
Dulu, saya berpikir, media besar
seperti TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia, Jawa Pos dan sebagainya, tidak mungkin
bermain uang dalam peliputannya. Dulu, saya pikir, hanya media-media tidak
jelas saja yang bermain seperti itu.
Namun fakta berkata lain. Sempat
tidak percaya karena begitu dibutakan kekaguman saya pada kewartawanan,
Goenawan Mohamad, TEMPO dan lainnya, saya sempat menolak percaya bahwa
wartawan-wartawan TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia, Jawa Pos, Antara dan
lain-lainnya, rupanya terlibat juga dalam jejaring permainan uang.
Media-media tidak jelas atau yang
lebih dikenal dengan media Bodrek bermain uang dalam peliputannya. Hanya saja,
dari segi uang yang diterima, saya bisa katakan kalau itu hanya Uang Receh.
Mafia-nya bukan disitu.
Media-media Bodrek bukan menjadi mafia permainan uang dalam jual beli
pencitraan para raksasa politik, korporasi, pemerintahan. Adalah media-media
besar seperti TEMPO, Kompas, Detik, Antara, Bisnis Indonesia, Investor Daily,
Jawa Pos dan sebagainya, yang menjadi pelaku jual beli pencitraan alias menjadi
mafia permainan uang wartawan.
Siapa tak kenal Fajar (Kompas)
yang menjadi kepala mafia uang dari Bank Indonesia dalam permainan uang di
kalangan wartawan perbankan?
Siapa tak kenal Kang Budi (Antara
News) yang mengatur seluruh permainan uang di kalangan wartawan Bursa Efek
Indonesia?
Siapa tak kenal duet Anto
(Investor Daily) dan Yusuf (Bisnis Indonesia) yang mengatur peredaran uang
wartawan di sektor Industri?
Banyak lagi lainnya, yang tak
perlu saya ungkap disini. Tapi beberapa nama berikut ini, sungguh menyakitkan
hati dan pikiran saya, sempat menggoyahkan iman saya, lantas betul-betul
membuat saya kehilangan iman.
Adalah Bambang Harimurti (eks
Pimred TEMPO yang kemudian menjadi pejabat Dewan Pers, juga salah satu orang
kepercayaan Goenawan Mohamad di grup TEMPO) yang menjadi kepala permainan uang
di dalam grup TEMPO.
Siapa bilang TEMPO bersih?
Saya melihat sendiri bagaimana
para wartawan TEMPO memborong saham-saham grup Bakrie setelah TEMPO mati-matian
menghajar grup Bakrie di tahun 2008 yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke
titik terendah. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat
peluang itu dan memborong saham Bakrie.
Dan rupanya, perilaku yang sama
juga terjadi pada media-media besar lainnya, seperti yang sebut di atas.
Memang, secara gaya, permainan
uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawapos. Teman saya di Jawapos
mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup Jawapos) adalah, gaji para
wartawan Jawapos tidak besar, namun manajemen Jawapos menganjurkan para
wartawannya mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. Syukur-syukur bisa
mendatangkan iklan bagi perusahaan.
TEMPO berbeda. Kami, wartawannya,
digaji cukup besar. Start awal, di angka 3 jutaan. Terakhir malah mencapai 4
jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir
banyak orang. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para
senior bermain proyek pemberitaan.
Media sekelas TEMPO, Kompas,
Bisnis Indonesia dan sebagainya yang sebut tadi di atas, tidak bermain Receh.
Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi. Mereka tidak dibayar per berita
tayang seperti media ecek-ecek. Mereka di bayar untuk suatu jasa pengawalan
pencitraan jangka panjang.
Memangnya, ketika TEMPO begitu
membela Sri Mulyani, tidak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai
pendana Partai SRI?
Memangnya, ketika TEMPO
menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Surjadjaja
(kompetitor bisnis Sukanto Tanoto)?
Memangnya, ketika TEMPO usai
menghajar Sinarmas, lalu balik arah membela Sinarmas, tidak ada kucuran dana
dari Sinarmas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan
Green Gallery?
