Jurnalis Independen: Membuat terobosan dengan berhasil masuk ke pusat keuangan Amerika
Wall Street, sebagian umat Islam terjebak dalam praktek-praktek yang
bertentangan dengan ajaran agama mereka.
"Wall Street pada dasarnya buta terhadap agama," kata Rushdi Siddiqui, kepala global keuangan Islam di Thomson kepada Reuters, pada hari Minggu kemarin (15/4).
"Ada banyak keprihatinan terkait aliran uang, aset manajemen dan transaksi keuangan."
Rushdi adalah salah satu dari banyak umat Islam yang menduduki posisi eksekutif di bank-bank yang ada di Wall Street, yang menghadapi banyak rintangan untuk mematuhi ajaran agamanya.
Misalnya, Wall Street tidak menyediakan ruangan khusus untuk shalat di tempat kerja bagi para pekerja Muslim.
Mereka juga harus berurusan dengan bunga (riba), yang dilarang dalam Islam.
"Kami memiliki konsep yang disebut hukum kebutuhan," kata Rushdi.
"Anda pada satu tingkat, harus mematuhi hukum-hukum lokal di mana Anda kebetulan berada, entah itu hukum formal atau hukum tidak tertulis."
Aisha Jakaku, perawatan kesehatan mantan analis di Goldman Sachs dan konsultan keuangan lepas, juga menghadapi kesulitan dalam mematuhi ajaran agamanya.
Jukaku, yang telah berjilbab sejak berusia 11 tahun, menghindari kontak fisik dengan pria yang bukan mahramnya.
Dia membuat pengecualian untuk berjabat tangan dengan orang yang bukan mahramnya dalam lingkungan bisnis yang sebenarnya canggung ia lakukan.
"Ini bukan sesuatu yang saya ingin lakukan," katanya, terkait berjabat tangan dengan pria yang bukan mahram.
"Tapi itu cara Amerika umum untuk melakukan bisnis."
Sedangkan bagi Ali Akbar, seorang direktur managing RBC Capital Markets kelahiran Pakistan, hampir sulit untuk melakukan shalat lima waktu secara tepat waktu.
"Anda tidak bisa bangkit di tengah kesepakatan dan mengatakan, 'saya harus pergi menghabiskan waktu dua jam di masjid," Akbar, 34 tahun, mengatakan.
Meskipun kesulitan, para bankir Islam tersebut melihat agama mereka sebagai aset dalam kemajuan karir mereka.
"Benar atau salah, jika anda religius, Anda dianggap memiliki tingkat yang wajar dalam integritas," kata Sohail Khan, seorang kepala yang mengelola Securities StormHarbour dan pedagang di Citigroup.
Memiliki pengeluaran bisnis yang lebih sedikit dari koleganya, Khan menganggap gaya hidupnya aset dalam negosiasi penawaran.
"Bila Anda hanya sosok pekerja di meja yang tidak mabuk, ini adalah senjata yang hebat," katanya.
"Menjadi seorang Muslim yang baik membantu Anda menjadi seorang bankir yang baik," tegasnya.
Dia, bagaimanapun, mengakui bahwa penyatuan keyakinan agamanya dan pekerjaannya di bidang keuangan telah menjadi kurang sempurna.
"Ketika saya membuat keputusan untuk mengejar karir di Wall Street, ada hal-hal tertentu yang saya tahu saya akan mengalami kesulitan mendamaikan dengan keyakinan Islam saya," katanya.
"Saya melakukan riset, dan saya mendapatkan kenyamanan bahwa Allah itu maha pemaaf."
Untuk mengurangi tantangan ini, tiga pemuda Muslim membentuk organisasi, Muslim Urban Professionals, yang dijuluki "Muppies" pada tahun 2006 untuk membantu sesama para profesional muda Muslim menegosiasikan isu-isu yang muncul.
Para Muppies mengisi "kebutuhan luar biasa" yang ada di masyarakat, kata Iftikar A. Ahmed, seorang mitra umum di sebuah perusahaan Investasi.
"Ini memberitahu mereka bahwa Anda bisa mengikuti cara hidup Amerika sementara anda tidak menyangkal secara fakta bahwa Anda juga seorang Muslim."(mnt/emi)
"Wall Street pada dasarnya buta terhadap agama," kata Rushdi Siddiqui, kepala global keuangan Islam di Thomson kepada Reuters, pada hari Minggu kemarin (15/4).
"Ada banyak keprihatinan terkait aliran uang, aset manajemen dan transaksi keuangan."
Rushdi adalah salah satu dari banyak umat Islam yang menduduki posisi eksekutif di bank-bank yang ada di Wall Street, yang menghadapi banyak rintangan untuk mematuhi ajaran agamanya.
Misalnya, Wall Street tidak menyediakan ruangan khusus untuk shalat di tempat kerja bagi para pekerja Muslim.
Mereka juga harus berurusan dengan bunga (riba), yang dilarang dalam Islam.
"Kami memiliki konsep yang disebut hukum kebutuhan," kata Rushdi.
"Anda pada satu tingkat, harus mematuhi hukum-hukum lokal di mana Anda kebetulan berada, entah itu hukum formal atau hukum tidak tertulis."
Aisha Jakaku, perawatan kesehatan mantan analis di Goldman Sachs dan konsultan keuangan lepas, juga menghadapi kesulitan dalam mematuhi ajaran agamanya.
Jukaku, yang telah berjilbab sejak berusia 11 tahun, menghindari kontak fisik dengan pria yang bukan mahramnya.
Dia membuat pengecualian untuk berjabat tangan dengan orang yang bukan mahramnya dalam lingkungan bisnis yang sebenarnya canggung ia lakukan.
"Ini bukan sesuatu yang saya ingin lakukan," katanya, terkait berjabat tangan dengan pria yang bukan mahram.
"Tapi itu cara Amerika umum untuk melakukan bisnis."
Sedangkan bagi Ali Akbar, seorang direktur managing RBC Capital Markets kelahiran Pakistan, hampir sulit untuk melakukan shalat lima waktu secara tepat waktu.
"Anda tidak bisa bangkit di tengah kesepakatan dan mengatakan, 'saya harus pergi menghabiskan waktu dua jam di masjid," Akbar, 34 tahun, mengatakan.
Meskipun kesulitan, para bankir Islam tersebut melihat agama mereka sebagai aset dalam kemajuan karir mereka.
"Benar atau salah, jika anda religius, Anda dianggap memiliki tingkat yang wajar dalam integritas," kata Sohail Khan, seorang kepala yang mengelola Securities StormHarbour dan pedagang di Citigroup.
Memiliki pengeluaran bisnis yang lebih sedikit dari koleganya, Khan menganggap gaya hidupnya aset dalam negosiasi penawaran.
"Bila Anda hanya sosok pekerja di meja yang tidak mabuk, ini adalah senjata yang hebat," katanya.
"Menjadi seorang Muslim yang baik membantu Anda menjadi seorang bankir yang baik," tegasnya.
Dia, bagaimanapun, mengakui bahwa penyatuan keyakinan agamanya dan pekerjaannya di bidang keuangan telah menjadi kurang sempurna.
"Ketika saya membuat keputusan untuk mengejar karir di Wall Street, ada hal-hal tertentu yang saya tahu saya akan mengalami kesulitan mendamaikan dengan keyakinan Islam saya," katanya.
"Saya melakukan riset, dan saya mendapatkan kenyamanan bahwa Allah itu maha pemaaf."
Untuk mengurangi tantangan ini, tiga pemuda Muslim membentuk organisasi, Muslim Urban Professionals, yang dijuluki "Muppies" pada tahun 2006 untuk membantu sesama para profesional muda Muslim menegosiasikan isu-isu yang muncul.
Para Muppies mengisi "kebutuhan luar biasa" yang ada di masyarakat, kata Iftikar A. Ahmed, seorang mitra umum di sebuah perusahaan Investasi.
"Ini memberitahu mereka bahwa Anda bisa mengikuti cara hidup Amerika sementara anda tidak menyangkal secara fakta bahwa Anda juga seorang Muslim."(mnt/emi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar