Sabtu, 21 April 2012

Doktrin Zionisme Pada Pancasila : Ekses Terapan Pancasila di Masa Orla dan Orba

Jurnalis Independen: Bersama ini kami turunkan tulisan di ebook, yang dipublikasikan oleh www.geocities.com/sabiluna/zionisme. Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: "Menguak Tabir Pemikiran Founding Fathers RI. Editor: Muhamad Thalib dan Irfan Awwas". Semoga bermanfaat.

Di Zaman Soekarno
Seberapa besar pengaruh pola pemikiran Zionis atau Freemasonry terhadap penerapan Pancasila di Indonesia, buku ini akan memaparkannya secara jelas dan lengkap. Namun sebelum itu, akan sangat bermanfaat apabila dalam pengantar ini, kita ilustrasikan bagaimana penerapan ideologi Pancasila selama dua periode pemerintahan di Indonesia. Di zaman Orla, atas nama Pancasila, Ir. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup.

Kekuasaan negara diselenggarakan dengan menganut sistem Demokrasi Terpimpin, yang kemudian ternyata melahirkan prinsip-prinsip yang mereduksi Islam, dan pada saat yang sama mendukung komunisme. Dari sinilah lahirnya Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai aplikasi idiologi Pancasila.
Selama 20 tahun rezim Soekarno berkuasa, Indonesia menjadi lahan yang subur bagi golongan-golongan anti Islam; seperti Zionisme, Freemasonry, Salibisme, Komunisme [3], paganisme, sekularisme serta kelompok Yes Man.

Sebaliknya, bagi orang-orang yang bersikap kritis, taat beragama, dan bercita-cita membangun masyarakat berdasarkan agama, Indonesia ketika itu bagaikan neraka. Mereka yang dipandang tidak loyal pada pemerintah, dituduh kontra revolusi dan menjadi mangsa penjara. Sebagai akibatnya, kezaliman politik, keruntuhan akhlak, kebencian antar warga masyarakat, serta kebiadaban kelompok yang kuat dalam menindas yang lemah menjadi trade merk pemerintah Orde Lama.

Dan akibat selanjutnya, sepanjang kurun waktu orde lama, tidak pernah sepi dari perlawanan rakyat kepada pemerintah, dan pemberontakan daerah terhadap penguasa pusat. Penerapan ideologi Pancasila dari masa ke masa, dan pada setiap periode pemerintahan yang berbeda-beda, selalu menimbulkan korban yang tidak kecil. Pembunuhan demokrasi, pemerkosaan hak asasi manusia, adalah di antara ekses-ekses negatif penerapan Pancasila oleh penguasa. [4]

Di negara Pancasila, seseorang bisa dipenjara bertahun-tahun lamanya tanpa proses pengadilan dengan tuduhan menentang Pancasila atau merongrong wibawa pemerintah yang sah. Dan bila penguasa menghendaki, atas nama Pancasila, seseorang bisa dijebloskan ke dalam penjara, tanpa dasar yang jelas.
Perbenturan ideologi, pertikaian para penganut agama dan kaum anti agama menjelang Gestapo (G 30 S PKI), dan hiruk pikuk Lekra/PKI dan kawan-kawannya. Kemudian keberpihakan penguasa kepada kaum penyembah Lenin itu, serta kezalimannya terhadap kaum muslimin.

Semua ini dapat dibaca dalam buku: “Prahara Budaya”, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Tulisan D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, diterbitkan oleh penerbit MIZAN Bandung, Maret 1995. 4 Baca buku: Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi, kumpulan tulisan K.H. Firdaus A.N., CV. Pedoman Inti Jaya, 1993. (10).

Kehilangan hak-hak sipil maupun politiknya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Dalam hal ini, termasuk dosa politik rezim Soekarno terhadap rakyat Indonesia adalah dicoret-nya tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yaitu Kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, lalu menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuh kalimat yang dicoret secara sepihak itu, pada mulanya dinilai sebagai perjanjian moral antara umat Islam dan non-Islam. Selain pencoretan itu, pengkhianatan pemimpin-pemimpin republik terhadap janjinya, telah menyulut api pemberontakan dan menyebabkan kepercayaan rakyat mulai luntur terhadap kredibilitas pemimpin pusat. Di antara bentuk pengkhianatan rezim Orla terhadap janji yang diucapkan atas nama pemerintah Pancasila, dan hingga kini membawa akibat buruk bagi bangsa Indonesia, adalah kasus pemberontakan Darul Islam pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, tokoh ulama seluruh Aceh (PUSA) berserta para pengikutnya.

Pengkhianatan pemerintah Orde Lama itu, dengan jelas terlihat dalam dialog antara Tengku Daud Beureueh dan Presiden Soekarno.
Bagian terakhir dari dialog tersebut, selengkapnya adalah sebagai berikut : [5]

Presiden: “Saya minta bantuan kakak, agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan".

Daud Beureueh :” Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid” .

Presiden: ”Kakak! Memang yang saya maksud-kan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tengku Tjhik di Tiro dan lain-lain yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang ber-semboyan “merdeka atau syahid”.

Daud Beureueh: ”Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam di dalam daerahnya”.

Presiden: ”Mengenai hal itu kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam”.

Daud Beureueh: ”Maafkan saya Sudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami meng-inginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden”

Presiden: ”Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu”.

Daud Beureueh: ”Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terimakasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno) sudi kiranya Sdr. Presiden menulis sedikit di atas kertas ini”.
Mendengar ucapan Tengku Muhammad Daud Beureueh itu langsung Presiden Soekarno menangis terisak-isak. Air matanya yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. Dalam keadaan terisak-isak  

Presiden Soekarno berkata: ”Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau tidak dipercaya” .

Langsung saja Tengku Daud Beureueh menjawab: ”Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan pada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang”.

Lantas Presiden Soekarno, sambil menyeka air matanya, berkata: ”Wallahi, Billahi [6], kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syari’at Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah kakak masih ragu-ragu juga?”

Dijawab oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh: ”Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terimakasih atas kebaikan hati Saudara Presiden”.

Menurut keterangan Tengku Muhammad Daud Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat Presiden menangis terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno itu.

Dari dialog di atas, kita bisa maklum bahwa, secara historis, dari sejak awal masyarakat Aceh ketika bergabung dengan Indonesia, menginginkan otonomi dengan penerapan hukum Islam. Orang Aceh siap membantu pemerintah Indonesia melawan Belanda, dengan suatu syarat, supaya syari’at Islam berlaku sepenuhnya di Aceh. Atau dengan kata lain, masyarakat ingin di Aceh berlaku syari’at Islam dalam bingkai negara Kesatuan RI.

Akan tetapi, meski Soekarno telah berjanji dengan berurai air mata, ternyata ia ingkar dan tidak konsekuen terhadap ucapannya sendiri. Melihat kenyataan ini, suatu hari, dengan suara masygul, Daud Beureueh pernah berkata:”Sudah ratusan tahun syari’at Islam berlaku di Aceh. Tetapi hanya beberapa tahun bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya syari’at Islam di Aceh. Maka sejak itu lahirlah gerakan Darul Islam di Aceh. [7]

Soekarno termasuk pengagum Kemal Attaturk, presiden Turki keturunan Yahudi, yang paling lantang menolak keterlibatan agama dalam urusan politik dan pemerintahan. Demikian ekstrim pendiriannya dalam urusan ini, sehingga ia menghapus sistem kekhalifahan Islam di Turki, mengganti lafadz adzan yang berbahasa Arab menjadi bahasa nasional Turki.

Dia berkata: ”Agama hanyalah hubungan pribadi dengan Tuhan, sedang negara adalah milik bersama”. Slogan ini adalah salah satu racun kolonial, tetapi sampai sekarang angin beracun ini masih berhembus kencang. Maka sebagaimana Kemal Attaturk, dalam suatu pidatonya di Amuntai Kalimantan Selatan pada tahun 1954, Soekarno juga pernah menyatakan tidak menyukai lahirnya Negara Islam dari Republik Indonesia.

Mengapa Soekarno ingkar janji terhadap rakyat Aceh, dan menolak berlakunya syari’at Islam? Menurut pengakuannya sendiri, Soekarno pernah dikader oleh seorang Belanda keturunan Yahudi, bernama A. Baars. ”Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia”, katanya. Pengakuan ini diungkapkan di hadapan sidang BPUPKI.

Selanjutnya, dalam pidatonya itu, Soekarno juga menyatakan: ”Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmo-politisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Di dalam hati saya, sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh buku tersebut” .

Berdasarkan tela’ah dari berbagai karya tulis, pidato serta riwayat hidup Bung Karno, kita menjadi paham, bahwa prinsip ideologi yang dikembangkannya merupakan kombinasi dari paham kebangsaan dan mulhid, yaitu Nasionalisme dan Komunisme. Kombinasi dari keduanya, kemudian melahirkan ajaran Bungkarno, yang terkenal dengan Marhaenisme, akronim dari Marxisme, Hegel dan Nasionalisme. Semua ini sangat berpengaruh terhadap aplikasi ideologi Pancasila selama masa kekuasaannya.

Setelah berkuasa lebih dari 20 tahun lamanya, kekuasaan Soekarno akhirnya runtuh, dan riwayat hidupnya berakhir nista, terpuruk dari singgasana kekuasaan dan mati dalam keadaan sakit parah serta merana.

Catatan Kaki
[3] Perbenturan idiologi, pertikaian para penganut agama dan kaum anti agama menjelang Gestapo (G 30 S PKI), dan hiruk pikuk Lekra/PKI dan kawan-kawannya. Kemudian keberpihakan penguasa kepada kaum penyembah Lenin itu, serta kezalimannya terhadap kaum muslimin. Semua ini dapat dibaca dalam buku: “Prahara Budaya”, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Tulisan D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, diterbitkan oleh penerbit MIZAN Bandung, Maret 1995.

[4] Baca buku: Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi, kumpulan tulisan K.H. Firdaus A.N., CV. Pedoman Inti Jaya, 1993.

[5] Wawancara dengan Tengku Daud Beureuh, dalam TGK. M. DAUD BEUREUH: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, oleh M. Nur Elibrahimy, hal. 65, PT. Gunung Agung, Jakarta, Cetakan Kedua, 1982.

[6] Karakteristik orang-orang munafik suka berjanji tapi kemudian mengingkarinya, dan menjadikan sumpah sebagai helah. Allah berfirman: Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. Sungguh amat buruklah apa yang mereka lakukan. Yang demikian itu karena mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (kembali), lalu hati mereka dikunci (tertutup dari menerima kebenaran). Maka mereka tidak memahami. Dan apabila engkau melihat mereka, engkau akankagum karena tubuh-tubuh mereka (yang tegap dan tampan). Dan apabila mereka berbicara, engkau akan terpaku mendengarkannya. Mereka bagaikan kayu yang tersandar (tidak mempunyai fikiran). Mereka menduka setiap suara keras (panggilan) ditujukan kepada mereka. Merekalah musuh (sejati), maka jauhilah mereka, (waspadalah terhadap mereka). Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dibutakan mata hatinya dari kebenaran).?, (Q.S. Al Munafiqun: 2-4).

[7] Rubrik Nasional, Mingguan ABADI, No. 37/Th.I, 22-28 Juli 1999.

Kemudian Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, melalui Supersemar, 1966. Banyak orang berharap, setelah Soekarno jatuh dan dominasi PKI di hancurkan, dapat dilakukan reformasi hukum dan politik secara total. Tetapi harapan itu tidak pernah terwujud, hingga ia lengser dari kekuasaan, 21 Mei 1998 lalu. Indonesia di masa orde baru, bukan saja otoriter, tetapi hampir seluruh lembaga pemerintahan penuh dengan perdukunan, takhayul dan mistik. Kebijakan pemerintahannya, banyak dipengaruhi oleh rekayasa paranormal.

Berbeda dengan Bung karno, Soeharto malah mengembangkan idiologi yang merupakan ramuan dari jiwa Nasionalisme dan paganisme. Maka jelas terlihat, prestasi paling spektakuler rezim Soeharto, adalah keberhasilannya menjadikan idiologi Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Di zaman Soehartolah idiologisasi Pancasila mulai dikembangkan melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dan menjadikannya sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih dari itu, Soeharto telah memposisikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Sejak awal berkuasa,1966, Soeharto dan kemudian GOLKAR yang menjadi kendaraan politiknya, mengusulkan paket undang undang politik, yang salah satu diktumnya menyatakan, bahwa parpol dan ormas harus berasaskan idiologi Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi usulan ini mendapat tantangan keras dari ummat Islam, sehingga baru pada 1982 usulan tersebut menjadi kenyataan.

Untuk hal ini, Soeharto pernah dengan bangga mengatakan di depan sidang paripurna DPR, 16 Agustus 1987 : ”Dengan lega hati kita dapat mengatakan, di bidang idiologi dan politik, kita telah berhasil meletakkan kerangka landasan yang kita perlukan. Sejarah kelak akan membuktikan juga ketidakbenaran anggapan bahwa ABRI tidak akan dapat mendorong pertumbuhan demokrasi” . Mengenai idiologi, Soeharto berkata: ”Kalau para pemuda mempelajari idiologi selain Pancasila, serta idiologi-idiologi keagamaan, maka mereka akan menyadari kekurangan-kekurangan idiologi tersebut; dan akan lebih percaya terhadap kebenaran Pancasila” .

Dalam upaya melestarikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka cukup menarik mendengarkan pernyataan yang disampaikan oleh seorang pejabat tinggi keamanan di hadapan pimpinan parpol dan ormas, tentang tekadnya untuk menghancurkan “Ekstrimis Muslim” benar-benar mencerminkan dendam militer yang tiada habisnya terhadap kaum muslimin.

Dengan topik Situasi Keamanan Menjelang Pemilu 1987, Kasrem 072 Pamungkas, Yogyakarta, Letkol. Rudy Sukarno mengatakan: ”Khusus masalah subversi dirasa perlu untuk dihancurkan. Sebab bila tidak dihancurkan akan muncul visi-visi sebagai pemberontakan. Maka lebih baik dicegah dulu dengan memberantas subversi ini. Pembangunan sekarang harus berhasil. Kalau gagal, justru akan memberi peluang kepada kaum subversi untuk menyebarkan pendapat, bahwa idiologi Pancasila gagal dan tidak mampu mensukseskan pembangunan. Demikian pula halnya, bila terjadi kericuhan politik, yang dapat dimanfaatkan oleh oknum subversi untuk menyebar opini bahwasanya politik Pancasila juga gagal mengatasi situasi politik” .(8)

Dalam hubungan ini, agak mengherankan seruan dari Mahkamah Agung, Ali Said, SH kepada seluruh pengadilan di Indonesia. Ia mengatakan: ”Fenomena subversi, korupsi dan narkotika semakin meningkat. Hakim-hakim yang menangani kasus-kasus tersebut harus mampu melaksanakan langkah-langkah preventif secara refresif” . Semua ini merupakan bukti nyata, betapa gigihnya mereka mempertahankan sikap refresif tentara, dalam menjalankan roda kekuasaan.

Ketika pengadilan yang menangani kasus subversi, tahun 85-an, berubah menjadi lembaga penghukuman. Dan ketika menyaksikan ketidakberesan pengadilan dan kezaliman rezim orba terhadap para tahanan politik, sungguh tepat ucapan Letjen. HR. Dharsono, mantan Pangdam Siliwangi yang dipenjarakan dengan tuduhan subversi.

Ketika kasusnya disidangkan, dan tiba saatnya membacakan pledoi, terdakwa Dharsono tampil dengan pledoi berjudul: Menuntut Janji Orba, dan mengatakan: ”Sejarah telah mencatat bahwa, dalam pengadilan seperti ini, terdakwa tidak pernah bebas atau menang, justru sebaliknya, sebagai forum menyingkiran lawan-lawan politik” .

Dalam pledoinya, Dharsono memfokuskan kritiknya kepada dua hal, yaitu pengasas tunggalan Pancasila dan dwifungsi ABRI. Mengenai asas tunggal Dharsono mengatakan: ”Pengasas tunggalan Pancasila dan sistem pemilihan anggota DPR/MPR selama ini tidak sesuai dengan UUD 45” . “Pancasila tidak bisa berjalan sendiri dan diasas tunggalkan” , ujarnya. Muatan Pancasila terletak pada pengakuannya akan kebhinekaan. Kemudian Dharsono mempertanyakan relevansi dari dwifungsi ABRI.

“Dwifungsi ABRI harus dipahami secara kontekstual. Sebab ia bukanlah doktrin yang kaku dan mati, yang bisa diberlakukan sepanjang zaman, tanpa melihat ruang sejarah ketika rumusan-rumusan itu dicetuskan. Dengan alasan apapun, tidaklah bisa dibenarkan wujud implementasi dwifungsi ABRI seperti yang ada sekarang ini” , katanya tegas.(9)

Seakan menjawab kritik Dharsono, dalam suatu pidatonya Soeharto mengingatkan dengan kata-katanya: “ABRI mempunyai dwifungsi, yakni sebagai kekuatan politik dan pertahanan keamanan. Sebagai fungsi sospol, Soeharto menunjuk, telah ditetapkan MPR. Tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat merobah hakekat ABRI yang mempunyai dwifungsi tersebut” .

Sebuah koran daerah, menurunkan berita di bawah judul: Usaha Untuk Mengurangi Kepercayaan Terhadap Mandataris MPR, mengenai kritik terhadap kinerja MPR. Dalam hal ini, ketua MPR Amir Mahmud mengatakan: ”Isu yang mendeskreditkan orde baru terutama datang dari paham atau aliran komunisme, Liberalisme dan Theokratisme ala DI/TII. Paham yang tak cocok dengan alam Pancasila itu bertujuan menghambat rencana tinggal landas yang telah menjadi strategi orde baru” . (KR, 9 Juli 1986).


Musuh-Musuh Orde Baru
Tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto, ia banyak dihujat oleh rakyat, yang membuatnya amat murka. Dan yang paling membuatnya jengkel, adalah sikap LSM yang dinilai telah memburukburukkan citra Indonesia di luar negeri. Kemudian munculnya tulisan David Jenkin, wartawan Australia dalam The Sidney Morning Herald, berkisar tentang korupsi dan kekayaan Soeharto, yang dipandang sebagai pendeskreditan nama Kepala Negara oleh pers asing, berdasarkan informasi dari orang Indonesia.

Terhadap tuduhan ini Soeharto menjawab cerdik: ”Berbagai isu yang dikarang oleh orang asing maupun Indonesia untuk mendeskreditkan saya, sama sekali tidak benar. Saya dan istri saya tidak berdagang sebagaimana yang diisukan mereka. Benar, sebagai kepala negara kami mendapat sumbangan dari berbagai pihak. Dan sebagai pimpinan negara sumbangan itu diterima, kemudian dikelola oleh yayasan yang dibentuk oleh jend. purnawirawan Soeharto, guna membantu yatim piatu, janda yang suaminya gugur dalam pertempuran Trikora-Dwikora, Timtim serta membangun tempat ibadah” .

Bukan hanya Soeharto yang marah ketika berhadapan dengan kritik yang memojokkan dirinya. Leonardus Benny Moerdani, sebagai Pangab ketika itu, dengan sinis menyampaikan kecamannya: ”Kalau ada orang yang mengeluarkan ide untuk membatasi wewenang Presiden, mengungkit-ungkit serangan Fajar di Yogyakarta, hak asasi, korupsi dan lingkungan yang dirusak. Saya rasa ini dilakukan oleh orang yang kurang kerjaan. Atau, mungkin ingin cepat populer. Tulisan atau isu yang mendeskredit-kan Presiden RI, selain tidak benar, juga dilansir secara sentral, tetapi melaui mulut orang lain yang dipakai. Siapa mereka? Pelaku-pelakunya sudah tahulah, orang-orang yang tidak senang pada kita orba. Ya PKI, ya orang-orang yang tidak senang pada orde baru” .

Siapakah musuh orba? Mereka itu, katanya, adalah ekstrim kiri atau kanan, yakni mereka yang menentang sistem calon tunggal dalam memilih presiden dan tidak setuju asas tunggal. Mereka inilah yang tergolong musuh negara. Maka mulailah pemerintah membungkam suara rakyat, dan menetapkan rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, dianggap merongrong kewibawaan pemerintah, dan dapat diper-salahkan melanggar UU No. 11 PNPS/ 63, mengenai UU pemberantasan subversi. Di antara hal-hal yang tidak boleh dikritik adalah, masalah Pancasila, lembaga kepresidenan, dwifungsi ABRI dan kekayaan presiden beserta kroni-kroninya.

Dalam suatu pertemuan dengan para perwira pembantunya, Soeharto mengungkapkan kekesalan hatinya, melihat perkembangan situasi yang berani mempertanyakan posisi dirinya, kemungkinan suksesi dan sebagainya.Untuk itu ia memerintahkan menteri Dalam Negeri, Rudini untuk menertibkan pengeritik-pengeritik itu. Beberapa lama setelah perintah diterima, agaknya Rudini belum berbuat apa-apa, maka Soeharto memerintahkan Pangab Jend. Try Sutrisno untuk mengambil tindakan tegas. Tapi Rudini, akhirnya memanggil beberapa pimpinan LSM.

Cara pemerintah menangani pengeritiknya, membuat jengkel mahasiswa. Maka dalam suatu perhelatan di kampus ITB, Rudini diundang untuk membuka penataran P4. Itu terjadi pada tanggal 5 Agustus 1989. Kedatangan Rudini, rupanya tidak dikehendaki mahasiswa yang, menurut mereka ITB hanya dijadikan obyek kompetisi mencari kredit poin bagi para menteri.

Terjadilah demonstrasi. Dan tercatat di sini, menteri-menteri yang pernah didemo mahasiswa ITB antara lain: Adam Malik, Abdul Ghafur dilempari telur busuk dan kotoran kerbau, Cosmas Batubara, Nugroho Notosusanto dan Fuad Hasan. Dan kali ini, Rudini yang didemo mahasiswa. Di luar gedung pertemuan bermunculan poster. Antara lain berbunyi: Ganyang antek-antek penindas, jangan racuni putera-putera terbaik Indonesia dengan P4. Rudini penipu rakyat, dibodohi gubernur Yogi S. Memet, dan Yogi dibodohi walikota Ateng.

Semua yang dipaparkan di atas adalah fakta dan data. Hal ini sengaja dilakukan dengan maksud mengungkapkan sejarah Pancasila dan akibat-akibat penerapan serta dampak negatifnya bagi perkembangan demokrasi dan pertumbuhan keadilan.

Doktrin Zionisme dan Pancasila
Elastisitas idiologi Pancasila, telah memunculkan persoalan dilematis dalam tafsir dan aplikasinya. Orientasinya, mau kemana, juga tidak jelas. Sebagai idiologi dan dasar negara, tanpa adanya kitab rujukan yang jelas dan baku, men-dorong setiap penguasa di Indonesia, bebas menaf-sirkan dasar negara ini menurut seleranya masingmasing, sehingga sangat terbuka kemungkinan untuk bertindak
diktator dan berbuat zalim tanpa merasa bersalah.

Dan itulah yang selama ini terjadi. Menyaksikan berbagai dampak negatif akibat penerapan Pancasila, dan munculnya kekacauan pemahaman terhadap Pancasila itu sendiri, mengundang beragam pertanyaan. Benarkah Pancasila merupakan produk dalam negeri, atau made in Indonesia, sebagaimana dipahami banyak orang selama ini?

Sebagai peletak dasar negara Pancasila, Bung Karno mengakui banyak terpengaruh pemikiran dari luar, seperti Dr. Sun Yat Sen dan A. Baars, seorang sosialis Belanda, dalam merumuskan dasar-dasar idiologi kebang-saannya? Oleh karena itu, adakah kaitan historis dan idiologis antara doktrin Zionisme dengan Pancasila?

Ternyata masih banyak misteri dalam Pancasila yang perlu diungkapkan secara
terbuka dan terus terang oleh para ahli di bidang ini. Buku berjudul: DOKTRIN ZIONISME DAN IDIOLOGI PANCASILA: Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Father Republik Indonesia, yang sekarang berada di hadapan pembaca ini, memang dimaksudkan untuk mengungkap sejarah Pancasila dan penerapannya di Indonesia. Dalam iklim di mana euphoria reformasi sedang dikumandangkan gegap gempita, kehadiran buku ini menjadi hal yang amat penting.

Selain alasan-alasan politis dan sosial, buku yang merupakan kompilasi dari berbagai karya tulis, yang validitas dan keshahihannya tidak perlu diragukan ini, juga diharapkan dapat menjadi motivasi untuk mengungkapkan berbagai misteri Pancasila.

Setelah menyaksikan secara gamblang, prilaku politik penguasa orla dan orba dalam menerapkan idiologi Pancasila, tidak bisa tidak muncul berbagai pertanyaan, guna mengungkapkan lebih jauh. Misalnya: Mengapa Soekarno dan Soeharto mengesampingkan Piagam Jakarta, yang merupakan ikatan moral bangsa Indonesia, dan diputuskan melalui sidang PPKI (Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia) berbulan-bulan lamanya?

Mengapa Soekarno menerima kaum mulhid, PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam wadah negara Pancasila, padahal dia sendiri seorang muslim, bahkan pernah diangkat sebagai Waliyul Amri ad-Dharuri bis Syaukah, dan pada waktu yang sama membubarkan partai Islam Masyumi?

Pertanyaan yang tidak kalah menarik untuk diajukan. Mengapa Soeharto merehabilitasi tapol PKI, tetapi bersikap diskriminatif terhadap tapol muslim? Dan mengapa aliran kepercayaan ditumbuh suburkan di zaman orde baru, sementara di sisi lain Soeharto mengadu domba antar umat beragama?

Urgensi dari pertanyaan di atas, dan sekaligus urgensi dari penerbitan buku ini, menjadi semakin penting, apabila kita mengkaitkannya dengan agenda reformasi yang menjadi tuntutan rakyat sekarang ini. Bahwa rakyat menuntut lahirnya pemerintahaan yang bersih dari segala unsur KKN (Korupsi, kolusi dan Nepotisme), mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dan menghapuskan dwifungsi ABRI. (bersambung)

(8) Rasionalisme militer, seperti ditulis Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya: Kerangka Idiologi Islam, lebih cenderung kepada keangkuhan, absolutisme, otokrasi, kekerasan dan ketergesaan dalam mengeluarkan keputusan, meski masih dalam proses, tanpa mendengarkan pendapat orang yang berpengalaman. Dan ini membuatnya menyandarkan diri pada kekuatan tentara, dan infra struktur intelegensi. Di samping itu, mereka sendiri khawatir akan ambisi serta gejolak kekuatan yang ia jadikan sandarannya itu. Oleh karena itu, ia membujuk dan menutupi kesalahan dan penyelewengannya. Termasuk dengan memenuhi setiap permohonan mereka berupa penghasilan dan kedudukan, dengan cara “suapi mulut, pejamkan mata”.
(9) Fakta Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam, Tim Peduli Tapol Amnesty Internasional, hal. 177, Wihdah Press, Cetakan IV, 20 Oktober 1998.

Tidak ada komentar: