Jurnalis Independen: Sejarah
memang penuh dengan misteri. Banyak orang menganggap jika sejarah itu
telah final, statis, dan sama sekali tidak dinamis, tidak hidup.
Anggapan ini tentu saja tidak benar. Sejarah itu hidup dan terus
berkembang dengan bukti-bukti baru. Bukti-bukti termutakhir tentang
sejarah masa lalu terus bermunculan di masa sekarang. Berbagai situs,
candi, fosil, dan sebagainya terus bermunculan ke permukaan kehidupan
kita kini. Kita bahkan tidak tahu bukti-bukti apa lagi yang esok akan
terus bermunculan, sehingga kita hari ini harus terus merekonstruksi
sejarah itu sendiri, harus terus mendesain ulang sejarah kita di masa
lalu.
Entah sampai kapan hal ini terus ada dan semuanya merupakan modal penting bagi kehidupan umat manusia di masa depan.
Kita saat ini merasa jika manusia sekarang telah
mencapai puncak peradaban, puncak ilmu pengetahuan, dan puncak kejayaan
teknologi. Namun tahukah Anda jika hal itu hanyalah pengulangan dari
sejarah masa silam?
Kaum Aad dan Tsamud dahulu kala telah memiliki
kemampuan untuk membangun gedung-gedung pencakar langit dan mengubah
gunung batu menjadi istana. Sisa-sisa kejayaan mereka sampai hari ini
masih bisa disaksikan siapa pun di Lembah Petra, Yordania.
Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan
kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberikan
tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya
yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka
ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
membuat kerusakan. (QS. Al A’raaf, 7: 74)
Lalu Hiram, sang arsitek Kerajaan Nabi Sulaiman,
telah begitu mahir membangun dan mengkonstruksi sebuah istana megah di
mana lantainya terlihat bagaikan permukaan air yang sangat jernih hingga
membuat Ratu Bilqis terperdaya.
Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana.
Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang
besar, dan disingkapkannya kedua betisnya”. Berkatalah Sulaiman:
“Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah
Balqis, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap
diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan
semesta alam”.”(QS An Naml 44)
Kita sampai hari ini masih saja terheran-heran,
bagaimana manusia-manusia dahulu bisa membangun candi seindah dan
semegah Borobudur, bagaimana mereka bisa mengangkat dan memindahkan
bebatuan besar guna menyusun Stonehedge, membangun situs-situs raksasa
di Pulau Paskah, membuat garis Nazca di Pegunungan Peru, dan lain
sebagainya.
Manusia sekarang juga masih bertanya-tanya mengapa
di lahan bekas pertempuran besar antara kaum Pandawa melawan Kurawa di
Padang Khurusetra, yang sekarang menjadi gurun di Mahendjo Daro,
terdapat sisa radiasi nuklir. Apakah Bharatayudha itu merupakan perang
modern sehingga dipergunakan senjata berbahan nuklir?
Dan yang paling menarik, tentu saja, kisah
kegemilangan nenek moyang kita yang dahulu kala, beribu tahun
sebelumnya, telah menghuni apa yang sekarang disebut sebagai Nusantara.
Sejarah Nusantara masih teramat banyak yang belum tergali dengan
sempurna. Masih teramat banyak misteri yang melingkupinya. Beberapa di
antaranya akan dipaparkan di sini.
Bangunan Candi dan Piramida
Indonesia atau Nusantara dahulu kala, puluhan ribu
tahun silam, adalah Atlantis. Banyak pihak yang mencemoohkan hal ini,
termasuk sebagian orang Indonesia sendiri. Mereka menyatakan jika hal
itu hanya sebagai pseudoscientism, ilmu ilmiah jadi-jadian.
Lantas siapakah orang yang berani dengan tegas menyatakan Indonesia
sekarang adalah Atlantis di zaman dahulu?
Adalah Profesor Arysio Santos des Nunes. Dia Pakar
Fisika Nuklir dari Brasil yang menjadi pengajar di sejumlah perguruan
tinggi bergengsi di Amerika dan pernah menjadi anggota Dewan Nuklir
Dunia di Swiss.
Selama tigapuluhan tahun, Santos meneliti Timoeus dan Critias,
dua manuskrip tertua karya Plato yang menyinggung keberadaan Atlantis.
Hasilnya sungguh mengguncang dunia. Santos dengan sangat yakin
menegaskan jika Nusantara merupakan sisa-sisa Atlantis di masa lalu.
Tentang Santos dan Atlantisnya bisa dibaca di Eramuslim Digest edisi 11.
Demikian juga dengan ulasan dari Profesor Oppenheimer yang menyatakan
jika Sunda Land merupakan asal muasal pusat peradaban dunia.
Tentang Santos dan Oppenheimer, kini artikelnya
sudah bisa kita baca di mana-mana. Bahkan buku hasil penelitiannya pun
sudah diindonesiakan dan dengan mudah bisa diperoleh di berbagai toko
buku. Lepas dari keduanya, ada sejumlah temuan unik dan misterius yang
berbeda pada bangunan candi dan piramida yang ada di Nusantara, namun
memperkuat temuan Santos dan Oppenheimer, terkait dengan Nusantara
sebagai pusat peradaban dunia. Beberapa temuan itu akan dipaparkan satu
persatu di dalam serial tulisan ini. Inilah di antaranya:
Cetho dalam bahasa Jawa berarti “Nyata”. Candi
Cetho terletak di kaki Gunung Lawu, di Dusun Ceto, Desa Gumeng,
Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada ketinggian
1400 m di atas permukaan laut. Dilihat dari bentuknya, Candi Cetho
berbeda dengan candi-candi lain yang ada di Nusantara. Cetho bentuknya
menyerupai piramida, mirip dengan candi-candi yang ada di peradaban
bangsa Inca dan Suku Maya di Amerika Latin.
Menurut
perhitungan sejumlah arkeolog, Cetho dibangun pada akhir zaman
Majapahit, di kala kekuasaan Prabu Brawijaya ke V. Namun melihat bentuk
fisik dari Cetho, anggapan itu sepertinya kurang tepat. Candi-candi yang
dibangun di era akhir Majapahit biasanya terbuat dari batu bata merah,
bukan batu kali seperti halnya Cetho. Lalu relief-relief yang ada pada
candi-candi Majapahit di era yang sama biasanya detil dan rapih,
sedangkan Cetho tidak. Relief-relief di candi Cetho, pemahatannya
terlihat sangat sederhana. Ini semua mengindikasikan jika candi Cetho
diduga kuat lebih tua usianya ketimbang Kerajaan Majapahit itu sendiri.
Belum lagi bentuk dan rupa aneka patung yang ada di
candi Cetho yang sama sekali tidak menggambarkan manusia Jawa yang ada
pada zamannya. Namun patung-patung tersebut lebih mirip dengan
orang-orang Sumerian yang berasal dari abad ke 3.000 SM. [bersambung/rz]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar