Jurnalis Independen: Kematian Salim Kancil lantaran membela dan menghalangi tambang liar di daerahnya berujung kematiannya. Salim Kancil menjadi martir bagi rakyat yang selama ini tidak pernah merasakan dampak positif adanya tambang di daerahnya. Mereka sebagai warga hanya mengirup polusinya, lingkungan yang tercemar dan kekayaan daerah yang dicuri para mafia, bajingan yang bersembunyi di balik "berbagai baju".
Sekali lagi kekerasan terhadap pejuang pembela keselamatan lingkungan kembali terjadi. Sabtu, 26 September 2015, dua orang warga desa Selok Awar-Awar yang dikenal sebagai aktivis penolak tambang pasir yang tergabung dalam Forum KomunikasiMasyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang diambil paksa dari rumahnya, kemudian dianiaya oleh kurang lebih 40 orang hingga mengakibatkan satu orang meninggal dan satu orang terluka parah.
Tosan didatangi segerombolan orang pada sekitar pukul 07.30. Kurang lebih 40 orang dengan menggunakan kendaraan bermotor mendatangi rumah Tosan dengan membawa pentungan kayu, pacul, celurit dan batu. Tanpa banyak bicara mereka lalu menghajar Tosan di rumahnya, Tosan berusaha menyelamatkan diri dengan menggunakan sepeda namun segera bisa dikejar oleh gerombolan ini. Tosan ditabrak dengan motor di lapangan tak jauh dari rumahnya. Tak berhenti disitu, gerombolan ini kembali mengeroyok Tosan dengan berbagai senjata yang mereka bawa sebelumnya. Tosan bahkan ditelentangkan ditengah lapangan dan dilindas motor berkali-kali. Gerombolan ini menghentikan aksinya dan pergi meninggalkan Tosan setelah satu orang warga bernama Ridwan datang dan melerai.
Setelah selesai menghajar Tosan, gerombolan ini mengalihkan tujuannya menuju rumah Salim. Saat itu Salim sedang menggendong cucunya yang baru berusia 5 tahun, mengetahui ada yang datang berbondong dan menunjukkan gelagat tidak baik Salim membawa cucunya masuk. Gerombolan tersebut langsung menangkap Salim dan mengikat dia dengan tali yang sudah disiapkan. Mereka kemudian menyeret Salim dan membawanya menuju Balai Desa Selok Awar-Awar yang berjarak 2 kilometer dari rumahnya.
Sepanjang perjalanan menuju Balai Desa, gerombolan ini terus menghajar Salim dengan senjata-senjata yang mereka bawa disaksikan warga yang ketakutan dengan aksi ini. Di Balai Desa, tanpa mengindahkan bahwa masih ada banyak anak-anak yang sedang mengikuti pelajaran di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), gerombolan ini menyeret Salim masuk dan terus menghajarnya. Di Balai desa, gerombolan ini sudah menyiapkan alat setrum yang kemudian dipakai untuk menyetrum Salim berkali-kali.
Tak berhenti sampai disitu mereka juga membawa gergaji dan dipakai untuk menggorok leher Salim. Namun ajaibnya hampir semua siksaan dengan benda tajam yang ditujukan ke tubuh Salim seolah tidak mempan. Melihat kenyataan bahwa Salim tidak bisa dilukai dengan benda tajam dan keadaan balai desa yang masih ramai, gerombolan tersebut kemudian membawa Salim yang masih dalam keadaan terikat melewati jalan kampung menuju arah makam yang lebih sepi. Di tempat ini mereka kemudian mencoba lagi menyerang salim dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Baru setelah gerombolan ini memakai batu untuk memukul, Salim ambruk ke tanah. Mendapati itu, mereka kemudian memukulkan batu berkali-kali ke kepala Salim. Di tempat inilah kemudian Salim meninggal dengan posisi tertelungkup dengan kayu dan batu berserakan disekitarnya.
Kekerasan yang terjadi di desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang ini semakin menegaskan bahwa perlindungan terhadap warga yang berjuang mempertahankan lingkungan dan ruang hidupnya belum terjamin di negeri ini. Sebelum peristiwa penyerangan yang menyebabkan tewasnya Salim, Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang sudah mengadukan ancaman yang dialamatkan kepada mereka. Pada 11 September 2015, Forum sudah melaporkan secara resmi ancaman kepada Tosan ke Polsek Pasirian, namun laporan ini tidak mendapatkan tanggapan yang cukup. Karena nama-nama mereka yang memberikan ancaman sama sekali tidak diproses oleh pihak kepolisian. Orang-orang yang dilaporkan tersebut juga yang kemudian benar-benar melakukan penyerangan terhadap Tosan dan Salim. Jika pihak kepolisian memiliki kesungguhan untuk melindungi keselamatan warga, sejatinya peristiwa tragis ini tidak perlu harus terjadi.
Perihal penolakan warga terhadap aktivitas pertambangan, sesungguhnya juga sudah berlangsung lama. Bukan hanya di Selok Awar-Awar, penolakan aktivitas pertambangan di pesisir selatan Lumajang telah menimbulkan keresahan dan penolakan di berbagai tempat. Sebelumnya di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun, aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT ANTAM juga telah menimbulkan konflik. Konflik serupa juga muncul di desa Pandanarum dan Pandanwangi, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang. Panjangnya daftar konflik akibat aktivitas pertambangan pasir besi di kawasan pesisir selatan Lumajang ini rupanya tidak menjadi pelajaran bagi Pemerintah Kabupaten Lumajang beserta aparat keamanannya.
Meskipun telah banyak diketahui bahwa tambang-tambang tersebut banyak yang beroperasi secara ilegal dan merusak lahan pertanian pesisir pantai sehingga rentan berkonflik dengan kepentingan petani penggarap lahan pesisir, sama sekali tidak ada tindakan tegas yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Padahal jika situasi ini terus dibiarkan, konflik yang terjadi akibat aktivitas pertambangan akan terus memburuk di Kabupaten Lumajang.
Oleh sebab itu, Tim Advokasi Tolak Tambang Pasir Lumajang yang terdiri dari: Laskar Hijau, WALHI Jawa Timur, KONTRAS Surabaya, dan LBH Disabilitas dengan ini menyatakan:
Mendesak Kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya untuk serius dalam mengusut para pelaku pembantaian terhadap Salim Kancil dan Tosan hingga aktor intelektual (intellectual daader) dibalik peristiwa kekerasan di desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang tersebut, dan mengganjar pelaku dengan hukuman seberat-beratnya sesuai pasal 340 KUHP.
Mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang untuk segera menutup seluruh pertambangan pasir di pesisir selatan Lumajang.
Meminta agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk segera memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Meminta Komnas HAM agar segera turun ke lapangan dan melakukan Investigasi.
Meminta Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk memberikan trauma healing kepada anak dan cucu dari alm. Salim Kancil serta anak-anak PAUD yang menyaksikan insiden penganiayaan alm Salim Kancil di Balai Desa Selok Awar-Awar. ARN/Kontras
Ada 36 Tersangka
Sesuai jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya, akhirnya penyidik kepolisian melimpahkan berkas dan tujuh tersangka kasus penganiayaan yang menyebabkan terbunuhnya Salim Kancil, aktivis anti tambang ilegal Lumajang ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya, (28/1). Tujuh tersangka yang dilimpahkan kemarin, merupakan lanjutan dari 27 tersangka yang sudah dilimpahkan penyidik pada (21/1) sebelumnya.
Artinya, masih ada 2 tersangka lagi yang belum dilimpahkan ke kejaksaan oleh penyidik. Dua tersangka itu masih dibawah umur. Dan hal itu yang menjadi alasan kenapa berkas kedua tersangka tersebut, pelimpahannya terpisah dengan 34 tersangka lainnya.
Ketujuh tersangka yang dilimpahkan hari ini antara lain Suparman, Tomin, Nur Tilab, Satuwi, Besri, Jumanan, dan Tinarlab.
Sementata dua tersangka tidak diserahkan bersamaan karena masih di bawah umur dan tidak ditahan. Sesampai di kantor Kejari Surabaya, para tersangka langsung digelandang untuk menjalani proses administrasi di gedung tahanan dan Barang Bukti (BB) Kejari Surabaya. Setelah itu, mereka kembali ditahandi Polda.
Hal itu dibenarkan Kepala Kejari Surabaya, Didik Farkhan Alisyahdi. “Hari ini penyerahan tahap kedua sisa tersangka kasus tambang Lumajang. Sebelumnya sudah 27 tersangka yang diserahkan penyidik ke kami. Dan secepatnya berkas kita limpahkan ke pengadilan untuk disidangkan agar bisa disidangkan pekan depan,” tandas Didik.
Dia juga menuturkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Kepolisian untuk bantuan pengamanan sidang. “Kami sudah berkoordinasi, Polda Jatim dan Polres Lumajang siap mengamankan sidang,” katanya saat memantau proses penyerahan tersangka di kantornya.
Dengan diserahkannya sembilan tersangka tersebut, total 36 tersangka yang sudah diserahkan penyidik ke jaksa penuntut umum. Mereka terbagi dalam empat pasal pelanggaran. Yakni pasal pembunuhan, pasal pengeroyokan, pasal pembunuhan dan pengeroyokan, tambang illegal, dan pencucian uang.
Diketahui, kasus ini bermula ketika sekelompok orang protambang mengeroyok aktivis antitambang, Salim Kancil dan Tosan, di Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur, pada Sabtu, 26 September 2015 lalu. Akibatnya, Salim Kancil tewas mengenaskan dan Tosan kritis.
Rupanya, pengeroyokan itu diduga didalangi Kepala Desa Selok Awar-awar saat itu, Hariyono, yang juga pengelola tambang ilegal di desa setempat. Selain pasal pembunuhan dan pengeroyokan, Hariyono juga dijerat pasal tambang ilegal dan pencucian uang. (Dm)
1 komentar:
Posting Komentar