Memangnya, ketika grup TEMPO
membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam Skandal IPO Krakatau Steel dan
Garuda, tidak ada deal khusus antara Bambang Harimurti dengan Mustafa Abubakar?
Saat itu, Bambang Harimurti juga Freelance menjadi staff khusus Mustafa
Abubakar.
Memangnya, ketika TEMPO
mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tidak ada kucuran dana dari Menteri
Keuangan Agus Martowardojo yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin
Che Wei sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula
menawarkan Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Ditolak oleh
bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data ini ke Agus Marto yang sedang
berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa Newmont. Agus Marto sepakat
bayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. Grup
TEMPO sebagai gerbang pembuka data tersebut kepada masyarakat dan media-media
lain, dapat berapa ya? Lin Che Wei dapat berapa?
Fakta-fakta itu, yang semula
begitu enggan saya percayai karena fundamentalisme saya yang begitu buta
terhadap TEMPO, sempat membuat saya frustrasi. Kalau boleh saya samakan,
mungkin kebimbangan saya seperti seorang yang hendak berpindah agama.
Spiritualitas dan mentalitas saya goncang akibat adanya fakta-fakta tersebut.
Bukan hanya fakta soal permainan mafia grup TEMPO, tetapi juga fakta bahwa
media-media besar bersama wartawan-wartawannya, lebih jauh terlibat dalam
permainan uang dan jual beli pencitraan, layaknya jasa konsultan.
Mereka, media-media besar ini,
tidak bermain Receh, mereka bermain dalam cakupan yang lebih luas lagi, baik
deal politik tingkat tinggi, juga transaksi korporasi kelas berat.
Namun semua itu sebetulnya tidak
terlalu saya masalahkan, hingga suatu hari saya lihat sendiri bahwa permainan
uang dan jual beli pencitraan juga terjadi pada media tempat saya bekerja,
TEMPO. Dikepalai oleh Bambang Harimurti sebagai salah satu Godfather mafia
permainan uang dan transaksi jual beli pencitraan dalam grup TEMPO, kini tidak
hanya bergerak dari dalam TEMPO, tetapi sudah menjadi jejaring antara grup
TEMPO dengan para eks-wartawan TEMPO yang membangun kapal-kapal semi-konsultan
untuk memperluas jaringan mereka, masih di bawah Bambang Harimurti.
Saya pribadi, memutuskan resign
dari TEMPO pada awal tahun 2013. Muak dengan segala kekotoran TEMPO, kejorokan
media-media di Indonesia, kejijikan melihat jejaring permainan uang dan jual
beli pencitraan di kalangan wartawan TEMPO dan media-media besar lainnya.
Praktik mafia TEMPO kini semakin
menjadi-jadi.
Agustus lalu, masih di tahun
2013, saya sempat mampir ke Bank Mandiri pusat di jalan Gatot Subroto. Saat
itu, saya sudah resign dari grup TEMPO. Tak perlu saya sebut, kini saya bekerja
sebagai buruh biasa di sebuah perusahaan kecil-kecilan, namun jauh dari
permainan kotor TEMPO.
Di gedung pusat Bank Mandiri itu,
saya memang janjian dengan eks-wartawan TEMPO bernama Eko Nopiansyah yang kini
bekerja sebagai Media Relations Bank Mandiri. Ia keluar dari TEMPO dan pindah
ke Bank Mandiri sejak tahun 2009, karena dibajak oleh Humas Bank Mandiri
Iskandar Tumbuan.
Pada pertemuan santai itu, hadir
juga Dicky Kristanto, eks-wartawan Antara yang kini juga menjabat sebagai Media
Relations Bank Mandiri. Kami bincang bertiga. Pak Iskandar, yang dulu juga saya
kenal ketika sempat meliput berita-berita perbankan sempat mampir menemui kami
bertiga. Namun karena ada meeting dengan bos-bos Mandiri, pak Iskandar pun
pamit.
Sambil menyeruput kopi pagi, saya
berbincang bersama Eko dan Dicky. Mulai dari obrolan ringan seputar kabar
masing-masing, hingga bicara konspirasi politik dan berujung pada obrolan soal
aksi lanjutan TEMPO dalam ‘memeras’ Bank Mandiri terkait kasus SKK Migas.
Saya lupa siapa yang memulai
pembicaraan mengagetkan itu, meski sebetulnya kami sudah tidak kaget lagi
karena memang kami, kalangan wartawan (atau eks-wartawan) sudah paham betul
perilaku wartawan.
Siapapun itu, Eko maupun Dicky
menuturkan keluhannya terhadap grup TEMPO. Begini ceritanya.
“Ketika kasus suap SKK Migas yang
melibatkan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini terkuak, saat itu beliau juga
menjabat sebagai Komisaris Bank Mandiri. Dan memang harus diakui bahwa
aktivitas transaksi suap, pencairan dana dan sebagainya, menggunakan rekening
Bank Mandiri. Tapi ya itu kami nilai sebagai transaksi individu. Karena
berdasarkan UU Kerahasiaan Nasabah, kami Bank Mandiri pun tidak dapat melihat
dan memang tidak diizinkan menilai tujuan dari sebuah transaksi pencairan,
transfer atau apapun, kecuali ada permintaan dari pihak Bank Indonesia, PPATK,
pokoknya yang berwenang. Oleh sebab itu, kami tidak terlalu memusingkan soal
apakah Bank Mandiri akan dilibatkan dalam kasus SKK Migas,” tuturnya.
“Tiba-tiba, masuklah proposal
kepada divisi Corporate Secretary dan Humas Bank Mandiri dari KataData. Itu lho
lembaga barunya Metta Dharmasaputra (eks-wartawan TEMPO) yang didanai oleh Lin
Che Wei (eks-broker Danareksa). Gua kira KataData murni bergerak di bidang
pemberitaan. Eh, nggak taunya KataData juga bergerak sebagai lembaga konsultan.
Jadi KataData menawarkan jasa solusi komunikasi kepada Bank Mandiri untuk
berjaga-jaga apabila isu SKK Migas meluas dan mengaitkan Bank Mandiri sebagai
fasilitator aksi suap,” ungkapnya.
“Rekomendasinya sih menarik,
KataData menawarkan agar aksi suap SKK Migas dipersonalisasi menjadi hanya
kejahatan Individu, bukan kejahatan kelembagaan, baik itu lembaga SKK Migas
maupun Bank Mandiri. Apalagi, Metta mengatakan bahwa tim KataData juga sudah
bergerak di social media untuk mendiskreditkan Rudi Rubiandini dalam isu
perselingkuhan, sehingga akan mempermudah proses mempersonalisasi kasus suap
SKK Migas menjadi kejahatan individu semata,” jelasnya.
“Data-data yang ditampilkan
KataData memang menarik, karena riset data dilakukan oleh IRAI, lembaga riset
milik Lin Che Wei yang menjadi penyedia data utama KataData. Kalau tidak salah
waktu itu data utang-utang grup Bakrie yang dibongkar TEMPO juga dari IRAI ya?
Itu lho, yang tadinya ditawarin ke pak Nirwan dan karena ditolak kemudian
dibayarin Agus Marto Rp 2 miliar untuk menghajar grup Bakrie,” papar dia.
“Kita sih waktu itu melaporkan
proposal tersebut kepada para direksi Bank Mandiri. Dan selama sekitar 2 pekan,
memang belum ada arahan dari direksi mau diapakan proposal tersebut. Penjelasan
pak Iskandar (humas Bank Mandiri) sih, direksi masih melakukan koordinasi
dengan Kementerian BUMN dan pemerintahan. Biar bagaimanapun ini isu besar,
salah langkah bisa berabe akibatnya. Gua sih yakin, saat itu bos-bos lagi
memetakan dulu kemana arah isu ini sebelum memberikan jawaban terhadap proposal
yang masuk. Karena selain KataData juga ada dari pihak-pihak konsultan
lainnya,” kata dia.
“Eeh, tau-tau Pak Iskandar
bilang, gila, TEMPO makin jadi aja kelakuannya. Masak BHM (Bambang Harimurti)
sampai menelpon langsung ke pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi
Sadikin) terkait proposal KataData yang memang belum kita respon karena masih
memetakan arah isunya. Secara tersirat kita tau lah telepon itu semacam ancaman
halus dari BHM dan KataData bahwa jika tidak segera direspon, maka data-data
akan dipublikasi, tentunya dalam cara TEMPO mempublikasi data dong yang selalu
penuh asumsi dan bertendensi negatif,” ungkap dia.
“Menurut Pak Iskandar, meski
sudah diperingati soal bahaya menolak tawaran (alias ancaman) TEMPO grup adalah
terjadinya serangan isu negatif kepada Bank Mandiri, rupanya Pak Budi (Direktur
Utama Bank Mandiri) bersikeras tidak takut terhadap grup TEMPO. Penolakan
memberikan respon cepat terhadap proposal KataData pun disampaikan kepada BHM
(Bambang Harimurti),” singkap dia.
“Alhasil, terbitlah Majalah TEMPO
edisi 18 Agustus 2013 dengan judul Setelah Rudi, Siapa Terciprat? yang isinya
begitu mendiskreditkan Bank Mandiri dalam kasus SKK Migas. TEMPO membentuk
opini bahwa aksi suap Rudi Rubiandini tidak akan terjadi apabila Bank Mandiri
tidak memfasilitasinya,” keluh dia.
“Ini kan semacam pemerasan halus
atau pemerasan Kerah Putih dari jejaring TEMPO (Bambang Harimurti), KataData
(Metta Dharmasaputra, Eks-Wartawan TEMPO) dan IRAI (Lin Che Wei, Eks-Broker
Danareksa dan pendana utama KataData). Begitu edisi tersebut tayang, kita sih
tepuk dada saja menghadapi mafia TEMPO dalam memeras korban-korbannya. Biasanya
memang begitu polanya. Begitu ada kasus skala nasional, calon-calon korban
seperti kita (Bank Mandiri) akan didekati oleh mereka, ditawari jasa konsultan
dengan ancaman kalau tidak deal, ya di blow up. Padahal data yang mereka
publish tidak sepenuhnya benar. Tapi semua orang juga tau kalau TEMPO sangat
pintar memainkan asumsi dan tendensi negatif,” keluh dia.
Mendengar cerita tersebut, dalam
hati saya bersyukur kalau saya sudah tidak lagi menjadi bagian dari TEMPO yang
sudah tidak bersih lagi. Mereka sudah menjadi bagian dari praktik mafia
permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan. Sama saja dengan
media-media lainnya kayak Kompas, Antara, Detik, Bisnis Indonesia, Investor
Daily, Jawa Pos dan lain-lain.
Saya lega sudah dibukakan mata
dan tidak lagi buta terhadap TEMPO maupun mimpi saya menjadi seorang wartawan
yang bersih. Sulit menjadi bersih di kalangan wartawan. Godaan begitu banyak.
Tidak hanya di luar organisasi tempat kamu bekerja, tetapi juga di dalam
organisasi tempatmu bekerja.
Hampir mirip seperti PNS,
mengikuti arus korupsi adalah sebuah keharusan, karena jika tidak, karirmu akan
mandek. Korupsi yang melembaga tidak hanya terjadi di lembaga pemerintah.
Jejaring wartawan, media seperti yang terjadi pada grup TEMPO, meski mereka
seringkali memeras dengan ‘kedok’ melawan korupsi, toh kenyataannya grup TEMPO
telah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi
jual beli pencitraan.
TEMPO dan media-media besar
lainnya tidak lagi bersih. Korupsi dalam grup TEMPO telah melembaga alias
terorganisir, sebagaimana korupsi di organisasi pemerintahan, departemen dan
sebagainya.
Saya bersyukur dibukakan mata dan
dijauhkan dari dunia itu. Lebih senang dan tenang batin bekerja sebagai buruh
biasa seperti yang saya lakukan kini.
Insya Allah jauh dari dunia
hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar