Jurnalis Independen: Untuk bisa melihat fenomena besar yang terjadi di Irian Jaya (Papua-Freeport), sulit menangkap secara utuh apa sebenarnya yang terjadi jika tidak melihat rangkaian perjalanan perusahaan tambang asing pertama di Indonesia, Freeport.
Bisa dibilang, Amerika sudah membidik gunung Ertsberg di Timika Papua jauh sebelum Indonesia merdeka. Sejak tahun 1936, telah berlangsung ekspedisi Colijn yang akhirnya menemukan Ertsberg. Butuh sekitar 24 tahun bagi Amerika untuk meneliti temuan tim ekspedisi ini tentang adanya kandungan emas yang luar biasa.
Pada tahun 1960, ekspedisi lanjutan pun dilakukan dan dipimpin langsung oleh tim dari Freeport yang dikomandani Forbes Wilson dan Del Flint untuk memastikan kedahsyatan nilai kekayaan yang dikandung Ertsberg.
Untuk memuluskan langkah menguasai Ertsberg, Amerika bahkan mengkhianati sekutunya Belanda untuk memaksa negeri kincir angin itu menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia. Boleh jadi, Amerika menilai akan lebih mudah bernegosiasi dengan penguasa Indonesia yang dinilai belum melek sumber daya alam daripada penjajah Belanda yang sama rakusnya dengan Amerika.
Ternyata, dugaan Amerika salah. Setelah pada tahun 1963 terjadi serah terima Nederlands Nieuw-Guinea dari pihak Belanda ke PBB yang kemudian menyerahkan kepada Indonesia, rencana tambang Freeport Amerika ternyata terganjal oleh kebijakan rezim Soekarno.
Butuh dua tahun bagi Amerika untuk menyingkirkan Soekarno dari kursi kekuasaan di Indonesia. Pada tahun 1965, Soekarno terguling dan digantikan Soeharto dengan rezim Orde Barunya yang efektif mulai berlangsung pada tahun 1966.
Kebijakan ekonomi apa yang pertama kali dilakukan rezim baru Soeharto? Hanya beberapa bulan setelah dilantik menjadi presiden, Soeharto mengundang Freeport untuk membicarakan kontrak pertambangan di Ertsberg. Pada tahun 1967 itu, keluar kebijakan pertama tentang pertambangan di Indonesia. Yaitu, UU no. 1/1967. Bahwa PT Freeport sebagai kontraktor ekslusif yang berhak melakukan pertambangan di Ertsberg selama masa 30 tahun dengan luas areal tambang sekitar 10 kilometer persegi.
Nasib Soeharto pun ternyata tak jauh beda dengan Soekarno. Karena setelah usai 30 tahun kontrak dengan PT Freeport yang jatuh pada tahun 1997, posisinya berada di ambang kejatuhan. Beberapa bulan setelah itu, Soeharto tumbang dan berganti dengan rezim Reformasi.
Sulit membuktikan apakah ada hubungan yang erat antara kejatuhan rezim Orde Baru Soeharto dengan selesainya masa kontrak pertambangan antara Indonesia dengan Freeport. Tapi, waktunya begitu berhimpitan dan sulit untuk tidak mengatakan adanya keterkaitan dengan manuver Amerika di Indonesia.
Awalnya, orde Reformasi seperti berputar-putar di antara kelompok reformis dan Islamis yang tentunya tidak diinginkan Amerika. Butuh beberapa tahun buat Amerika untuk memantapkan penguasa baru yang benar-benar berpihak pada Amerika dan Freeport. Pada tahun 2004, SBY pun terpilih dengan kemenangan yang begitu fantastis. Dan jauh lebih fantastis lagi di pemilu berikutnya di tahun 2009 yang mencapai 70-an persen.
Semua misteri tentang kecurigaan adanya kecurangan pemilu dan teknologi komputerisasi seperti terkubur dengan aneka isu yang terus-menerus dan sistematis muncul dan tenggelam. Kemungkinan munculnya kekuatan Islam pun sedemikian rapinya dikelola untuk tidak akan menang. Dan kalau pun akhirnya muncul, sulit mendapat dukungan. Isu terorisme yang menyimpan misteri soal bahan baku dan pembuatnya seperti begitu meyakinkan tidak akan adanya kekuatan Islam yang didukung masyarakat. Karena masyarakat dibuat trauma dan takut dengan sosok Islamis.
Babak Baru ‘Permainan’ Amerika di Papua
Dalam tiga bulan terakhir ini, US House of Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yang secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua. Dengan kata lain, Amerika akan memainkan kartu terakhir berupa kemerdekaan Papua untuk mengamankan kepentingannya di Freeport.
Yang menarik, pemrakarsa RUU tersebut berasal dari Partai Demokrat Amerika yang saat ini memimpin kebijakan Amerika, termasuk di Papua. Pertanyaannya, apakah Amerika merasa cukup dengan peran SBY yang boleh jadi dinilai lemah melindungi Freeport?
Jika dihubungkan dengan munculnya RUU tersebut, boleh jadi, Amerika akan mengarahkan operasi intelijennya ke target kemerdekaan buat Papua. Dengan begitu, segala hal yang terjadi belakangan ini di Papua merupakan prakondisi menuju ke arah itu.
Bocoran tentang dana Freeport yang mengalir ke aparat keamanan yang totalnya sekitar 791 milyar rupiah sejak tahun 2001, bisa jadi bagian dari prakondisi itu. Efek dari bocoran tersebut tidak bisa dibilang ringan kepada prajurit di lapangan yang berhadapan langsung dengan kondisi Papua. Dengan kata lain, akan ada krisis kepercayaan antara aparat di lapangan dengan yang dipusat.
Kalau soal pendanaan ini dikaitkan dengan sektor lain selain keamanan, cakupan pertanyaannya akan meluas. Berapa dana Freeport untuk lingkungan yang disetor ke pusat? Begitu pun dengan dana-dana lain yang semuanya kembali ke pusat. Krisis kepercayaan ini akan menyulut kemarahan massif antara aparat keamanan dan birokrat lokal Papua dengan pemerintah pusat. Dan kemarahan rakyat Papua secara umum tentu sudah hampir pasti akan terjadi.
Di lain sisi, pamor SBY yang terus melorot akhir-akhir ini seperti dijadikan momentum untuk membebaskan Papua dari ketidakadilan pemerintah pusat yang terus dirasakan rakyat Papua hingga kini.
Jika benar menurunnya pamor SBY sebagai momentum manuver Amerika di Papua, paling lambat, ada dua tahunan lebih untuk memunculkan Papua merdeka sampai pemilu 2014 mendatang. Benarkah arah ‘permainannya’ ke situ? Waktulah yang kelak akan menceritakan. Mnh/berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar