SICOM Seniman peran dan penulis Butet Kartaredjasa (54) sedang jadi perbincangan hangat di jejaring sosial. Perkaranya, Butet tampil dalam video singkat yang diunggah akun Youtube PT Freeport Indonesia.
Dalam video berjudul #KenalFreeport itu, mengatakan setelah melihat secara langsung praktik operasi Freeport, Butet mengatakan perusahaan ini telah menjalankan prinsip beradab baik terhadap alam dan sangat perhatian dengan lingkungan.
“Setelah saya melihat dari atas ke bawah, saya melihat ini satu siklus produksi yang sangat konsen pada alam dan lingkungan. Dan ada suatu tanggung jawab mengembalikan apa telah didapat dari alam, dan dikembalikan lagi kepada alam. Jadi ini sebuah model penambangan yang memperlihatkan keberadaban manusia,” kata Butet dalam video berdurasi 45 detik itu.
Video itu kini telah dihapus. Pantauan Koran Pagi, Senin (25/1/2016) sore, di akun PT Freeport Indonesia sudah tak ditemukan lagi video yang dimaksud. Video serupa juga tak diunggah oleh akun Facebook lain.
Meski begitu, video itu masih bisa disaksikan di platform jejaring sosial facebook. Dalam video Butet yang diunggah oleh akun Facebook bernama Rahung Nasution, pengguna Facebook yang berkomentar juga menunjukkan kemarahannya.
Soal video ini, Butet yang diwawancarai media massa online nasional, Senin (25/1/2016), mengaku bertanggung jawab atas ucapannya. Butet mengaku pernyataan itu terlontar secara kagum setelah melihat cara pengelolaan Freeport di Papua.
Pernyataan ini muncul setelah dia mengunjungi Timika, Papua, dan diajak ke pertambangan Freeport.
Menurut Butet, pada Desember 2015, ia bersama rekannya, sastrawan Agus Noor, dan pemusik sekaligus seniman peran yang juga adik Butet, Djaduk Ferianto, sedang berkunjung ke Timika, Papua. Ketika itu, Butet sedang memenuhi undangan PT Freeport di Timika sekaligus mencari pemusik-pemusik setempat untuk mereka ajak tampil bersama dalam pergelaran Jazz Gunung 2016 di kawasan Bromo, Jawa Timur.
“Kami (Butet dan Djaduk) Desember kemarin (2015) sama Agus Noor. Kami kan punya program lain, Jazz Gunung. Djaduk itu punya keinginan kolaborasi sama orang-orang Papua. Saya ke Timika untuk penuhi undangan sambil cari seniman lokal untuk kolaborasi Agustus besok (2016),” kata Butet, kemarin.
“Perjalanan di Timika biasa, diajak ke pertambangan di atas. Di sana saya ketemu geolog-geolog kita yang bekerja di sana. Yang digali itu bukan gunung yang subur. Di ketinggan 4.000 meter itu ternyata enggak ada tanaman yang tumbuh, cuma tanaman perdu dan rumput,” kisahnya.
“Orang-orang Freeport jelaskan, satu ton pasir yang dikeruk menghasilkan satu gram emas. Lalu, sisanya ke mana? Saya tanya gitu. Nanti dibawa ke Timika, (di sana) pasir-pasir yang tidak subur itu jadi produktif,” sambungnya.
“Setelah itu, kami dibawa ke tanah itu, dan itu membuat saya gumun (kagum). Limbah tanah yang tadi diolah dihamparkan di cekungan, 230 hektar. Melalui suatu teknologi, tanah yang semula pasir dan tak ada unsur hara itu bisa ditumbuhi pohon. Kami bertiga juga diminta tanam pohon di situ,” kisahnya lagi.
Menurut Butet, sesudah mendapat pengalaman tersebut, ia menyampaikan kekagumannya dalam video yang dibuat oleh PT Freeport Indonesia dan diunggah oleh perusahaan tersebut ke YouTube. “Saat itulah saya dimintai pendapat. Jadi, itu dicopot konteksnya. Itu spontanitas saya saja karena rasa gumun. Itu model pertambangan untuk alam karena pengolahan teknologi tadi. Itu semacam ekspresi rasa gumun itu. Ketika dia berdiri sendiri, jadi beda,” ujarnya.
Karena pernyataannya dalam video itu, Butet diprotes oleh sejumlah netizen pada media sosial Facebook karena dinilai mendukung PT Freeport Indonesia. “Saya dihujat, katanya saya dibayar. Ya, enggaklah. Ya tetapi, kalau dihujat, ya risiko itu memang dinamikanya. Ya sudah, apa yang saya lakukan dan saya yakini tidak salah. Secara konteksnya benar, ya sudah,” katanya.
Menurut Butet pula, PT Freeport Indonesia yang melihat respons tersebut kemudian memutuskan untuk menghapus video itu dari YouTube. “Makanya, sekarang sama Freeport upload di YouTube ditarik. Sebenarnya saya tidak protes sama Freeport. Cuma, itu karena mereka sungkan. ‘Kok, akibatnya begini, Mas’,” ujarnya.
Butet merasa bahwa kejadian itu bisa menjadi pelajaran bagi dirinya. “Saya enggak ada masalah, saya enggak ingin jadi pengecut. Kalau harus berpendapat, ya berpendapat. Namun, ini proses pembelajaran untuk saya. Saya mesti hati-hati memilih kata yang tepat,” ujarnya.
Sementara itu aktivis politik Ahmad Lubis menyebut budayawan loyalis Joko Widodo itu sebagai budayawan “bayaran”. “Budayawan pro Jokowi ini telah menjilat Freeport dengan mengatakan, perusahaan tambang emas itu telah bekerja dengan baik bahkan tidak merusak lingkungan. Butet itu budayawan bayaran, tak layak jadi panutan,” tegas Lubis, Senin (25/1/2016).
Menurut Lubis, semenjak Butet mendukung Jokowi dan makan siang bersama di Istana, tidak ada lagi suara kritikan terhadap pemerintah. “Sewaktu SBY menjabat, Butet mengkritik habis, sekarang ini suaranya sudah terbeli penguasa dan Freeport,” papar Lubis.
Lubis menilai, kelakuan Butet yang memuji Freeport telah mencederai rakyat Papua. “Butet itu tidak mikir bahwa keberadaan Freeport membuat rakyat Papua miskin,” jelas Lubis.
Tak hanya itu, kata Lubis, saat ini rakyat bisa menilai budayawan yang membela Jokowi itu idealismenya sudah terbeli. “Harusnya namanya budayawan itu menjauh dari penguasa dan jadi panutan rakyat. Penguasa yang tunduk pada budayawan,” pungkasnya.sol/dia/rei
Tidak ada komentar:
Posting Komentar