Pelegalan pernikahan sesama jenis masih menjadi perbincangan hangat dunia akhir-akhir ini. Banyak kalangan masyarakat khususnya kelompok konvensional dan agamawan yang menentang kebijakan tersebut, karena dinilai merupakan sebuah tindakan yang tidak bermoral.
Namun, tak sedikit pula kalangan masyarakat yang mendukung kebijakan pernikahan sesaama jenis. LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender) kemudian menjadi salah satu isu yang diangkat untuk mengusung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Lewat HAM inilah yang dipakai pendukung LGBT untuk melegalkan pernikahan sesama jenis.
Mereka beranggapan bahwa LGBT merupakan sifat yang dibawa manusia sejak lahir, bukan merupakan sebuah kelainan psikologis ataupun penyakit masyarakat. Pandangan ini didukung dengan adanya ‘Deklarasi Montreal’ pada 2006, yang berisi rekomendasi semua negara di dunia untuk mengakui hak-hak LGBT. Buah dari itu semua, akhirnya tanggal 17 Mei pun dipilih sebagai hari International Day Against Homophobia merujuk pada keputusan WHO (World Health Organization) yang menghapuskan LGBT sebagai penyakit seksual.
Menurut kaum LGBT, setiap orang berhak memilih identitas seks mereka, mereka meyakini bahwa identitas mereka sebagai gay, lesbian atau identitas apapun merupakan HAM yang bebas mereka pilih. Di negara-negara Barat, kata pelangi atau rainbow merupakan kata yang mewakili gerakan mereka, kaum LGBT Indonesia pun tidak mau ketinggalan dengan mengusung Arus Pelangi untuk mewakili komunitas mereka.
Arus globalisasi sangat berperan penting dalam penyebaran nilai universal yang mewakili modernitas dan tatanan dunia baru. Meleburnya batas-batas wilayah, arus bebas komunikasi yang menandai globalisasi membuat transfer nilai dan identitas internasional sangat mudah masuk ke Indonesia. LGBT pun tidak luput menjadi identitas yang masuk ke Indonesia sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan.
Terdapat diskusi yang cukup alot mengenai definisi dari LGBT. Menurut pihak yang mendukung pernikahan sesama jenis merupakan sifat alamiah yang dibawa manusia sejak ia dilahirkan. Atas nama HAM, para LGBT ini berhak untuk melegalkan cinta mereka dalam ikatan pernikahan.
Dalam Broken Windows yang digagas oleh kriminolog James K. Wilson dan George Kelling, dijelaskan bahwa kriminalitas merupakan akibat dari ketakteraturan. Jika sebuah jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapapun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di situ tidak ada penghuninya. Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang meluas di sekitar daerah itu (Tipping Point, Malcolm Gladwell: 172). Hal ini juga berlaku dalam kasus homoseksualitas.
Tidak ada manusia yang dilahirkan dengan gen pencuri, perampok ataupun gay. LGBT merupakan kelainan yang dihasilkan dari kondisi lingkungan yang memengaruhi psikologi pelakunya. Bisa menularkan perilaku tersebut pada lingkungan sekitarnya, lama-kelamaan perilaku itu bisa menyebar dan memberikan dampak yang lebih luas di masyarakat.
Tidak ada angka pasti yang jumlah LGBT di Indonesia. Namun sangat mencengangkan penelitian yang dilakukan oleh CIA pada 2008, menyatakan bahwa jumlah homoseks di Indonesia mencapai angkat 16,6 juta. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia pada urutan kelima negara dengan jumlah homoseksual terbesar di dunia.
Adanya nilai-nilai demokrasi yang mengusung HAM, membuat para aktifis LGBT semakin terpacu semangatnya untuk memperjuangkan hak dan menujukkan identitas mereka dengan mendirikan berbagai organisasi. Hal ini bisa dilihat dari berdirinya Gaya Nusantara sebagai organisasi gay di Indonesia. Organisasi ini digagas Dede Oetomo di Surabaya sebagai bentuk perjuangan sebagai identitas adanya kelompok gay di Indonesia.
Hingga akhirnya kaum LGBT mulai berani menunjukkan identitas mereka dengan membuat situs www.lgbtindonesia.org1. yang berisi dukungan dan berbagai pembahasan mengenai LGBT.
Masuknya nilai-nilai universal, demokratisasi dan HAM yang semula terkungkung di bawah rezim orde baru, membuat kaum LGBT yang sebelumnya dipinggirkan dalam pergaulan sosial mendapatkan ruang untuk menyuarakkan aspirasi mereka. Keterbukaan itu tidak hanya memberi ruang masuknya nilai-nilai universal yang mampu membangun Indonesia lebih baik. Tidak sedikit nilai-nilai tersebut justru tiak sesuai dengan nilai atau norma baik agama maupun sosial yang terkadung di Indonesia, bahkan lebih ekstrim lagi nilai universal tersebut mampu menggerus budaya dan kearifan lokal.
Untuk menghadapi tantangan global tersebut, Indonesia tentunya harus mampu menjaring nilai tersebut dengan sangat bijak sana. Pancasila sebagai dasar negara telah memberikan jawaban untuk tantangan tersebut. Sebagai ideologi yang terbuka, Pancasila terbuka dengan nilai-nilai baru dan mampu mengikuti perkembangan zaman namun tetap memilah dan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan identitas bangsa Indonseia. Nilai yang masuk dan bisa diterima Indonesia mestinya sesuai dengan nilai dan norma yang ada di Indonesia.
Bukankah tindakan yang bijak ketika kita menjunjung tinggi nilai HAH demi mendapatkan tempat di dalam dunia modern dengan mengorbankan rusaknya moral masyarakat. Apalagi agenda LGBT sebagai cerminan dari nilai HAM.
Jadi, dalam menanggapi isu LGBT yang tengah marak diperbincangkan di dunia saat ini, Indonesia perlu mengkaji ulang nilai kebebasan tersebut apakah sejalan dengan nilai dan norma yang terkandung di masyarakat dan akibat yang akan ditimbulkannya. Namun walaupun secara umum masyarakat Indonesia menilai LGBT merupakan tindakan yang tidak bermoral, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk malakukan tindakan diskriminasi terhadap mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar